close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi ojek online (Foto: Instagram @gojekindonesia)
icon caption
Ilustrasi ojek online (Foto: Instagram @gojekindonesia)
Peristiwa
Kamis, 09 Januari 2025 17:00

Sengsara ojol kini: Dicekik biaya aplikasi, diancam tatib

Pengemudi Giojek dan Grab mengeluhkan pemotongan oleh penyedia aplikasi yang lebih dari 20%.
swipe

Irfan, 30 tahun, salah satu pengemudi GoJek yang biasa beroperasi di Jakarta Barat, tidak lagi semangat memburu penumpang. Sejak dua bulan terakhir, Irfan merasa GoJek semakin gila-gilaan memotek keuntungan mitra mereka. Jasa aplikasi bisa lebih dari 20%.

"Bayangin aja! Saya nganter dari Cengkareng ke Pesanggrahan itu (dapetnya) Rp33 ribu. Konsumen bayar Rp44 ribu. Artinya, lebih Rp10 ribu masuk dompet mereka, aplikator," kata Irvan saat berbincang dengan Alinea.id, Rabu (8/1).

Jika dibandingkan dulu, menurut Irfan, pendapatannya sebagai pengemudi ojek online (ojol) kian tak menentu. Ia merasa GoJek juga semakin semena-mena kepada para mitra. "Bayangin aja. Lebih dari 20% masuk kantong mereka," cetus pria yang tak mau menyebut nama lengkapnya itu. 


Bagi para mitra GoJek, tantangan harian mereka tak hanya soal pendapatan saja. Teranyar, tepatnya pada 13 November 2024, Gojek merilis pembaruan dalam tata tertib mitra. Salah satu poinnya ialah tentang pelanggaran tingkat V.

Disebutkan dalam tata tertib baru itu, tindakan menolak, mengabaikan, atau membatalkan pesanan dianggap sebagai pelanggaran berat dengan sanksi pemutusan mitra. Artinya, status mitra bisa dibatalkan secara sepihak jika GoJek merasa mitra mereka melakukan pelannggaran tingkat V. 

"Itu juga enggak sepele dampaknya. Kita, dengan kata lain, disuruh untuk terus narik dalam kondisi apa pun. Padahal, bisa saja kondisinya kayak sekarang. Musim hujan, terus gampang banget motor rusak dan kondisi jalan enggak mungkin dilalui karena banjir. Motor tiba-tiba mogok. Kita rajin narik juga sebagian besar pendapatan lari ke aplikator," kata Irfan.  

Menurut Irfan, profesi ojol tak semanis dulu. Saat pertama kali jadi driver ojol pada 2016, para mitra dimanjakan penyedia aplikasi. Saat pandemi Covid-19, Irfan bahkan sempat merasakan bonus dari Gojek, meskipun angkanya tak besar. 

"Dulu, waktu jaya-jayanya saya pada 2016, kerja setengah hari aja bisa bawa pulang Rp200 ribu. Kalau dari pagi, bisa dapat Rp400 ribu  sehari. Sekarang ini, dari pagi sampai sore, dapat Rp100 ribu saja susah," kata Irfan. 

Hal serupa juga dirasakan Zamroni, salah satu pengemudi ojol lainnya. Pria 35 tahun itu yang sudah sejak lama curiga bila pemotongan biaya aplikasi sudah melebihi 20%. 

"Sudah banyak saingan, pemotongan biaya aplikasi juga tinggi banget sekarang. Lebih dari 20%," kata Zamroni kepada Alinea.id, Selasa (7/1).

Menurut Zamroni, biaya aplikasi yang mencekik bikin pendapatan hariannya jauh berkurang. "Cari penumpang setengah mati, tetapi (potongannya) lebih dari 20%. Bahkan, bisa 30% itu lari ke aplikator," kata Zamroni.  

Sesuai surat Keputusan Menteri Perhubungan (KP) Nomor 100 Tahun 2022, para aplikator diwajibkan mematok biaya aplikasi maksimal sebesar 20% dari setiap pemesanan yang dijalankan oleh mitranya. 

Namun, menurut Zamroni, aturan itu kerap dilanggar penyedia aplikasi. Para pengemudi tak bisa berbuat apa-apa karena khawatir status mereka sebagai mitra diputus. "Kenyataannya, bisa sampai 30% biaya aplikasi yang diterapkan," kata Zamroni. 

Koordinator Advokasi Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Raymond J. Kusnadi, menilai biaya aplikasi yang melebihi 20% yang diterapkan platform Gojek dan Grab sudah jelas merugikan para pengemudi ojek daring. Menurut dia, pelanggaran terhadap keputusan menteri itu sudah berlangsung selama dua tahun. 

"Anehnya pelanggaran batas maksimal 20% yang ditetapkan pemerintah, tidak mendapatkan sanksi apapun terhadap platform yang melanggar selama 2 tahun terakhir ini. Jadi kami mempertanyakan posisi pemerintah yang sepertinya melindungi kepentingan platform," kata Raymond kepada Alinea.id, Selasa (7/1).

Pemotongan biaya aplikasi yang tinggi, menurut Raymond tidak hanya menimpa pada pengemudi ojek daring. Pengemudi taksi daring juga mengalami hal serupa. Ia menyebut pihak aplikasi seolah tengah menjalankan praktik upah murah bagi buruh. 

"Kondisi ini menyebabkan ketidakpastian pendapatan bagi pengemudi. Ditambah lagi orderan yang tidak pasti karena dikendalikan algoritma platform yang sifatnya tertutup dan tidak transparan," kata Raymond.

Kondisi yang tidak kalah buruk juga menurut Raymond terjadi pada layanan pengantaran barang dan makanan. Menurut dia, biaya aplikasi yang dibebankan pada kurir bisa melebihi 50% dari pendapatan mereka. 

"Seperti yang dialami seorang pengemudi ketika mengantarkan makanan yang hanya mendapatkan Rp5.200. Padahal konsumen membayar sebesar Rp18.000. Pada orderan makanan ini platform memotong 71% dari pendapatan pengemudi," kata Raymond. 

Raymond meminta Kemenhub turun tangan dengan mengeluarkan aturan pelindungan pekerja platform dan sekaligus mewajibkan platform membayar upah minimum layak bagi pekerja platform seperti ojek daring taksi daring dan kurir. 

"Untuk memastikan kepastian pendapatan pengemudi, kami menuntut pemerintah untuk menetapkan para pekerja platform dengan status pekerja tetap, bukan lagi mitra, sehingga keseluruhan hak dan perlindungan bagi pengemudi dapat diterima secara utuh layaknya pekerja lainnya," kata Raymond. 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan