Setelah mendapatkan banyak protes dan aksi massa dari sebagian besar elemen masyarakat, rencana pengesahan revisi Undang-Undang (UU) Pilkada yang dinilai bakal menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024, akhirnya dibatalkan. Kepastian itu datang dari pernyataan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad di akun media sosialnya.
Namun, dia mengaku, pembatalan telah dilakukan sejak pukul 10.00 WIB, Kamis (23/8), sebelum massa mengepung Gedung DPR, Jakarta. Bukan karena desakan massa aksi. Oleh karena itu, putusan MK akan menjadi rujukan untuk pilkada.
Menanggapi hal itu, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komaruddin, pembatalan terhadap pengesahan revisi UU Pilkada adalah angin segar. Menurutnya, sudah sepatutnya para wakil rakyat mengikuti hukum, bukan sebaliknya.
Dia mengingatkan, MK dan DPR harus tetap menjaga kewenangannya masing-masing. Tak boleh ada yang saling melangkahi satu sama lain.
“Ini kemenangan demokrasi dan rakyat,” kata Ujang kepada Alinea.id, Kamis (22/8).
Sementara itu, pengamat politik Ikrar Nusa Bhakti menerangkan, sudah seharusnya asas keadilan menjadi acuan. Jika tetap meneruskan revisi UU Pilkada dan menggunakannya sebagai aturan dalam pilkada, kata dia, dipastikan tidak ada keadilan di pilkada nanti.
Sebab, menurutnya, syarat untuk partai politik yang memiliki kursi dan tak memiliki kursi di DPRD bersifat kontradiktif dalam revisi UU Pilkada. Selain itu, pembatalan terhadap batas usia calon kepala daerah juga tidak akan lagi dapat meloloskan putra bungsu Presiden Joko Widodo atau Jokowi, yakni Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep, yang usianya tak memenuhi syarat dalam putusan MK.
“Asas keadilan menjadi acuan utamanya. Partai-partai yang punya kursi tidak sampai 20% tetap bisa ajukan calon kepala daerah. Mereka (partai politik) yang enggak punya kursi, asalkan perolehan suaranya memenuhi syarat 7,5% juga dapat ajukan calon,” ujar Ikrar, Kamis (22/8).
Di samping itu, Ikrar melihat, sikap yang diambil Dasco sudah final. Maka, seharusnya anggota DPR tidak menarik kata-katanya dengan mengesahkan revisi UU Pilkada secara tiba-tiba. Walau akhirnya pengesahan revisi UU Pilkada tetap dilakukan, Ikrar mengingatkan, hal itu tidak akan berlaku di mata MK.
“Kata kuncinya adalah putusan MK. Kalau bertentangan, tetap enggak bisa sampai kapan pun,” ucap Ikrar.
“Jika Presiden (Jokowi) dan sebagian besar anggota DPR tidak tunduk pada putusan MK, yang berarti melanggar konstitusi, mereka patut di-impeachm dan di-recall.”