close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi keberagaman agama. mediaumat.news
icon caption
Ilustrasi keberagaman agama. mediaumat.news
Peristiwa
Selasa, 18 Maret 2025 14:56

Supaya pembubaran misa di Gereja Arcamanik tak terus berulang

Negara harus hadir mencegah aksi-aksi intoleransi terhadap kaum minoritas terus terjadi.
swipe

Pembubaran ibadah jemaat Gereja Santo Yohanes Rasul di Gedung Serba Guna (GSG) Arcamanik, Bandung,  Jawa Barat, pekan lalu, memicu protes dari berbagai kalangan. Gusdurian Bandung meminta pemerintah setempat segera turun tangan untuk mencegah aksi-aksi intoleransi semacam itu tak terulang.

"Semua yang ingin menggunakan GSG itu juga perlu izin, mau mengadakan yoga, mengadakan taekwondo dan lain lain juga harus izin dan pihak gereja sudah mengantonginya," tulis Gusdurian Bandung dalam sebuah keterangan tertulis, Jum'at (14/3) lalu.

Dalam sebuah video yang beredar di media sosial, terlihat sekelompok warga menggelar aksi protes menolak ibadah misa Rabu Abu di depan Gedung Serba Guna (GSG) Arcamanik. Warga menganggap GSG Arcamanik merupakan fasilitas umum yang tak semestinya jadi tempat ibadah. 

Namun, pihak gereja menyatakan gedung tersebut merupakan aset resmi milik Persatuan Gereja Amal Katolik (PGAK) Santa Odilia sejak Juni 2024. Gedung tersebut diperoleh melalui hibah dari Pastor Yosep Gandi, yang sebelumnya membelinya dari PT Bale Endah.

Dalam dokumen resmi millik pihak gereja, GSG Arcamanik berdiri di atas lahan seluas 2.140 meter persegi dengan luas bangunan 525 meter persegi. Sesuai kebijakan Keuskupan Bandung, gedung itu dinamai GSG Arcamanik supaya warga setempat di Perumahan Arcamanik Endah bisa turut memanfaatkannya. 

Dalam pernyatan terbukanya, Gusdurian Bandung menyatakan menolak tindakan kekerasan dalam bentuk apa pun dan atas nama apa pun. Mereka juga meminta agar pemerintah setempat menggelar mediasi antara pihak gereja dan kelompok warga. 

"Menagih komitmen pemerintah, baik pusat maupun daerah untuk bisa menjamin hak dan kebebasan beribadah hari ini dan masa yang akan datang," tulis Gusdurian Bandung. 

Ini bukan kali pertama konflik antara kelompok warga dan pihak Gereja Santo Yohanes Rasul terjadi. Sepanjang dua tahun terakhir, warga rutin memprotes kegiatan peribadatan umat katolik di GSG Arcamanik. Meski ditengahi Pemkot Bandung, belum juga ada titik temu. 

Direktur Eksekutif Setara Institute Hasan Halili menilai konflik antara pihak gereja dan kelompok warga terjadi karena kesalahpahaman. Warga memandang GSG Arcamanik merupakan fasilitas umum yang tak tepat dijadikan tempat ibadah. 

"Di tingkat warga, yang problematik karena semua penolakan warga itu didasarkan pada anggapan bahwa tempat yang digunakan untuk pelaksanaan misa itu adalah fasilitas umum atau fasum dan fasilitas sosial atau fasos,” kata Halili kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini. 

Bukan tidak mungkin, lanjut Halili, ada kelompok intoleran yang memprovaksi warga. Mereka menggunakan dalih administratif seperti perizinan, kepemilikan, atau sertifikat sebagai alasan memprotes keberadaan kaum minoritas di wilayah mereka. 

"Meskipun semua persyaratan perizinan telah dipenuhi, penolakan tetap terjadi dengan berbagai alasan lain. Hal ini mencerminkan bagaimana intoleransi di masyarakat diekspresikan dalam bentuk penolakan yang dibenarkan dengan alasan-alasan formal,” kata Halili. 

Ketua Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (PP ISKA) Luky A. Yusgiantoro meminta agar pihak-pihak terkait menggelar dialog untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Pemerintah juga harus hadir untuk memastikan konflik antara warga dan gereja tak meluas. 

"Negara harus hadir dengan sikap tegas untuk memberikan kepastian hukum dan mencegah konflik antarumat beragama akan memicu hal yang tidak kita inginkan serta menghindari benturan umat beragama," tegas Luky.

 

img
Ikhsan Bilnazari
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan