Setyo cs dan "matinya" independensi KPK
Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah memilih lima pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2024-2029. Pimpinan lembaga antirasuah dipilih melalui voting oleh 48 anggota DPR di ruang rapat Komisi III, Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (21/11) lalu.
Kelima nama pimpinan KPK terpilih dengan suara terbanyak yaitu Setyo Budiyanto (Polri), Fitroh Rohcahyanto (Kejaksaan Agung), Ibnu Basuki Widodo berasal dari kalangan hakim, Johanis Tanak berasal yang mewakili kejaksaan, dan Agus Joko Pramono berasal dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Setyo disepakati sebagai Ketua KPK yang baru.
Tak seperti periode sebelumnya, tidak ada perempuan terpilih di jajaran pimpinan KPK yang baru. Padahal, ada kandidat dari kalangan perempuan yang lolos hingga tahap akhir, eks anggota Kompolnas Poengky Indarti dan anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Ida Budhiati. Perwakilan dari masyarakat sipil pun nihil.
Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman menilai komposisi pimpinan KPK yang dipilih DPR mengecewakan. Dengan komposisi seperti ini, ia khawatir KPK potensial menjadi sekadar antek kekuasaan.
"Saya melihat KPK ini menjadi sekber, sekretariat bersama bagi aparat penegak hukum, yang masih aktif dan juga masih purna. Ini kemudian akan berdampak pada semakin hilangnya independensi KPK. Saya tidak melihat dengan konfigurasi pimpinan KPK yang seperti ini KPK kembali menjadi lembaga independen," kata Zaenur kepada Alinea.id, Jumat (22/1).
Zaenur menilai bakal ada problem loyalitas ganda membekap lima pimpinan KPK yang berasal dari institusi negara. Pimpinan KPK terpilih potensial mudah tunduk pada pimpinan institusi mereka berasal ketika menangani kasus korupsi di lembaga penegak hukum.
Selain persoalan loyalitas ganda, Zaenur juga mengkritik integritas para pimpinan KPK yang baru. Ia mencontohkan Johanis Tanak yang sempat menyatakan berniat menghapus operasi tangkap tangan (OTT) KPK saat uji kepatutan dan kepantasan di DPR.
"DPR tidak melihat persoalan integritas itu sebagai persoalan utama. Dari proses kemarin, lima orang yang terpilih lebih memihak ingin memenangkan hati anggota DPR, semisal akan menghilangkan OTT. Jadi mereka sudah membawa agenda berbahaya bagi pemberantasan korupsi. Ini tentu menjadi tantangan besar untuk 5 tahun yang akan datang," kata Zaenur.
KPK di bawah pimpinan Setyo cs, kata Zaenur, bukan tidak mungkin mengulang era Firli Bahuri. Ketika itu, KPK terkesan kerap tebang pilih kasus dan para pemimpinnya rutin tersandung kasus pelanggaran etik. Firli saat ini bahkan menyandang status sebagai tersangka dalam kasus pemerasan terhadap eks Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo.
"Jadi, kasus-kasus akan tetap ada. Tetapi, kasus itu tidak akan bisa ditegakkan tanpa pandang bulu. Jadi tentangan pertama yang saya lihat adalah tantangan independensi. Kita bisa melihat bagaimana KPK pada saat era Firli Bahuri. Bagaimana Firli menjual kasus di KPK. Jangan sampai itu terulang," kata Zaenur.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar sepakat komposisi pimpinan KPK yang dipilih DPR mengecewakan publik. Tanpa adanya wakil dari masyarakat sipil, ia pesimistis KPK bisa tetap independen dan tak terjebak dalam permainan politik kekuasaan.
"Para personel komisiober terpilih justru berasal dari latar belakang aparatur penegak hukum pemerintahan yang justru menjadi dasar pertimbangan (konsiderasi UU) dilahirkannya KPK, yaitu lemah dan tidak objektifnya aparatur penegak hukum dan pemerintahan dalam pemberantasan korupsi, terutama kepolisian dan kejaksaan," kata Fickar kepada Alinea.id, Jumat (22/11).
Dia menilai Komisi III DPR telah sengaja mengebiri KPK untuk menjadi alat kekuasaan semata. Usai revisi UU KPK, KPK menjadi lembaga yang berada di bawah ranah eksekutif. Kini, bahkan para petingginya merupakan perwakilan dari lembaga eksekutif.
"Fakta ini bisa membangun prasangka bahwa tindakan ini merupakan bagian dari upaya pelemahan KPK. Tuntas sudah KPK menjadi lembaga bagian dari kekuasaan. Secara sistemik, KPK berada di ranah eksekutif yang (kursi pimpinannya) diisi oleh personel-personel yang berasal dari cabang kekuasaan eksekutif," kata Fickar.
Fickar berpendapat masih ada satu jalan untuk "menyelamatkan" KPK. Hasil pemilihan komisioner KPK oleh DPR digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). DPR, kata dia, melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) karena memilih lima pimpinan KPK dari unsur lembaga negara.
"KPK itu lahir karena kegagalan penegak hukum memberantas korupsi (polisi dan jaksa) karena itu dibentuk lembaga independen yang namanya KPK. Ini tertera pada dasar pertimbangan atau konsideran UU KPK. Jadi, PMH-nya (komposisi pemimpin KPK) bertentangan dengan UU KPK," kata Fickar.