Warga Desa Selamat, Kecamatan Sibiru-biru, Deli Serdang, Sumatra Utara, dikejutkan oleh serangan puluhan anggota TNI dari Batalyon Artileri Medan (Armed) 2/105 Kilap Sumagan, Jumat (8/10) lalu. Serangan itu mengakibatkan seorang warga bernama Raden Barus (61) meninggal dunia serta puluhan warga lainnya luka-luka.
Dari hasil investigasi, peristiwa serangan tersebut bermula dari cek-cok antara prajurit TNI dengan anggota geng motor di kawasan tersebut. Mulanya, anggota geng motor tak terima ditegur anggota Pangdam Bukit Barisan. Setelah adu mulut, kelompok geng motor terlibat baku hantam dengan personel TNI.
Pangdam I Bukit Barisan sudah meminta maaf kepada keluarga korban dan berjanji mencegah kekerasan lanjutan terjadi. Namun, sejumlah politikus DPR menuntut sanksi tegas kepada para personel TNI yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Salah satunya ialah anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin.
"Kalau perlu beri hukuman keras kepada para komandan peleton, komandan kompi, dan komandan batalyon karena telah membiarkan atau adanya pembiaran," ujar politikus PDI-Perjuangan itu kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.
Ditemui wartawan di di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Senin, 11/11), Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto mengatakan para personel yang terlibat dalam insiden tersebut.
"Anggota sekarang sedang kami proses, ya, menurut BAP (berita acara pemeriksaan). Kalau ada yang (terbukti) melanggar, ya, punishment (hukuman)," ujar Agus.
Beranggotakan YLBHI, Kontras, Imparsial, dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) lainnya, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengutuk keras insiden tersebut. Koalisi mendesak agar pelaku penyerangan segera diadili melalui peradilan umum, bukan peradilan militer.
“Ini bukan kasus pertama. Reformasi sistem peradilan militer sudah mendesak agar TNI tidak terus-terusan kebal hukum,” ujar Direktur Imparsial Ardi Manto kepada Alinea.id, Rabu (13/11).
Ardi menilai salah kaprah terkait jiwa korsa atau esprit de corps di kalangan TNI menjadi akar masalah utama insiden kekerasan oleh personel TNI kepada warga sipil terus berulang.
Di kalangan TNI, menurut Ardi, ada semacam perasaan wajib membela rekannya yang "dizalimi" meskipun dengan cara melanggar hukum. “Solidaritas yang salah ini malah mencoreng nama baik TNI,” ujarnya.
Menurut catatan Imparsial, sejak Januari 2024 hingga November 2024, ada 25 insiden kekerasan personel TNI kepada warga sipil. Bentuk kekerasan beragam, mulai dari penganiayaan, intimidasi, hingga perusakan properti.
Ardi juga mengkritik lemahnya pengawasan dari komandan kompi terhadap para prajurit. "Bagaimana mungkin sejumlah prajurit meninggalkan pos secara bersamaan tanpa pengawasan. Komandan juga harus ikut bertanggung jawab,” katanya.
Lebih jauh, Ardi berpendapat insiden tersebut harus jadi momentum untuk merevisi UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Salah satu poin utama yang harus direvisi ialah kewajiban memproses hukum personel TNI yang melakukan tindak pidana di peradilan umum.
"Bukan peradilan militer yang memberi ruang bagi impunitas. Ini saatnya reformasi peradilan militer. TNI harus tunduk pada hukum yang berlaku di masyarakat agar kasus kekerasan terhadap warga sipil tidak terulang,” tutur Ardi.