close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) Pertamina. Foto Unsplash.
icon caption
Ilustrasi stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) Pertamina. Foto Unsplash.
Peristiwa - Korupsi
Jumat, 28 Februari 2025 06:20

Skandal BBM oplosan: Kekecewaan publik dan desakan transparansi

Isu oplosan BBM dalam kasus skandal PT Pertamina Patra Niaga memantik kekecewaan publik.
swipe

Ramai berita tentang skandal manipulasi bahan bakar minyak (BBM) sampai ke telinga Teddy Purnomo, 36 tahun. Warga Batu Ceper, Tangerang, Banten itu langsung teringat dengan sepeda motornya yang kerap bermasalah.

Pantesan motor saya sering mati tiba-tiba. Kalau lagi servis sering nambah servis yang lain. Padahal pakai Pertamax,” ujar Teddy kepada Alinea.id, Kamis (27/2).

Sepeda motor milik Teddy merek Yamaha Nmax produksi 2024. Baru dia beli. Namun, kerap mati mendadak, harus dinyalakan lewat tombol starter berulangkali. Keluhan itu sempat ditanyakan ke mekanik di bengkel.

“Orang bengkel sempat bilang, ‘jangan pakai Pertalite motor beginian’. Tapi saya bilang, sudah pakai Pertamax. Tapi orang bengkel bilang, ‘enggak mungkin masa Pertamax mogok’. Eh ternyata ada kasus manipulasi BBM itu,” ujar Teddy.

Kecewa, Teddy mengaku ingin bralih mengisi bensin di Shell atau Vivo. “Daripada kendaraan (saya) rusak,” tutur Teddy.

Selain Teddy, seorang montir bengkel sepeda motor di Cengkareng, Jakarta Barat, Hidayat, 28 tahun, pun sudah mengendus indikasi manipulasi BBM. Sebabnya, dia mengaku sudah sering berselisih pendapat dengan pemilik kendaraan saat harus menguras tangki bensin.

“Sering motor yang seharusnya pakai BBM berkualitas tinggi kok kotor rongga mesinnya. Kelihatan banget BBM-nya kotor atau berkualitas buruk. Tapi kata pemilik, sudah pakai Pertamax. Aneh,” ujar Hidayat, Kamis (27/2).

Dia baru mendapat jawabannya setelah kasus tata kelola minyak mentah dan produk kilang terbongkar. “Oh ini kayaknya kenapa bengkel saya sering ada konsumen yang motornya mahal kok (seperti) pakai Pertalite. Walaupun bisa sih, tapi tetap enggak bagus buat mesin,” ujar Hidayat.

Hidayat enggan berkomentar lebih jauh mengenai kekecewaan publik yang belakangan mulai ogah mengisi bensin di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPUB) milik PT Pertamina. Sebab, kata dia, hal itu sudah mekanisme pasar yang berlaku.

“Tapi kayaknya hal semacam ini enggak akan lama. Kalau pemilik kendaraan yang sadar sih, kalau kendaraannya memang tidak disarankan pakai BBM berkualitas rendah, ya mending beli di luar Pertamina,” tutur Hidayat.

Kekecewaan publik mengemuka saat kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang mengoplos BBM jenis research octane number (RON) 90 alias Pertalite menjadi RON 92 alias Pertamax dibongkar Kejaksaan Agung (Kejagung) beberapa hari lalu.

“BBM berjenis RON 90, tetapi dibayar seharga RON 92, kemudian dioplos, dicampur,” ujar Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, dikutip dari Antara.

Praktik lancung itu bermula, periode 2018-2023 pemenuhan minyak mentah dalam negeri wajib mengutamakan pasokan minyak bumi nasional. PT Pertamina juga harus mencari pasokan minyak bumi dari kontraktor dalam negeri, sebelum merencanakan impor minyak bumi.

Namun, dilakukan pengondisian yang membuat pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilaksanakan dengan cara impor. Saat produksi kilang minyak sengaja diturunkan, produksi minyak mentah dalam negeri oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) pun sengaja ditolak. Alasannya, spesifikasi tak sesuai dan tak memenuhi nilai ekonomis. Akibatnya, bagian KKKS untuk dalam negeri harus diekspor ke luar negeri.

Lalu, demi memenuhi kebutuhan dalam negeri, PT Kilang Pertamina Internasional melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang. Saat pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, dilakukan pembelian BBM berjenis RON 92. Padahal, sebenanrnya hanya membeli RON 90. BBM tersebut kemudian dioplos di storage atau depo untuk dijadikan RON 92.

Ada sembilan tersangka dalam perkara ini, antara lain Riva Siahaan sekalu Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Sani Dinar Saifuddin selaku Direktur Feedstock and Product Optimalization PT Kilang Pertamina Internasional, dan Agus Purwono selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.

Kemudian Dimas Werhaspati selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim, Gading Ramadhan Joedo sekalu Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak, Yoki Firnandi selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, serta Muhammad Kerry Andrianto Riza selaku Beneficialy Owner PT Navigator Khatulistiwa.

Kejagung juga menetapkan dua tersangka baru, yakni Maya Kusmaya selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, serta Edward Corne selaku VP Trading Produk Pertamina Patra Niaga.

Kejagung menyebut, dalam perhitungan sementara, kerugian negara pada 2023 mencapai Rp193,7 triliun. Bila pola yang sama terjadi sejak 2018, total kerugian negara bisa mendekati Rp1 kuadriliun.

Walau pihak PT Pertamina sudah membantah tudingan adanya BBM jenis Pertamax yang dioplos dengan Pertalite, namun narasi itu sudah telanjur membuat publik kecewa.

Menanggapi hal itu, pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) Mulyanto menilai, pemerintah perlu melakukan uji sampel BBM jenis Pertamax di beberapa SPBU. Menurutnya, hal itu penting dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, setelah beredar kabar Pertamax adalah Pertalite yang dioplos.

Pemerintah harus menjamin, BBM jenis Pertamax sesuai dengan spesifikasi berdasarkan uji sampel terbaru, bukan sekadar klaim pada pernyataan sepihak dari Pertamina.

“Pemerintah melalui Ditjen Migas (Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral) atau BPH Migas (Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi) harus dapat memastikan bahwa Pertamax yang dijual Pertamina di SPBU-SPBU benar-benar sesuai dengan spesifikasi yang benar, yakni dengan RON 92,” ujar Mulyanto lewat keterangan persnya, Kamis (27/2).

Mulyanto menegaskan, pemerintah harus dapat melindungi masyarakat. Jangan sampai masyarakat dirugikan karena kasus dugaan penyimpangan dalam pengadaan impor minyak mentah. Keresahan dan kepercayaan masyarakat pada produk BBM Pertamina, kata dia, harus dipulihkan dengan bukti nyata.

"Sekarang ada anggapan kalau Pertamax adalah Pertalite yang tidak ngantre," kata  Mulyanto.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan