close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi korban penipuan berjenis social engineering. /Foto Unsplash
icon caption
Ilustrasi korban penipuan berjenis social engineering. /Foto Unsplash
Peristiwa
Jumat, 19 Juli 2024 12:09

Soceng era kiwari: Dari nyamar jadi polisi hingga mengobral kerja bergaji tinggi

Penipuan berjenis social engineering kian marak dan beragam.
swipe

Nanda, 33 tahun, sedang menantikan seorang narasumber menghubunginya saat telepon selulernya berdering, Selasa petang itu. Berharap itu sang narsum, jurnalis sebuah media daring nasional itu buru-buru mengangkat telepon. 

Suara dari seberang sambungan telepon ternyata dari seseorang yang mengklaim sebagai customer service Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Oleh customer service itu, Nanda diarahkan untuk mencari informasi tambahan dan dihubungkan ke seseorang yang mengaku sebagai petugas PN Jakpus. 

Sang petugas menyebut Nanda telah menunggak utang kartu kredit hingga Rp28.300.000 sehingga digugat Bank BCA. Petugas itu sempat menyebut nomor KTP Nanda yang terkonfirmasi benar, Tetapi, alamat yang ia sebut salah.

Ada sejumlah poin yang Nanda ingat dari perbincangannya dengan sang petugas. Pertama, Nanda diklaim punya kartu kredit visa platinum yang sudah menunggak melebihi 6 bulan. Kedua, gugatan dari pihak bank masuk ke PN Jakpus pada 5 Juli 2024. Ketiga, nama kartu BCA visa platinum. Keempat, nomor kartu 4815 2500 0406 0517. Kelima, tanggal pengajuan 9 Januari 2024.

Setelah bicara panjang lebar mengenai detail gugata, sang petugas kemudian meminta Nanda untuk membuat laporan online Bareskrim Polri. Dari nomor yang sama, Nanda dialihkan ke sambungan video call dengan seorang petugas lain yang berseragam polisi. 

“Waktu videocall orang yang pake baju polisi itu ada di ruangan yang tampaknya diatur layaknya ruang Bareskrim Mabes Polri. Karena ada logo besar itu di belakangnya, makanya saya masih menanggapi,” kata Nanda kepada Alinea.id, Selasa (16/7).

Sang polisi yang mengaku bernama AKBP Hadi dan berkantor di lantai 8 Bareskrim Polri itu. Ia mengancam agar Nanda "tidak main-main". Nanda pun mengajaknya bertemu secara langsung. Namun, sang petugas beralasan tak bisa bertemu lantaran perlu membawa berkas laporan dari PN Jakpus.

Setelah berbicara cukup lama, Nanda merasa percaya dengan proses aduan ini. Di tengah perbincangan, Hadi meminta Nanda untuk memegang KTP dan diletakkan di bawah muka. Alasannya untuk kepentingan penyelidikan. “Kalau Bapak mau membersihkan nama Bapak, kooperatif saja,” kata Nanda menirukan ucapan Hadi. 

Kepada Hadi, Nanda menyampaikan identitas dirinya secara lengkap, mulai dari nama orangtua, profesi, hingga perusahaan tempat ia bekerja. Hadi kemudian berkomunikasi dengan orang lain menggunakan handy talky (HT) selayaknya petugas polisi.

Komunikasi seolah sedang memastikan kebenaran data yang diungkap Nanda. Setelah itu, Hadi lantas menyampaikan bahwa Nanda terlibat tindak pidana pencucian uang (TPPU) bersama seorang warga negara asal Tiongkok.

“Ini data dari siber Polri, Bapak sudah tersangka dan berdasarkan pengakuan tersangka Angelina, warga negara China, Bapak mendapatkan komisi 15% dari pencucian uang sebesar Rp 181 miliar,” ujar Nanda mengulang kembali ucapan Hadi.

