close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi siaran televisi. /Foto Unsplash/Dorohovich
icon caption
Ilustrasi siaran televisi. /Foto Unsplash/Dorohovich
Peristiwa
Selasa, 07 Januari 2025 14:02

Senjakala stasiun TV "gurem": Dari MTV hingga ANTV

Stasiun televisi kecil kalah bersaing dengan platform digital semisal Youtube dan Netflix.
swipe

Mengudara sejak tanggal 1 Maret 1993, PT. Cakrawala Andalas Televisi atau yang populer dengan nama ANTV kini terancam tutup karena masalah finansial. Desember lalu, ANTV dikabarkan telah memecat semua tim produksi mereka. Namun, hingga kini belum ada keterangan resmi dari pihak ANTV. 

Jika resmi bubar, ANTV bakal mengikut jejak NET TV yang tutup per November 2024. Pertama kali mengudara pada 2013, televisi yang digandrungi kaum muda itu memutuskan tak lagi menayangkan program setelah kalah bersaing dengan platform digital semisal Youtube dan Netflix. 

Channel televisi lain seperti My TV, MTV Indonesia, dan TPI juga telah lebih dahulu meninggalkan layar kaca. Hanya sejumlah stasiun televisi raksasa yang kini masih bertahan, semisal RCTI, SCTV, dan Indosiar. Televisi berita semisal Metro TV dan TV One juga dikabarkan tengah terpuruk. 

Ketua Komisi Hukum Dewan Pers, Arif Zulkifli, menyebut disrupsi digital sebagai tantangan terbesar bagi media mainstream, khususnya televisi. Ketimbang menonton televisi, kebanyakan orang kini mencari informasi lewat Youtube dan media sosial lainnya. 

"Orang sekarang lebih banyak menonton YouTube ketimbang televisi. Akibatnya, pendapatan televisi dari iklan turun drastis, padahal bisnis televisi terestrial membutuhkan modal besar dan padat tenaga kerja,” jelas Arif kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini. 

Sejak munculnya platform digital, pendapatan iklan televisi mengalami penurunan signifikan. Menurut laporan Nielsen tahun 2024, belanja iklan di televisi turun hampir 30% dibanding tahun sebelumnya, sementara belanja iklan di platform digital seperti YouTube dan media sosial meningkat hingga 40%. 

Meskipun banyak stasiun televisi kini beralih ke platform digital dengan membuat saluran YouTube, menurut Arif, pendapatan dari AdSense tidak mampu menutupi biaya operasional yang tinggi. Itulah kenapa televisi digital seperti Net TV pun memutuskan untuk tutup. 

“AdSense itu kecil sekali, sementara biaya produksi konten televisi sangat besar. Maka dari itu, diperlukan terobosan baru dalam model bisnis agar televisi bisa bertahan,” jelas Arif. 

Situasinya makin sulit bagi media televisi kecil lantaran minat publik menonton televisi kian menciut. Hasil survei Snapcart yang dipublikasi Oktober lalu menunjukkan sebanyak 57% responden mengaku terakhir kali menonton TV lokal dalam beberapa bulan lalu.

Ada 23% responden mengaku terakhir kali menonton TV lokal dalam 2-3 tahun terakhir. Sementara itu, 11% responden terakhir kali menonton TV lokal dalam kurun waktu 5 hingga 7 tahun lalu. Ada pula 5% responden yang mengaku sudah jarang atau tidak lagi menonton TV lokal sejak lebih dari 10 tahun lalu. Terakhir, 4% responden menyatakan tidak pernah menonton TV lokal sejak lahir. 

Menurut Arif, adaptasi menjadi kunci utama bagi televisi gurem untuk bertahan hidup. Selain beralih ke platform digital, stasiun televisi juga perlu menciptakan model bisnis baru yang lebih relevan dengan perkembangan teknologi, semisal mengembangkan layanan streaming berbayar atau konten eksklusif berbasis langganan.

“Hanya ada satu cara bagi media televisi untuk bertahan, yaitu menyesuaikan diri dengan perubahan platform dan model bisnis. Jika tidak, maka senjakala bagi televisi gurem akan segera menjadi kenyataan,” ungkapnya.

Di tengah disrupsi ini, muncul juga perdebatan soal perlindungan hukum terhadap media massa digital, terutama konten-konten jurnalistik yang ditayangkan di media sosial. Soal itu, Arif mengatakan sudah ada regulasi yang melindungi konten-konten yang dikelola oleh media berbadan hukum dan mematuhi kode etik jurnalistik.

Namun, perlindungan ini tidak berlaku bagi kreator independen yang tidak memiliki dasar badan hukum pers. “Misalnya, podcaster atau youtuber yang membuat konten wawancara mirip dengan jurnalis, tapi tanpa berbadan hukum pers. Mereka tidak dilindungi UU Pers, tetapi hanya dilindungi oleh UU Kebebasan Menyampaikan Pendapat,” tambah Arif.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan