Jamaludin, 41 tahun, seorang warga yang tinggal di rumah susun (rusun) Pesakih, Kalideres, Jakarta Barat, punya kisah tersendiri ketika Jakarta terguncang dampak gempa bumi di Cianjur, Jawa Barat pada 21 November 2022. Dia dan keluarganya yang sedang istirahat siang, usai berjualan sayur di Pasar Cengkareng, sempat mengira ada kendaraan berat yang masuk ke kompleks rusun.
“Tapi, semenit kemudian kok orang pada lari ke bawah,” ucap Jamaludin kepada Alinea.id, belum lama ini.
Jamaludin yang tinggal di lantai empat pun ikut turun, sembari mendengar hingar-bingar keributan di tangga rusun. Setibanya di lantai dasar, dia baru tahu ternyata itu guncangan gempa bumi.
“Saya naik lagi ke atas untuk ajak istri saya turun,” ujar Jamaludin.
Untungnya, gempa tidak membesar dan tak ada gempa susulan. Namun, beberapa hari belakangan Jamaludin mengaku agak khawatir soal potensi gempa megathrust di Jakarta, yang jaraknya berada tak jauh dari Selat Sunda.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyoroti dua wilayah yang berpotensi terjadi gempa megathrust, yakni Selat Sunda dan Mentawai-Siberut.
Zona megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut dinilai sebagai area seismic gap atau kekosongan gempa besar yang sudah berlangsung selama ratusan tahun. Potensi gempanya mencapai magnitudo 8,7 di Selat Sunda dan 8,9 magnitudo di Mentawai-Siberut.
Jamaludin mengaku belum tahu betul bagaimana evakuasi yang harus dilakukan saat gempa terjadi. Meski begitu, dia akan sebisa mungkin turun ke lantai dasar dan mencari tempat luas demi menghindari runtuhan bangunan akibat guncangan gempa.
Seorang warga yang tinggal tak jauh dari bangunan apartemen terbengkalai di Casa Goya Park Residence, Kebon Jeruk , Jakarta Barat, Suryanto, juga mengaku agak takut bangunan yang menjulang tinggi itu runtuh karena guncangan gempa. Dia menyarankan, bangunan itu dilanjutkan, dijual ke pihak lain, atau dirobohkan.
Sedangkan warga lain yang juga tinggal di dekat apartemen mangkrak di Casa Goya Park Residence, Hanafi pun khawatir bangunan itu runtuh saat terjadi gempa. Menurutnya, sewaktu terjadi gempa bumi besar di Cianjur, dia mendengar ada benda jatuh dari bagian atas apartemen terbengkalai itu.
Sejak akhir Mei 2024, Pemprov DKI Jakarta membentuk satgas penilaian gedung dan non-gedung untuk mengurangi risiko bencana gempa bumi. Pembentukan satgas beranggotakan 122 personel tersebut sebagai bagian dari upaya Pemprov DKI Jakarta untuk meningkatkan kesiap siagaan terhadap ancaman gempa bumi.
Penjabat (Pj.) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengatakan, satgas itu punya tugas melakukan pemantauan terhadap keandalan gedung dan non-gedung di Jakarta, memberikan rekomendasi terhadap hasil pemeriksaan gedung, serta melakukan koordinasi intensif dengan lembaga terkait untuk memberi saran dan masukan terhadap hasil pemeriksaan.
Dalam satgas ini yang terlibat, di antaranya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), BMKG, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta, Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Disgulkarmat), dan Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan (DKCTRP).
Selain itu, BPBD DKI Jakarta pun intensif melaksanakan sosialisasi dan simulasi mengenai evakuasi masyarakat untuk menghadapi gempa bumi, baik di gedung, permukiman, sekolah, hingga rumah sakit.
Sementara itu, Direktur Pusat Penelitian Penanggulangan Bencana Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Yogyakarta Eko Teguh Paripurno memandang, Jakarta punya masalah yang berbeda dengan kota-kota lain soal kegempaan. Semua gedung tinggi, termasuk yang rusak, perlu diperiksa ketahanan fisik konstruksi bangunannya.
Di samping perlu memetakan bangunan yang rentan runtuh dan kemungkinan bakal menelan korban jiwa, kata Eko, Pemprov DKI Jakarta pun harus menyiapkan ruang untuk tempat evakuasi. Sebab, hunian vertikal di Jakarta tidak cukup banyak menyediakan tempat atau ruang penyelamatan dari bencana gempa.
“Harusnya setiap orang dapat 100 sentimeter persegi. Tapi faktanya, salah satu hunian vertikal di sekitar Kalibata (Jakarta Selatan) jumlahnya kurang dari itu,” kata Eko kepada Alinea.id, Senin (26/8).
“Kita bisa lihat berapa jumlah ketersediaan ruang penyelamatan dari semua warga hunian.”
Eko juga memandang, nyaris tidak ada pengelola hunian vertikal yang melakukan kegiatan pelatihan menghadapi bencana gempa yang memadai secara berkala. Secara pendekatan, pengelola hunian vertikal lebih fokus pada kenyamanan dan keindahan.
“Tapi belum sampai pada keamanan dan keselamatan warganya,” tutur Eko.
Eko pun mengingatkan, Pemprov DKI dan warga Jakarta harus sudah mulai mengkaji risiko gempa di lingkungan terdekat, sekaligus merancang mitigasi gempa megathrust.
“Jadi perlu melakukan pengamatan kerentanan infrastruktur, diseminasi informasi, dan belajar merespons,” kata dia. “Itu belum dilakukan.”