Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) dilaporkan berencana membentuk sebuah yayasan yang bergerak di bidang sosial. Jokowi ingin yayasan itu jadi wadah aktivitas sosialnya setelah ia tidak lagi menjabat sebagai presiden dan pulang ke Solo.
Dosen hukum perdata Universitas Mulawarman (Unmul) Setiyo Utomo mengatakan yayasan yang dibentuk oleh elite politik perlu diawasi ketat. Ia berkaca pada polemik Yayasan Supersemar yang dibentuk Presiden Soeharto pada era Orde Baru.
Yayasan Jokowi, kata Setiyo, harus punya komitmen memisahkan kekayaan yang diperuntukan untuk pribadi dan untuk mencapai tujuan di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Dengan begitu, yayasan tersebut tidak wadah pencucian uang atau penampung setoran dari praktik-praktik lancung.
"Yang tidak mempunyai anggota sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan," kata Setiyo kepada Alinea.id, Jumat (1/10).
Pada prinsipnya, menurut Setiyo, yayasan tidak diperbolehkan mencari keuntungan. Namun, yayasan memang diperbolehkan menerima dana atau hibah atau "setoran" dari luar.
Tindak pidana pencucian uang (TPPU) atau korupsi dana hibah rentan terjadi jika pengelolaan yayasan tidak transparan. "Hal ini tentu tidak akan terjadi apabila adanya pengawasan dan audit oleh pihak yang berwenang," kata Setiyo.
Pengawasan terhadap pengeloaan yayasan "dimandatkan" oleh Pasal 52 ayat (1), (2), (3) dan (4) UU Yayasan. Pada ayat (3) disebutkan bahwa laporan keuangan yayasan wajib diaudit oleh akuntan publik. Pada ayat 4 dinyatakan bahwa audit laporan keuangan yayasan sebagaimana dilaporkan kepada pembina yayasan serta kepada menteri dan instansi terkait.
"Tentu menggunakan sistem audit secara berkala yang dilakukan oleh auditor independen namun hal ini tentu harus disepakati dan adanya pelaporan terlebih dahulu," kata Setiyo.
Setiyo menilai Pasal 52 bisa menjadi 'pagar api' agar yayasan yang dibentuk Jokowi tidak disalahgunakan untuk praktik pencucian uang atau korupsi. "Sebab penjelasan Pasal 52 inilah yang menjadi prasyarat untuk dapat mengetahui perilaku yang berkaitan terhadap penggunaan keuangan pada yayasan," ucap Setiyo.
Pakar hukum dari Universitas Atmajaya Yogyakarta, Al Wisnubroto menganggap wajar jika Jokowi berniat membangun yayasan demi mewadahi aktivitas sosialnya usai lengser. Namun, ia sepakat yayasan Jokowi potensial berpolemik layaknya Yayasan Supersemar.
"Jokowi perlu memastikan bahwa yayasan yang akan dibentuknya beroperasi dengan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas untuk menghindari skandal serupa di masa depan," kata Wisnubroto kepada Alinea.id.
Hanya bermodal Rp10 juta, Yayasan Supersemar di Soeharto pada 1974. Sekira dua tahun berselang, Soeharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 15/1976, Soeharto yang mewajibkan bank-bank pelat merah menyetor setengah dari 5% sisa laba bersih mereka ke yayasan tersebut.
Dalih Soeharto, Yayasan Supersemar dibentuk untuk menyalurkan dana beasiswa bagi murid-murid berprestasi. Namun, dana tersebut diselewengkan yayasan ke sejumlah perusahaan, semisal PT Bank Duta, PT Sempati Air, PT Kiani Lestari, dan PT Kiani Sakti. Saat berhenti beroperasi pada 1998, Yayasan Supersemar diperkirakan sudah meraup dana hingga US$420 juta.