Teka-teki keberadaan mantan Presiden Suriah Bashar Al-Assad akhirnya terkuak. Juru bicara pemerintah Rusia Dmitry Peskov mengungkap Al-Assad kini berada di Rusia setelah pemerintahannya dikudeta oleh pasukan pemberontak Suriah.
"Keputusan (pemberian suaka) semacam itu tidak dapat dibuat tanpa persetujuan kepala negara. Itu adalah keputusannya (Presiden Rusia Vladimir Putin)," ujar Peskov kepada wartawan di Moskow seperti dikutip dari Reuters, Kamis (12/12).
Al-Assad melarikan diri dari Suriah setelah pasukan pemberontak menguasai Damaskus, ibu kota Suriah, Minggu (8/12). Saat ini, sebagian besar wilayah Suriah telah jatuh ke tangan kubu pemberontak yang dipimpin Abu Mohammed al-Golani.
Golani ialah pemimpin kelompok bersenjata Hayat Tahrir al-Sham (HTS), sebuah organisasi yang sempat berafiliasi dengan Al-Qaeda. Kepala Golani dihargai US$ 10 juta. Namun, saat ini pasukan Golani justru disokong Turki dan Amerika Serikat (AS). Presiden AS Joe Biden bahkan tengah mempertimbangkan mencopot label kelompok teroris pada HTS.
Kemenangan kaum pemberontak menandai berakhirnya perang saudara di Suriah yang telah berlangsung selama lebih dari 12 tahun. Sebelum ditumbangkan, rezim Al-Assad sudah berkuasa di Suriah selama tiga dekade.
Kejatuhan Al-Assad disambut gembira publik Suriah. Di Aleppo, kota besar pertama yang dikuasai kaum pemberontak, warga setempat sibuk membersihkan simbol-simbol rezim Al-Assad: patung-patung dirubuhkan, poster-poster dicabut, bendera diturunkan.
Meskipun mendapatkan sanksi dari dunia internasional, Al-Assad sebelumnya bisa mempertahankan kekuasaannya di Suriah karena aliansi strategis dengan Iran dan kelompok paramiliter Hezbollah di Lebanon. Al-Assad juga dikenal dekat dengan Putin. Rusia rutin menyuplai senjata ke pasukan Suriah.
Stefan Wolff, pakar keamanan internasional dari University of Birmingham menilai tumbangnya rezim Al-Assad bakal mengubah peta kekuatan di Timur Tengah. Kejatuhan Al-Assad terutama jadi pukulan telak bagi Rusia dan Iran. Di lain sisi, Turki dan Israel memperkuat posisi mereka di Timur Tengah.
Turki merupakan salah satu penyuplai logistik utama bagi HTS. Serangan ke Aleppo dan Damaskus juga atas restu Ankara. Adapun Israel kini menguasai sejumlah kawasan perbatasan yang sebelumnya merupakan zona demilitarisasi. Israel menginvasi Suriah tak lama setelah Al Assad kabur ke Rusia.
"Fakta bahwa Moskow tak bisa menyelematkan sekutu penting seperti Assad menunjukan kelemahan kritikal dalam kemampuan Rusia untuk bertindak, tak hanya bicara, sebagaimana sebuah negara superpower," kata Wolff seperti dikutip dari The Conversation.
Rusia tak hanya kehilangan sekutu. Putin juga bakal kehilangan dua instalasi militer terpenting mereka di kawasan teluk Mediterania, yakni Tartus dan pangkalan udara Khmeimim yang berada di Suriah. Tartus dipakai Rusia untuk memarkirkan kapal-kapal selam mereka, sedangkan Khmeimim merupakan markas utama pasukan udara Rusia di Timur Tengah.
"Posisi Rusia di Timur Tengah kini dalam ancaman. Moskow kehilangan sekutu kunci. Dua sekutu lainnya, Iran dan Hezbollah,juga melemah secara signifikan," jelas Wolff.
James Horncastle, pakar hubungan internasional dari Simon Fraser University berpendapat kejatuhan rezim Al-Assad tak berarti Timur Tengah dan Suriah akan "adem ayem". Dalam jangka pendek, konflik internal bakal mewarnai rezim baru Suriah di bawah Golani.
Menurut Horncastle, kubu pemberontak terdiri dari berbagai faksi, mulai dari kelompok liberal dan moderat hingga kaum fundamentalis. Kelompok-kelompok itu disatukan oleh kebencian terhadap tirani rezim Al-Assad.
"Pasukan oposisi Suriah telah melalui evolusi yang sangat kontras selama bertahun-tahun berjuang melawan rezim. Yang harus dicatat bahwa pasukan ini tak pernah sepenuhnya bersatu," kata Horncastle.
Turki sebagai sekutu utama HTS juga bakal merecoki pemerintahan baru Suriah. Turki terutama bakal berupaya mengorkestrasi kebijakan-kebijakan pemerintah Suriah terhadap kaum Kurdi di utara Suriah.
"Turki sejak lama menolak nasionalisme Kurdi dalam bentuk apa pun karena jumlah populasi kaum Kurdi yang cukup signifikan di Turki," kata Horncastle.
Konflik terbuka juga potensial pecah antara Israel dan rezim baru Suriah. Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu mengatakan Israel siap membuka lembaran hubungan baru dengan Suriah. Namun, Israel tak segan-segan menyerang Suriah jika rezim baru mengancam negara Yahudi itu.