Pada titik itulah, Nanda kemudian menyadari bahwa ia sedang ditipu. Ia curiga datanya sedang dicuri untuk dipakai dalam tindakan ilegal. " Entah pinjaman online atau pinjol ilegal," jelas Nanda. 

Bersama rekan jurnalis lainnya, Nanda lantas berkonsultasi dengan petugas kepolisian di Mabes Polri. Lantaran belum ada kerugian materiil, pihak kepolisian menilai apa yang dialami Nanda belum bisa dilaporkan sebagai tindak pidana. 

Apa yang dialami Nanda dikategorikan Satuan Tugas Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas Pasti) sebagai penipuan "bergenre" social engineering alias soceng dengan modus impersonation atau peniruan. Pada modus itu, pelaku mengaku berasal dari lembaga berizin atau institusi resmi dan memanipulasi korban demi mencuri data. 

Modus-modus lainnya yang paling banyak dilaporkan masyarakat kepada Satgas ialah modus salah transfer ke rekening korban, penipuan penawaran pekerjaan, dan phising. Phising ialah metode mencuri data korban dengan mengirim file berbentuk aplikasi (APK) melalui pesan WhatsApp atau pesan singkat telepon seluler. 

Berbeda dengan Nanda, Tari--bukan nama sebenarnya--juga baru saja dikerjai pelaku soceng. Sekira dua pekan lalu, nomor WhatsApp-nya mendadak dimasukkan ke dalam sebuah grup perbincangan yang tidak ia kenal. 

Di grup itu, seseorang bernama Velka bertindak layaknya koordinator. Velka meminta orang-orang di grup segera mengerjakan tugas yang ia berikan: mengklik puluhan link dan membagikan tautan. 

"Saya enggak kenal satu pun di grup itu. Saya juga enggak tahu gimana ceritanya nomor saya bisa masuk ke dalam grup itu," ujar Tari saat berbincang dengan Alinea.id di Jakarta, belum lama ini. 

Tari kemudian menghubungi nomor Velka secara terpisah. Velka mengklaim salah memasukkan nomor. Namun, ia tetap menawarkan pekerjaaan tersebut kepada Tari. Velka mematok rate kisaran Rp300rib-Rp500 ribu per hari untuk pekerjaan yang ia sebut remeh itu. 

Sedang butuh tambahan duit, Tari tergiur. Seharian penuh ia mengerjakan tugas-tugas yang diberikan Velka di grup Whatsaap. Beberapa nomor lain hengkang dari grup tersebut, namun banyak pula yang bertahan. 

Velka menjanjikan akan segera mentransfer komisi ke rekening masing-masing. Namun, keesokan harinya grup itu bubar dan Velka tak bisa dihubungi Tari. "Saat itu saya baru sadar ditipu," ujar warga Jakarta Barat itu. 

Direktur Eksekutif ICT Institute, Heru Sutadi mengatakan penipuan bergenre soceng kini kian beragam. Khusus untuk yang dialami Nanda, Heru mengaku sudah beberapa kali menemukan kasus serupa dialami korban lainya. 

"Orang yang mengaku polisim, merekayasa untuk menghubungi kita. Ini memang dari modus lama dan dimodifikasi. Seolah kita diinterogasi, terus (nanti dimintai uang). Tapi, ini modus lama,” katanya kepada Alinea.id, Selasa (16/7).

Ia mengingatkan agar masyarakat mewaspadai pelaku soceng yang meniru aparat penegak hukum. Petugas kepolisian, kata dia, tidak mungkin menetapkan seseorang sebagai tersangka tanpa melakukan pemeriksaan terlebih dahulu.

"Tentunya dengan posisi yang jelas sebagai saksi atau tersangka. Maka bila pelaku seolah menghubungi kemudian meminta data sudah seharusnya tidak diberikan biarpun mengaku polisi atau aparat penegak hukum lainnya," jelas Heru. 


 

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan