close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi bantuan USAID. /Foto Instagram @usaidsavelifes
icon caption
Ilustrasi bantuan USAID. /Foto Instagram @usaidsavelifes
Peristiwa
Rabu, 05 Februari 2025 20:09

Sisi gelap USAID: Bagaimana lembaga donor digunakan jadi senjata politik

Kehadiran USAID tak selalu diterima dengan tangan terbuka.
swipe

Aksi protes terhadap penutupan Badan untuk Pembangunan Internasional Amerika Serikat atau United States Agency for International Development (USAID) terus digelar di kantor pusat USAID di Washington DC, AS, hingga Rabu (5/2). Para pegawai USAID memprotes kebijakan pemerintahan Donald Trump yang memaksa mereka bekerja dari rumah tanpa kejelasan. 

Beberapa hari sebelumnya, Trump resmi membubarkan USAID. Kebijakan itu dieksekusi Kepala Department of Government Efficiency (DOGE) AS Elon Musk. Dibantu aparat keamanan, DOGE memaksa semua pegawai USAID pulang ke rumah. Pita kuning polisi kini terpasang di pintu masuk gedung USAID. 

Dalam sebuah livestream di Space X, Senin (3/2) lalu, Musk mengibaratkan USAID sebagai apel busuk. "Tak hanya sebutir apel dengan seekor ulat. Yang kita lihat ialah segerombolan ulat. Kita harus membuangnya. Ini (USAID) sudah tidak bisa diselamatkan lagi," kata Musk. 

Polemik berlanjut di parlemen AS. Sejumlah politikus Partai Demokrat berjanji menyelamatkan USAID. Senator Brian Schatz mengatakan akan memblok semua nominasi Kementerian Luar Negeri AS sebelum kebijakan menutup USAID dibatalkan. 

"Membubarkan USAID ilegal dan membuat kita tidak aman. USAID diciptakan berdasarkan hukum federal dan didanai kongres. Donald Trump dan Elon Musk tidak bisa menghapusnya begitu saja lewat tanda tangan di dokumen," kata Schatz. 

USAID didirikan pada 1961 oleh Presiden AS John F. Kennedy. Lembaga itu didesain untuk mengelola program-program bantuan kemanusiaan dari AS dan fokus pada bidang pengembangan ekonomi dan sosial di negara-negara berkembang. 

Pada 2023, AS--sebagian via USAID--menggelontorkan US$72 miliar ke berbagai belahan dunia guna mendanai berbagai program, mulai dari kesehatan perempuan, akses terhadap air bersih, penanganan HIV/AIDS, keamanan energi, hingga persoalan antikorupsi. 

Dalam sebuah perintah eksekutif pada 20 Januari lalu, Trump mengumumkan penghentian penyaluran dana bantuan AS selama 90 hari. Ia menyebut industri dan birokrasi bantuan luar negeri tak sejalan dengan kepentingan nasional AS. 

"Bantuan asing digunakan untuk mendestabilitasi perdamaian dunia dengan mempromosikan ide-ide di negara-negara asing yang merusak keharmonisan dan relasi internal di dalam dan di antara negara-negara," kata Trump. 

Khusus untuk USAID, Trump sempat menyebut lembaga itu dikelola oleh orang-orang kiri dan kaum radikal. Teranyar, ia memerintahkan semua pegawai USAID angkat kaki dari kantor mulai 7 Februari mendatang. 

Di tengah kontroversi penutupan USAID, Wikileaks merilis sebuah kabel rahasia yang isinya menunjukkan bagaimana US Army Special Operational Forces (ARSOF) bisa menggunakan USAID dalam perang ekonomi. 

Dipaparkan dalam kabel itu, ARSOF bisa menggunakan insentif dan disinsentif ekonomi untuk membujuk musuh, menciptakan aliansi, dan mengubah perilaku elite-elite domestik. 

"Pendirian kantor-kantor United States Agency for International Development (USAID) di luar negeri dan misinya yang bersentuhan langsung dengan lembaga kemanusiaan bisa menjadi salah satu kanal untuk pemanfaatan insentif ekonomi," tulis kabel rahasia itu. 

Seolah seiringan, dalam sebuah unggahan di X (Twitter), jurnalis Intercept Glenn Greenwald menyebut USAID dan National Endowment for Democracy ialah dua lembaga yang lazim dijadikan cabang CIA di negara asinng. 

