Yani, 36 tahun, tak henti-hentinya bersilang pendapat dengan keluarganya soal rencana bikin sertifikat elektronik untuk tanah mereka. Keluarga ingin sertifikat tanah mereka segera didigitalisasi, tetapi Yani masih was-was.
"Jadi, keluarga khawatir (sertifikat) dicuri orang atau hanyut karena banjir. Tetapi, sebenarnya mereka juga masih pada ragu," kata Yani saat berbincang dengan Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Digitalisasi sertifikat tanah diatur dalam Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertifikat Elektronik. Sertifikat tanah elektronik diklaim lebih aman karena dilengkapi tanda tangan elektronik yang terverifikasi badan siber. Sejak Desember 2023, sudah ada 2,4 juta sertifikat tanah elektronik yang diterbitkan.
Namun, Yani belum sepenuhnya yakin sertifikat digital bakal aman dijaga pemerintah. Ia menyinggung kasus peretasan Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 pada 2024 lalu.
"Bayangin aja kalau tiba-tiba luasannya berubah atau namanya berubah karena diretas dan semacamnya," kata warga Cengkareng, Jakarta Barat, itu.
Kekhawatiran serupa diungkap Teguh, 39 tahun. Warga Tegal Alur, Tangerang, Banten, itu mengaku masih menunggu "bukti-bukti" sertifikat digital tak bakal bermasalah.
"Berjalan dulu sampai terlihat sukses, baru nanti ikut digital. Karena ngelihat banyak kasus peretasan, jujur saya takut," kata Teguh kepada Alinea.id.
Sertifikat tanah diterbitkan oleh Kementerian ATR/BPN. Sesuai Undang- Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, mayoritas sertifikat tanah dibuat dalam bentuk buku.
Peneliti Pusat Kependudukan Badan dan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Gutomo Bayu Aji menilai wajar jika publik masih was-was peralihan dari sertifikat fisik ke digital bakal bermasalah. Risiko pemalsuan atau pencurian oleh mafia tanah tetap ada meskipun bentuk sertifikat sudah digital.
Gutomo menyinggung kasus-kasus pembobolan data yang terjadi di berbagai institusi pemerintah. Tak hanya diretas, bahkan ada banyak indikasi data pribadi milik warga negara, seperti NIK, diperjualbelikan.
"Ini konyol sekali. Kalau itu terjadi pada sertifikat elektronik, bukan tidak mungkin klaim, sengketa dan konflik pertanahan menjadi lebih luas. Itu berarti mafia tanah akan semakin merajalela dalam memperumit persoalan kepemilikan tanah," kata Gutomo kepada Alinea.id.
Gutomo menilai pencurian data sertifikat tanah digital akan menjadi masalah serius yang sulit diselesaikan. Oleh karena itu, Kementerian ATR/BPN harus menyiapkan sistem keamanan digital yang mumpuni agar tidak terjadi peretasan atau pencurian data.
"Sebaliknya, apabila pemerintah mampu melindungi bentuk sertifikat elektronik, yang terjadi justru transparansi, akuntabilitas dan kemudahan dalam penyertifikatan tanah, transaksi jual beli tanah, prosedur birokrasi dan lain-lain. Tapi, itu hanya terjadi di negara maju yang memiliki sistem keamanan digital yang sangat tinggi," kata Gutomo.
Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja sepakat peralihan sertifikat fisik ke digital punya banyak manfaat. Transformasi itu, kata dia, bisa menawarkan efisiensi, kemudahan akses dan transparansi.
"Digitalisasi sertifikat tanah melibatkan penyimpanan data sensitif dalam sistem berbasis digital. Data ini mencakup informasi pribadi pemilik tanah, lokasi Properti, hingga hak kepemilikan," kata Ardi kepada Alinea.id, Senin (25/3).
Namun, pemerintah harus memastikan data sertifikat digital aman dari serangan siber. Jika tidak dilindungi dengan baik, maka program digitalisasi sertifikat tanah bisa menjadi target empuk para peretas untuk penipuan dan transaksi ilegal.
"Peretas dapat memalsukan sertifikat tanah digital untuk mengklaim hak kepemilikan. Hal ini dapat menyebabkan konflik hukum yang merugikan banyak pihak. Serangan ransomware menjadi ancaman lain yang serius. Dalam serangan ini, sistem digitalisasi dapat diretas dan dikunci oleh peretas yang kemudian minta tebusan," kata Ardi.
Peretasan pada sertifikat tanah digital akan punya dampak signifikan yang sulit diatasi. Pemilik tanah, misalnya, bakal mengalami kerugian finansial yang tak kecil. Selain potensial kehilangan aset, mereka juga harus mengeluarkan biaya besar untuk menyelesaikan konflik hukum.
Kasus pencurian data sertifikat elektronik juga bisa memicu krisis kepercayaan dan gangguan-gangguan operasional. "Jika sistem terganggu akibat serangan siber, proses administrasi tanah bisa terhenti, menghambat transaksi properti dan pembangunan ekonomi," imbuh Ardi.
Sebagai solusi, pemerintah harus memperkuat sistem keamanan digital di institusi terkait, semisal membangun protokol keamanan yang kuat, enkripsi data dan firewall. Audit keamanan secara berkala juga perlu dilakukan untuk mengidentifikasi dan menutup celah-celah kerentanan dalam sistem.
Tak kalah penting, menurut Ardi, perlu dilakukan kerja sama dengan ahli keamanan siber untuk merancang dan memantau infrastruktur teknologi agar tetap aman dari ancaman serangan siber.
"Kemudian regulasi yang ketat. Pemerintah perlu menetapkan regulasi yang jelas terkait pengelolaan data digital serta sanksi tegas bagi pelaku kejahatan siber," kata Ardi.