Wakil Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), My Esti Wijayati menilai, program Sekolah Rakyat merupakan jawaban atas dua persoalan utama yang selama ini menjadi tantangan besar di Indonesia: akses pendidikan berkualitas dan kemiskinan ekstrem. Program tersebut menjadi salah satu prioritas Presiden Prabowo Subianto dalam upaya menekan kemiskinan ekstrem sekaligus meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Asalnya, kata dia, Sekolah Rakyat dirancang untuk menjangkau anak-anak dari keluarga kurang mampu dan wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), yang selama ini sulit mendapatkan layanan pendidikan layak. Dengan konsep pendidikan berjenjang mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sistem asrama yang terintegrasi, Sekolah Rakyat diyakini akan sangat membantu anak-anak dari daerah terpencil yang selama ini terhambat secara geografis.
“Sekolah Rakyat bagus, sejauh untuk memberikan kesempatan belajar bagi masyarakat miskin ekstrem dengan fasilitas yang memadai,” ujar Esti dalam keterangan pers di Jakarta, Selasa (15/4).
Esti memberikan catatan penting agar program ini berada dalam koridor kelembagaan yang sesuai. Ia menyarankan agar pelaksanaan teknis berada di bawah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), bukan Kementerian Sosial, agar pengelolaan pendidikan berjalan sesuai standar nasional.
My Esti juga mengapresiasi langkah rekrutmen guru dari lulusan Pendidikan Profesi Guru (PPG), karena diyakini dapat meningkatkan mutu pembelajaran. Namun ia mengingatkan rekrutmen harus disertai perhatian terhadap kesejahteraan, insentif, dan jenjang karier guru, agar para pengajar memiliki motivasi yang kuat untuk mengabdi di wilayah-wilayah sulit.
“Kemensos cukup menyampaikan data masyarakat miskin ekstrem yang harus diberikan akses. Implementasi pendidikan harus dikoordinasikan langsung oleh Kemendikdasmen yang memang memiliki tupoksi dalam pengelolaan pendidikan dasar dan menengah,” tegas Esti.
“Pengambilan dari lulusan PPG adalah langkah strategis, tetapi mereka juga harus punya kapasitas sosial dan kultural, mengingat daerah 3T punya tantangan sendiri. Kita juga harus pikirkan insentif dan jaminan kesejahteraan mereka,” tambahnya.
Ia juga menyarankan efisiensi anggaran dengan memanfaatkan bangunan sekolah yang sudah ada namun kekurangan murid, terutama di daerah kepulauan. Hal ini akan mempercepat implementasi dan memperluas jangkauan tanpa membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara berlebihan.
Dengan pendekatan yang inklusif, berkelanjutan, dan berbasis kebutuhan riil masyarakat, Sekolah Rakyat diharapkan menjadi tonggak baru dalam sejarah pendidikan Indonesia—di mana setiap anak, dari manapun asalnya, memiliki peluang yang sama untuk bermimpi dan mewujudkannya.
“Ini momentum penting bagi negara untuk benar-benar hadir dalam kehidupan rakyat. Kita ingin Sekolah Rakyat menjadi tempat tumbuhnya harapan, bukan sekadar fasilitas,” jelas Esti.