"Yang didesain untuk memanipulasi politik internal di negara lain untuk keuntungan elite-elite politik di Washington DC," kata Greenwald. 

Unggahan Greenwald dikomentari Elon Musk. "Dan mereka melakukan pekerjaan itu dengan buruk," kata pendiri Tesla itu.

Dari Bolivia hingga Rusia 

Meskipun kerap datang dengan sekantong uang, faktanya USAID tak selalu diterima dengan tangan terbuka oleh para pemimpin negara-negara di berbagai belahan dunia. Ada banyak kasus yang menunjukkan bagaimana USAID dipersepsikan sebagai lembaga pengganggu oleh elite-elite yang berkuasa. 

Salah satu kasus yang paling kontroversial ialah konflik antara USAID dengan pemerintah Ekuador pada periode 2007-2011. Konflik itu berujung pengusiran USAID dari Ekuador. Kabel-kabel rahasia yang dirilis Wikileaks mengelaborasi secara mendetail konflik antara kedua kubu. 

Dalam sebuah kawat rahasia pada Oktober 2009, Dubes AS untuk Ekuador, Heather Hodges mengeluhkan keinginan pemerintah Ekuador di bawah Rafael Correa untuk memegang kendali atas dana bantuan USAID sepenuhnya. Menurut Hodges, Correa ingin agar lembaga pemerintah yang menjalankan program-program kemanusiaan USAID dan donor-donor lain. 

Permintaan Ekuador sejalan dengan isi Paris Declaration on Aid Effectiveness yang ditandatangani 100 negara pada 2005. Kesepakatan itu menetapkan bahwa negara-negara berkembang harus mengatur sendiri kerja-kerja pembangunan dan negara donor mesti menyesuaikan bantuan mereka dengan prioritas negara penerima. 

Jika dipenuhi, menurut Hodges, negara-negara lain bakal menutut hal serupa. "Tak hanya berharap kita berkolaborasi dengan institusi pemerintah dalam implementasi program-program bantuan, mereka juga ingin kontrol langsung terhadap dana bantuan dengan sedikit atau bahkan tanpa persyaratan sama sekali," kata Hodges. 

Dalam kawat rahasia lainnya, Hodges mengeluhkan sulitnya mengimplematasikan penegakan hukum dan program-program militer AS meskipun sudah menggelontorkan banyak dana bantuan. Meskipun terus didesak, pemerintah AS dan USAID menolak untuk menyerahkan langsung dana bantuan kepada pemerintah Ekuador. 

Puncak konflik terjadi pada 2010. Setelah selamat dari upaya kudeta, Corea menuduh USAID mengintervensi negara-negara di Amerika Latin dengan dalih memperkuat demokrasi. Lewat gelontoran dana bantuan, menurut Corea, AS berupaya memenangkan hati rakyat Ekuador demi tujuan politik mereka. 

"Namun, intensi nyatanya ialah untuk mendestabilitasi pemerintahan dengan cara mendanai kelompok atau individu-individu tertentu," kata Corea.

Pada 2012, Bolivarian Alliance for the Peoples of Our America (ALBA) menginstruksikan agar negara-negara anggota ALBA menolak kehadiran USAID di negara mereka setelah menyimpulkan AS menjalankan berbagai operasi intelijen yang melanggar kedaulatan negara-negara ALBA. Ekuador adalah salah satu anggota blok negara-negara anti imperialis itu. Selang dua tahun, Ekuador resmi mengusir USAID. 

Langkah serupa juga diambil Presiden Bolivia Evo Morales setahun sebelumnya. Menurut Morales, sebagaimana dikutip dari LA Times, Washington berupaya mendominasi dan menundukkan Bolivia lewat gelontoran dana bantuan kemanusiaan via USAID. 

Mengutip resolusi ALBA, Morales menuding AS terlibat dalam beragam intervensi politik dan konspirasi di negaranya. "Menjarah sumber daya alam kita," kata Morales. 

Di Rusia, USAID juga diusir. Pada September 2012, Presiden Rusia Vladimir Putin meminta USAID angkat kaki setelah 20 tahun mendistribusikan bantuan kemanusiaan senilai US$3 miliar di wilayah-wilayah terpencil Rusia. Putin menuding USAID melakukan "aktivitas menyimpang". 

"Rakyat kita bisa membedakan hasrat untuk pembaharuan relasi dan provokasi politik yang punya satu tujuan: menghancurkan Rusia dan menggulingkan kekuasaan," kata Putin ketika itu.

 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan