SHGB laut bermasalah bermunculan: Siapa yang harus disikat aparat?
Pemerintah akhirnya mencabut sertifikat hak guna bangunan (SHGB) dan sertifikat hak milik (SHM) di area pagar misterius laut Kabupaten Tangerang, Banten. Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengatakan SHGB dan SHM pagar laut itu dicabut karena cacat prosedur dan material.
Pencabutan sertifikat bisa dilakukan Kementerian ATR tanpa melalui proses hukum karena SHM dan SHGB itu belum berusia 5 tahun. Sesuai PP Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, pemerintah berwenang mencabut izin bermasalah yang usianya belum 5 tahun.
"Maka, Kementerian ATR/BPN mempunyai kewenangan untuk mencabutnya ataupun membatalkan tanpa proses dan perintah dari pengadilan," jelas Nusron kepada pewarta dalam sebuah konferensi pers di Tangerang, Banten, Rabu (22/1).
Setidaknya ada 266 sertifikat SHGB dan SHM yang diterbitkan Kementerian ATR untuk izin pengelolaan "lahan" di area itu. Ratusan sertifikat itu diterbitkan pada periode 2022-2023. Mayoritas SHGB dan SHM diberikan kepada dua perusahaan, yakni PT Intan Agung Makmur dan PT Cahaya Inti.
Kedua perusahaan itu, baik secara langsung atau pun tidak langsung, berada di bawah payung Agung Sedayu Group, kelompok perusahaan milik konglomerat Sugianto Kusuma alias Aguan. Bersama Salim Group, Agung Sedayu Group tengah mengembangkan kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 yang lokasinya persis bersebelahan dengan titik awal pagar laut.
Sebelumnya, Nusron juga mengungkap SHM dan SHGB bermasalah di area seluas 656 hektare di wilayah laut Sidoarjo. Diterbitkan pertama kali pada 1996, SHM dan SHGB itu dulunya merupakan izin pengelolaan lahan untuk tambak ikan. Namun, area tambak itu kini telah "tenggelam" karena abrasi air laut.
Nusron menyampaikan dua skenario untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Pertama, SHM dan SHGB tidak diperpanjang karena masa berlakunya habis pada Februari dan Agustus 2025. Kedua, membatalkan HGB karena lahannya sudah tidak ada. ”Kalau dianggap sebagai tanah musnah, otomatis haknya hilang,” kata Nusron.
Di Bekasi, Jawa Barat, persoalan serupa muncul. Saat ini, ada pagar laut seluas lima kilometer dididirikan di perairan Kampung Paljaya, Tarumajaya, Kabupaten Bekasi. Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi PKS Riyono mengatakan pagar laut itu belum mengantongi izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Menurut Riyono, pagar laut itu dibangun PT Tunas Ruang Pelabuhan Nusantara (TRPN) sebagai pemegang SHGB dan SHM di area tersebut. Pagar laut itu rencananya disiapkan untuk pembangunan jalur pelabuhan. DPR akan memanggil PT TRPN untuk klarifikasi.
“Kami mau cek sejauh mana HGB-nya atau sertifikat hak miliknya. SHM-nya ini yang kami sedang dalami,” ujar Riyono, usai inspeksi mendadak di Kampung Paljaya.
Indikasi pelanggaran pemanfaatan ruang laut juga terungkap di Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Di pulau ini, PT Cahaya Prima Sentosa (CHP) diduga melakukan reklamasi tanpa izin yang merusak ekosistem mangrove dan padang lamun.
Deputi Eksternal Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional Mukri Friatna menduga ada praktik kongkalikong antara pengusaha dan pejabat dalam penerbitan sertifikat-sertifikat bermasalah di ruang laut. Dalam banyak kasus, SHM dan SHGB di ruang laut diterbitkan hanya kurang dari setahun setelah permohonan izin masuk.
