close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) tengah memeriksa prajurit TNI dalam perayaan ulang tahun TNI ke-79 di Lapangan Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, Sabtu (5/10/2024)./Foto tangkapan layar Instagram @prabowo
icon caption
Presiden Joko Widodo (Jokowi) tengah memeriksa prajurit TNI dalam perayaan ulang tahun TNI ke-79 di Lapangan Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, Sabtu (5/10/2024)./Foto tangkapan layar Instagram @prabowo
Peristiwa
Senin, 07 Oktober 2024 06:14

Sorotan yang tersisa di balik selebrasi ulang tahun TNI ke-79

Usulan soal bisnis militer dan mengizinkan prajurit menduduki jabatan sipil tetap menjadi sorotan.
swipe

Di balik selebrasi ulang tahunnya yang ke-79, Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih menyisakan sorotan terkait revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Walau sesungguhnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR sudah membatalkan pembahasan revisi UU TNI pada Kamis (22/8), tetapi sejumlah usulan soal bisnis militer dan mengizinkan prajurit menduduki jabatan sipil tetap menjadi sorotan. Sebab, pembahasannya bakal dilakukan kembali oleh DPR periode 2024-2029.

Menurut pengamat militer dan intelijen, Susaningtyas Nefo Handayani Kertapati, revisi UU TNI setelah 20 tahun lebih ditujukan untuk mengantisipasi berbagai bentuk ancaman dan tindak pidana, sebagai efek negatif kemajuan teknologi. Soalnya, pelanggaran kedaulatan di ruang siber dan ruang angkasa saat ini sangat mendesak untuk segera diatasi.

Dia berpendapat, dengan kompleksitas tugas TNI di ruang darat, laut, udara, ditambah siber dan angkasa, maka prajurit TNI bisa bertugas pula di kementerian dan lembaga sesuai kebutuhan. Karenanya, sangat wajar jika usia pensiun prajurit TNI diperpanjang sesuai potensi dan proyeksi penugasan.

Maka dari itu, Susaningtyas menyampaikan, penugasan prajurit TNI di lingkungan di kementerian dan lembaga sejalan dengan permintaan kebutuhan untuk memanfaatkan semua sumber daya manusia.

“Berbeda dengan dwi fungsi ABRI yang bertujuan menduduki jabatan politik untuk melanggengkan tampuk kekuasaan,” ujar mantan anggota DPR ini kepada Alinea.id, Sabtu (5/10).

“Penugasan prajurit TNI di berbagai instansi pemerintah justruk menunjukkan tidak ada dikotomi dalam pembangunan nasional.”

Selain itu, dia menilai, revisi ini juga ditujukan untuk memperjelas hubungan antara Markas Besar (Mabes) TNI dan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) ketika negara dalam kondisi damai, krisis, darurat, dan perang, termasuk anggarannya. Garis komando dan birokrasi antara Panglima TNI dan Menteri Pertahanan (Menhan) kepada Presiden juga lebih jelas, sehingga alokasi anggaran lebih proporsional.

Bahkan, pada poin perpanjangan masa dinas Panglima TNI dan kepala staf angkatan dapat diupayakan lebih konsisten memiliki periode waktu yang lebih konsisten. Misalnya, sekitar tiga atau lima tahun mengikuti masa bakti kabinet pemerintahan.

Dengan periode waktu tersebut, lanjut Susaningtyas, maka kinerja Panglima TNI dan kepala staf angkatan dapat lebih efektif dan efisien. Dia menyarankan, agar masa dinas Panglima TNI dan kepala staf angkatan dapat lebih optimal, maka setiap kandidat harus disiapkan minimal 10 tahun sebelumnya, sehingga pola pergantian dapat berjalan konsisten.

“Pola pergantian Panglima TNI seperti ini tentu saja membutuhkan usia pensiun yang lebih tertata, guna memenuhi kelengkapan tour of duty (ToD) dan tour of area (ToA) sekaligus keseimbangan antara masa dinas dalam pangkat dan masa dinas perwira,” ucap dia.

Sementara itu, pengamat militer sekaligus peneliti senior Marapi Consulting Beni Sukadis melihat, revisi UU TNI tidak ada hubungannya dengan Menhan dan presiden terpilih Prabowo Subianto.

“Justru Jokowi yang berkepentingan dengan itu sebagai rasa terima kasih sekaligus membuat TNI menjadi memiliki fungsi yang banyak,” kata Beni, Sabtu (5/10).

Menurut Beni, alih-alih menunjukkan kemajuan, pemberian jabatan sipil kepada TNI adalah bentuk dari kemunduran reformasi militer. Langkah ini, kata dia, justru kontradiktif untuk peningkatan kapasitas perwira TNI, terutama dalam konteks pelaksanaan tugas pokok sebagai alat pertahanan negara.

Dia berkaca pada setiap negara demokratis yang ada, punya militer yang profesional. Tidak ada satuan yang bekerja sambilan, dengan mengisi jabatan sipil. Jikapun ada, itu masih terkait pertahanan negara, yang memang tugas mereka. Untuk itu, dia menyarankan, seharusnya wacana tersebut dievaluasi dan dilihat lagi prioritas pengembangan militer secara lebih detail dan mendesak.

“Sebagai contoh, kesejahteraan prajurit, reformasi pengadilan pidana bagi militer, atau transparansi anggaran,” tutur Beni.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan