Mahkamah Konstitusi (MK) kebanjiran dokumen permohonan uji materi. Hingga bulan keempat tahun 2025, setidaknya sudah ada 40 perkara yang diregistrasi dan 14 permohonan yang belum diregistrasi ke dalam buku perkara registrasi perkara konstitusi elektronik (e-BRPK) di MK.
Aturan perundang-undangan digugat MK beragam, mulai dari persoalan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% yang ditetapkan pemerintahan Prabowo Subianto di awal, revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 21 Maret 2025, hingga regulasi yang mengatur gas LPG.
Pengadunya juga beragam. Revisi UU TNI, misalnya, dimohon untuk diuji materi oleh sembilan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI). Ada yang maju sebagai individu dan ada pula yang menggunakan jasa pengacara atau advokat.
Guru besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Agus Riewanto mengapresiasi antusiasme masyarakat sipil mengajukan permohonan uji materi ke MK. Menurut dia, itu bentuk yuristokrasi positif.
Yuristokrasi adalah kondisi pemerintahan yang menekankan peran dominan ahli hukum dalam pembuatan keputusan dan norma. Upaya ini sebagai jalan legal untuk mengimbangi perilaku pembuat undang-undang, yakni DPR dan pemerintah, yang terkesan mengabaikan partispasi publik dalam merancang legislasi.
"Proses legislasi peraturan perundang- undangan yang diprakarsai pemerintah dan DPR dalam bentuk rancangan undang- undang dan disahkan menjadi undang- undang itu banyak aspek yang dianggap tidak mencerminkan ketidakadilan dan juga tidak mampu mewujudkan cita-cita keadilan bagi masyarakat," kata Agus kepada Alinea.id, Rabu (8/4).
Selama beberapa bulan terakhir, tercatat sejumlah produk hukum bermasalah yang ditetapkan pemerintah dan DPR. Salah satu yang paling kontroversial adalah pengesahan revisi UU TNI, Maret lalu.
Beleid itu dibahas secara kilat dan terkesan sembunyi-sembunyi. Mahasiswa dan masyarakat sipil memprotes dengan gelombang aksi unjuk rasa selama beberapa jilid. Namun, di beberapa daerah, aksi protes ditanggapi dengan tindakan represif oleh aparat keamanan.
Dalam pembuatan sejumlah UU, Agus menilai DPR dan pemerintah kerap abai terhadap aspirasi publik. Walhasil, Gedung MK kini seolah dijadikan sebagai lembaga "keranjang sampah" untuk menangani aturan yang cacat formil atau cacat materil.
"Padahal, secara teoritis, masalah perundang-undangan harusnya selesai di level pembuatnya. Jadi, semestinya tidak dilempar ke lembaga-lembaga lain. Yuristokrasi itu sebenarnya sudah mulai tampak di era pemerintahan Jokowi," jelas Agus.
Menumpuknya perkara di MK, lanjut Agus, juga mengindikasikan publik makin kritis merespons regulasi-regulasi yang potensial merugikan mereka di masa depan. Terlebih, DPR dan pemerintah bisa saja membuat aturan bermasalah meskipun sudah ada Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2022 yang mengatur tahapan pembuatan UU secara rinci.
"Ini semacam sindrom baru dalam demokrasi kita. Jadi, menempatkan lembaga lain sebagai penolong. Jadi, semua problem undang-undang justru sampahnya dibuang ke MK... Ini cara check and balance yang baik. Bisa menjadi kontrol elite yang sembarangan dan MK sebagai tempat perjuangan," kata Agus.
Pakar hukum tata negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Ni'matul Huda merinci sejumlah faktor yang menyebabkan permohonan uji materi menumpuk di MK. Pertama, publik kian sadar akan eksistensi MK sebagai lembaga pengadil konstitusional terakhir.
"Kedua, publik merasa tidak ada jalan lain lagi yang bisa ditempuh karena semua pintu lembaga hukum sudah buntu. Terakhir, publik ingin mencoba peruntungan mengubah aturan yang merugikan ke MK," kata Ni'matul kepada Alinea.id.
Di lain sisi, masyarakat juga khawatir regulasi-regulasi yang disahkan DPR dan pemerintah bakal melanggar hak konstitusional warga negara. Apalagi, pembahasan rancangan undang-undang minim atau bahkan tanpa partisipasi publik sama sekali.
"Masyarakat mungkin juga melihat belakangan ini MK lebih sering mengabulkan gugatan yang diajukan publik. Dulu, MK lebih sering menolak," ujar Ni'matul.