Pada situasi normal, menurut Mukri, semestisnya SHGB diterbitkan dalam kurun waktu 3-4 tahun setelah permohonan. Di lain sisi, tidak ada ketentuan yang mengatur penerbitan SHGB dan SHM untuk area di ruang laut.
"Dengan demikian diduga kuat ada unsur korupsi perizinan dan praktik suap antara si pemohon dengan pemberi izin. Untuk kasus ini, bisa dijerat dengan undang-undang anti korupsi. Pada Undang-Undang (Nomor 26 Tahun 2027) tentang Tata Ruang, pembangunan tidak sesuai tata ruang merupakan tindak pidana," kata Mukri kepada Alinea.id di Jakarta, Kamis (23/1).
Menurut Mukti, kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus turun tangan menyelidiki fenomena maraknya SHGB-SHM di ruang laut. Pejabat struktural Kementerian ATR dan pejabat di kantor pertanahan setempat perlu diselidiki karena merekalah yang berwenang menerbitkan dan membatalkan SHGB.
"Meskipun pejabat atau pegawai itu telah pensiun, maka patut untuk diperiksa. KPK juga harus turun tangan karena pokok materi terkait suap dan penyalahgunaan wewenang," kata Mukri.
Mukri berpendapat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHAM) juga bisa turun tangan untuk menyelidiki potensi pelanggaran HAM akibat terbitnya SHGB dan SHM bermasalah di ruang laut. KomnasHAM, misalnya, bisa turun tangan untuk menyelidiki dampak reklamasi ilegal di Pulau Pari.
"Komnas HAM semestinya bisa terlibat untuk membongkar praktik pelanggaran yang ditimbulkan. Ada praktik penguasaan pesisir pantai oleh pemodal yang hari ini sedang terjadi di seberang pantura Tangerang, tepatnya di Pulau Pari, gugusan Kepulauan Seribu," kata Mukri.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati mengatakan pengkaplingan ruang laut untuk kepentingan bisnis korporasi mulai marak sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Eksploitasi ruang laut yang tidak bertanggung jawab itu bisa direm setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan nomor 3/PUU-VIII/2010. Putusan itu menegaskan ketentuan mengenai pemberian Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945.
"MK mengatakan bahwa nelayan itu punya hak konstitusi, hak untuk mendapatkan akses terhadap ruang hidupnya, untuk menjalankan tradisi, dan hak untuk mendapatkan perairan yang bersih dan sehat," kata Susan kepada Alinea.id.
Namun, ancaman terhadap hak konstitusional kelompok nelayan kembali muncul setelah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) diterbitkan. Menurut Susan, UU Ciptaker kembali memberikan celah bagi korporasi untuk mengeksploitasi kawasan pesisir.
"Sayangnya, yang terjadi di pesisir sementara ini jauh dari apa yang kita sebut sebagai hak konstitusi itu, terutama dalam beberapa tahun terakhir. Apalagi dengan terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja yang ternyata di dalam substansinya itu banyak sekali permasalahan," kata Susan.
Susan sepakat ada kongkalikong antara mafia tanah dan pejabat kantor pertanahan setempat dalam penerbitan SHGB dan SHM bermasalah di ruang laut. Salah satu modus yang terendus ialah penerbitan sertifikat dalam persil-persil (bidang tanah) kecil.
Ia mencontohkan "bagi-bagi" SHGB dan SHM untuk 266 perusahaan dan individual di area pesisir Tangerang. Kebanyakan HGB merupakan izin pengelolaan lahan dengan luas di bawah 2 hektare. Pola serupa, kata Susan, juga terlihat pada kasus reklamasi ilegal di Pulau Pari.
"Kenapa dia pecah kecil-kecil di bawah dua hektare? Karena memang itu wewenangnya oleh kantor pertanahan di wilayah yang mengeluarkan dan Kementerian ATR/BPN yang menyetujui. Jadi, kalau ada apa-apa, yang lapis bawah yang kemudian paling memungkinkan untuk dikejar," kata Susan.