Senpi di tangan polisi semberono adalah maut
Kasus pembunuhan di luar hukum atau unlawful killing yang pelakunya oknum polisi marak dalam sebulan terakhir. Setidaknya tercatat ada tiga kasus unlawful killing yang terjadi. Semua kasus melibatkan penggunaan senjata api (senpi).
Pekan lalu, seorang siswa SMKN 4 Semarang, Jawa Tengah, berinisial GRO tewas ditembak Aipda Robig Zainudin. GRO ditembak saat terlibat tawuran. Nahasnya, pelaku penembakan bukan berasal dari unit Sabhara yang salah satu tugasnya mengurusi tawuran, tetapi berasal Satres Narkoba Polrestabes Semarang yang kebetulan melintas di lokasi tawuran.
Sehari sebelumnya, kasus serupa juga terjadi di Bangka Belitung. Seorang pria di Bangka Barat tewas ditembak anggota Brimob Polda Bangka Belitung. Korban diduga pencuri buah sawit. Korban tewas lantaran tembatan peringatan polisi yang diarahkan ke kaki malah menembus pinggang.
Di Solok Selatan, Sumatera Barat, kasus polisi menembak polisi terjadi. Kepala Bagian Operasi (Kabagops) Polres Solok, AKP Dadang Iskandar menembak mati Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasatreskrim) Polres Solok Selatan AKP Ulil Ryanto Anshari di tempat parkir Polres Solok.
Dadang diduga mengeksekusi Ulil lantaran tak suka korban menggarap kasus kasus galian tambang C ilegal. Dadang disebut-sebut membekingi para pelaku penambangan liar di Solok Selatan. Ketika itu, tim Satreskrim Solok baru saja menangkap terduga penambangan ilegal.
Dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Kapolres Semarang Kombes Irwan Anwar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (3/12) lalu, anggota Komisi III DPR, I Wayan Sudirta mengusulkan evaluasi terhadap pengunaan senpi oleh personel Polri. Menurut dia, publik menggugat urgensi personel kepolisian memegang senpi setelah rentetan kasus tersebut.
”Ada kajian yang menyebutkan bahwa polisi cukup bermodalkan pentungan. Di negara maju, hal ini kelihatannya sudah diterapkan dan perlahan, tapi pasti, kita juga akan mengarah ke sana,” ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu.
Merujuk pada Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945, menurut Wayan, Polri sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi masyarakat, dan menegakkan hukum. Polri adalah instansi sipil yang dipersenjatai dan bukan pasukan kombatan yang ditugaskan berperang.
”Ada literatur yang tadi saya temukan bahwa sesungguhnya polisi tidak perlu pegang senjata, kecuali sedang menghadapi kasus-kasus berat, seperti terorisme dan kejahatan besar. Hanya itu yang polisi boleh pegang senjata. Itu pun dengan izin dan catatan yang mengikuti, yakni kapan senjata itu harus dikembalikan,” jelas Wayan.
Guru besar ilmu politik dan keamanan Universitas Padjadjaran (Unpad) Muradi menjelaskan ketentuan penggunaan senjata anggota Polri diatur dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Perizinan, Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Standar Kepolisian Negara Republik Indonesia.
"Dalam Pasal 8 (peraturan) itu, ada tiga syarat rekomendasi. Pertama, rekomendasi dari atasan langsung. Lalu, ada tes psikologis dan mendapat keterangan sehat dari dokter," kata Muradi kepada Alinea.id, Rabu (4/12).
Namun, penggunaan senpi oleh aparat sangat ditentukan situasi dan kondisi di lapangan. Dalam situasi terdesal, semisal dikepung pelaku kejahatan, polisi diperbolehkan menggunakan senpi.
"Sementara, semisal dalam penggerebekan atau penangkapan itu (terduga pelaku) harus diberi tembakan peringatan tiga kali. Kalau diindahkan, baru tembak langsung," kata Muradi.
Muradi menduga tak semua personel Polri paham dengan pembatasan-pembatasan itu. Ia mencontohkan kasus tewasnya siswa SMK di Semarang. Menurut Muradi, Aipda Robig Zaenudin melanggar sejumlah aturan penggunaan senpi oleh polisi.
"Pertama, menggunakan senjata dan menembakan padahal dia tidak sedang bertugas. Selain itu, dalam kasus di Semarang dia tidak dalam posisi terdesak atau tidak dalam posisi perlu untuk menggunakan senjata api," kata Muradi.
Kelalaian mematuhi aturan penggunaan senjata api oleh anggota kepolisian hingga berujung maut di Semarang perlu direspons oleh petinggi Polri. Bukan tidak mungkin kasus-kasus serupa terus berulang. "Saya duga polisi yang lalai itu belum memahami betul," kata Muradi.
Pakar hukum dari Universitas Atmajaya Yogyakarta, Al Wisnubroto menilai kasus polisi tembak siswa SMK hingga berujung maut di Semarang, merupakan tanda Polri mesti memperbaiki sistem perizinan pengunaan senjata api bagi anggota Polri.
"Akses yang terlampau mudah tanpa pengawasan memberi peluang polisi menggunakan senjata api secara serampangan. Intinya perlu diperbaiki sistem perizinan serta penggunaan dan pengawasan senjata api bagi anggota Polri," kata Wianubroto kepada Alinea.id.