Setelah potongan kepala babi, kantor redaksi Tempo dikirimi paket "ancaman" berupa enam bangkai tikus dengan kepala terpenggal. Menurut Tempo, kardus berisi potongan enam bangkai tikus itu ditemukan oleh petugas kebersihan, Sabtu (22/3) lalu.
Kabareskrim Polri Komjen Wahyu Widada mengatakan tim dari kepolisian sudah diterjunkan untuk mengusut kasus dugaan teror ke kantor Tempo. Polisi sudah menyisir CCTV yang ada di lokasi kejadian dan meminta keterangan dari sejumlah saksi.
"Tim kita sedang turun di lapangan melakukan penyelidikan. Teknis penyelidikan saya tidak bisa sampaikan di sini," ujar Wahyu kepada wartawan di Jakarta, Senin (24/3).
Hingga kini, tak jelas siapa pengirim pake teror ke redaksi Tempo ini. Namun, sejumlah aktivis dan pengamat mengaitkan pengiriman kepala babi dan bangkai tikus itu dengan kerja-kerja jurnalistik Tempo dalam beberapa bulan terakhir.
Dibungkus kotak kardus berlapis styrofoam, potongan Kepala babi dikirimkan ke kantor Tempo di Palmerah Barat, Jakarta, Rabu (19/3). Pada kardus itu, tertulis nama Francisca Rosana atau Cica, wartawan desk politik Tempo yang juga host "Bocor Alus".
Dari rekaman CCTV, terlihat paket itu dikirimkan kurir bermotor putih yang menggunakan helm khas ojek online.
Direktur Eksekutif LBH Pers Mustafa Layong meminta kepolisian serius mengungkap kasus dugaan teror terhadap jurnalis Tempo itu. Keseriusan pengungkapan kasus jadi bukti bahwa pemerintah berkomitmen melindungi kerja-kerja semua jurnalis sekalipun sang jurnalis berasal dari media yang kerap berseberangan dengan rezim.
“Kita tidak menuduh pemerintah sebagai bagian dari serangan ini, tetapi kita mendorong pemerintah untuk membuka secara luas penyelidikan kasus ini. Pemerintah harus menunjukkan komitmennya dalam memberikan perlindungan kepada jurnalis. Jika tidak, publik bisa saja berasumsi bahwa pemerintah tidak serius dalam menegakkan hukum,” ujar Mustafa kepada Alinea.id, Senin, (24/3).
Menurut Mustafa, pengiriman kepala babi dan bangkai tikus ke kantor Tempo harus diusut tuntas karena bisa berimplikasi luas. Apalagi, sejumlah jurnalis Tempo juga mengalami intimidasi dan teror pada beberapa kasus lain.
"Kasus ini menimbulkan kekhawatiran bahwa jika tidak ditindak tegas, eskalasi ancaman terhadap jurnalis bisa meningkat. Sejarah mencatat bahwa banyak serangan terhadap jurnalis yang berawal dari aksi teror semacam ini sebelum akhirnya berujung pada ancaman lebih besar, termasuk kekerasan fisik hingga pembunuhan," ujar dia.
Sebelumnya, Kepala Kantor Komunikasi Presiden Hasan Hasbi sempat merespons kasus dugaan teror terhadap Tempo. Ia menegaskan Istana tidak ada sangkut pautnya dengan kasus itu. Hasan sempat menyebut agar kepala babi itu dimasak saja dengan maksud agar Tempo tak takut terhadap intimidasi semacam itu.
Tak hanya mengerdilkan aksi si peneror, menurut Mustafa, akan lebih tepat jika pemerintah memastikan bahwa praktik-praktik intimidasi dan ancaman kekerasan terhadap jurnalis tidak terus berulang. Sedikit banyak, ia meyakini ancaman teror mengganggu suasana di ruang redaksi Tempo.
"Yang harus dilakukan pemerintah adalah memberikan kepastian dan memberikan ketegasan bahwa teror itu tidak ada ruang di Indonesia, dan setiap pelaku serangan terhadap pers itu harus diadili, tidak kemudian dibiarkan dinormalisasi impunitas-impunitas yang terjadi bagi jurnalis," kata dia.
Pengamat kepolisian Bambang Rukminto berpendapat kepolisian semestinya tak akan kesulitan mengungkap dalang kasus dugaan teror ke Tempo. Apalagi, kepolisian punya perangkat lengkap untuk pengungkapan kasus itu.
Persoalannya, kata Bambang, kepolisian seringkali "masuk angin" ketika menangani kasus-kasus yang korbannya ialah individu atau kelompok-kelompok yang kritis kepada pemerintah.
"Kasus teror, intimidasi ke pers maupun suara-suara kritis ke pemerintah selama ini tak pernah terungkap, baik aktor pelaksana, apalagi otak pelaku," kata Bambang.