close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi driver ojol. Foto Antara/Fauzan
icon caption
Ilustrasi driver ojol. Foto Antara/Fauzan
Peristiwa
Minggu, 02 Maret 2025 12:00

THR untuk pengemudi ojol jangan hanya sekadar imbauan

Unsur pekerjaan, upah, dan perintah sudah terbangun dalam pola kemitraan pengemudi ojol dan perusahaan aplikasi.
swipe

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) bakal segera menerbitkan surat edaran (SE) yang mengatur pemberian tunjangan hari raya (THR) bagi mitra aplikasi ojek online (ojol). Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenaker Indah Anggoro Putri mengatakan SE itu akan segera diterbitkan. 

"Masih dirapatin karena kan ojol dan taksol itu ada yang aktif dan tidak aktif. Jadi, kan enggak fair kalau semua disamakan. Ini kita masih godok formulanya yang kira-kira pas,” ujar Indah kepada wartawan di Gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta, Kamis (27/2) lalu. 

Namun demikian, SE itu hanya bersifat imbauan atau tidak wajib dijalankan oleh aplikator. Indah berdalih pengelola aplikator sendiri masih menghitung kesanggupan mereka untuk memberikan THR kepada para mitra pengemudi.

Selain itu, Kemenaker juga masih belum memutuskan akan menggunakan nama THR atau bantuan hari raya (BHR) sebagaimana yang biasa dipakai pihak aplikator. “Yang jelas, sudah dibangun komunikasi. Cuma formula dan berapanya ini agak sulit," imbuh Indah. 

Februari lalu, para pengemudi ojol dan taksi online menggelar serangkaian aksi unjuk rasa untuk menuntut THR dari pengelola aplikasi. Mereka merasa tuntutan THR tersebut wajar lantaran penghasilan mereka yang dipangkas oleh perusahaan tergolong besar, yakni kisaran 20–45%. 

Sejumlah perusahaan pengelola aplikasi ojol dan taksol sudah merespons tuntutan itu. PT Gojek Tokopedia (Goto), misalnya, menyatakan bakal mengupayakan bantuan hari raya sesuai kemampuan mereka. Perusahaan induk Gojek itu menyebut pemberian bantuan dengan nama Tali Asih Hari Raya. 

Dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 disebutkan bahwa perusahaan hanya wajib memberikan THR kepada pekerja yang setidaknya memiliki hubungan kerja berjenis Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Pengemudi online tak masuk kategori itu karena hubungan kerjanya dengan aplikator berbentuk kemitraan.

Namun demikian, Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Lily Pujiati menilai pemberian THR bagi pengemudi ojol dan taksol merupakan kewajiban perusahaan pengelola platform. Menurut dia, selama ini para pengemudi ojek dan taksi daring berperan layaknya sebagai pekerja, bukan mitra. 

"Status pekerja ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur hubungan kerja yang meliputi unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Ketiga unsur itu sudah terpenuhi di dalam hubungan kerja antara perusahaan platform dan pengemudi ojol," kata Lily kepada Alinea.id, Sabtu (1/3).

Lily merinci unsur pekerjaan ada di dalam aplikasi yang digunakan pengemudi ojol, semisal mengantar penumpang, barang, dan makanan. Jenis-jenis layanan itu didesain oleh pengelola aplikasi, bukan dibuat oleh pengemudi atau pelanggan.

"Selain itu, unsur upah juga dibuat oleh platform di dalam aplikasi driver yang menetapkan besaran upah dari setiap orderan yang dikerjakan pengemudi. Upah ini termasuk potongan yang diberlakukan platform dengan besaran 30-50%. Ini juga melanggar aturan pemerintah dengan batas maksimal 20%," kata Lily.

Lily menyebut unsur perintah aplikator terhadap pengemudi juga sangat jelas. Tak hanya itu, aplikator bisa memberikan sanksi suspend atau memutus kemitraaan bila pengemudi tidak patuh pada perintah untuk mengantar penumpang, barang dan makanan. 

"Jadi, tidak ada alasan lagi bagi platform dengan berlindung di balik hubungan kemitraan untuk menghindar dari tanggung jawab finansialnya. Pihak aplikator harus membayar THR bagi ojol, taksol, dan kurir," kata Lily.

Peneliti di Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andy Ahmad Zaelany sepakat bila pengemudi daring perlu diberi THR seperti pekerja pada umumnya. Sebab, hubungan aplikator dengan pengemudi transportasi daring lebih menyerupai hubungan pengusaha dengan pekerja.

"Karena semuanya diatur oleh perusahaan, khususnya sistem pengupahannya. Informasi sepenuhnya dikelola melalui aplikator. Penentuan pembagian keuntungan juga sepenuhnya diatur oleh pengusaha atau aplikator," kata Andy kepada Alinea.id, Sabtu (1/3).

Menurut Andy, sistem pengupahan hanya menguntungkan pengemudi ojek daring pada fase-fase awal kemunculan Gojek cs saja. Belakangan, sistem pembagian keuntungan semakin menyulitkan para mitra dan cenderung ditentukan sepenuhnya pengusaha atau aplikator. "Seyogyanya pemerintah ikut mengatur agar tidak terjadi undecent work (kerja tak layak) atau tepatnya eksploitasi," imbuh Andy. 

Andy melihat terjadi hubungan kerja tak setara antara perusahaan aplikasi dan para driver. Dengan berbagai skema, pemilik aplikasi seolah terus memaksa para ojol untuk bekerja. Namun, mereka tak mau bertanggung jawab merawat "alat-alat produksi" para mitra. 

"Sementara si pekerja ojol harus punya kendaraan berupa sepeda motor atau mobil yang memenuhi standar kelayakan. Perawatan dan pemilikan kendaraan menjadi tanggung jawab si pekerja ojol. Ini pola hubungan asimetris, tidak seimbang, tidak setara," kata Andy.


 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan