Dua hari setelah dilantik, Menteri Luar Negeri Sugiono langsung terbang ke Kazan, Rusia untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS yang berlangsung pada 22-24 Oktober 2024. Sugiono menjadi utusan khusus Presiden Prabowo Subianto sekaligus tugas pertamanya sebagai Menteri Luar Negeri. Dalam melaksanakan tugasnya, Sugiono dibantu tiga wakil menteri, yakni Anis Matta, Arrmanatha Nasir, dan Arif Havas Oegroseno.
Indonesia sendiri sudah mendaftar untuk bergabung menjadi anggota BRICS. Namun, bergabungnya Indonesia masih berproses.
BRICS merupakan blok ekonomi yang beranggotakan negara-negara berkembang. Organisasi ini diinisiasi Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Kemudian bertambah empat anggota, yaitu UAE, Iran, Mesir, dan Ethiopia. BRICS berfungsi mengoordinasikan dan memuluskan kerja sama ekonomi negara-negara berkembang agar sejajar dengan negara-negara maju.
Menurut Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri, keputusan untuk bergabung dengan BRICS mengikuti jejak tiga negara ASEAN lainnya, yakni Malaysia, Vietnam, dan Thailand. Dia menyayangkan karena Indonesia sudah menjadi anggota G20. Maka dari itu, seharusnya pemerintah cukup fokus ke G20. Bahkan, bisa memimpin negara-negara kawasan bergabung ke G20.
“Indonesia itu sudah berada di atas dari tiga negara anggota ASEAN ini, Indonesia itu anggota G20. Kita enggak terlalu memerlukan satu platform baru untuk tampil ataupun mempunyai corong di tingkatan global,” ujar Yose dalam pertemuan dengan media yang disiarkan di kanal YouTube CSIS Indonesia, Jumat (25/10).
Pasalnya, Yose melihat, organisasi tersebut belum diketahui persis tujuannya. Meski begitu, Menteri Luar Negeri Sugiono berdalih, tujuan BRICS selaras dengan program kerja Kabinet Merah Putih, terutama terkait ketahanan pangan dan energi, pemberantasan kemiskinan, serta pemajuan sumber daya manusia. Tak hanya itu, BRICS dianggap dapat berfungsi sebagai perekat kerja sama antarnegara berkembang.
Sementara itu, pengamat hubungan internasional Universitas Budi Luhur, Andrea Abdul Rahman Azzqy mengatakan, Indonesia harus melihat risiko jika bergabung dengan BRICS. Apakah mengurangi kemandirian dan prinsip non-blok atau tidak. Selain itu, harus melihat perkembangan geopolitik, terutama persaingan Amerika Serikat dan China, apakah punya efek besar atau tidak dengan Indonesia.
Andrea mengatakan, ada beberapa faktor yang memengaruhi kebijakan luar negeri. Pertama, dilihat dari kondisi geopolitik, dengan dinamika persaingan Amerika Serikat-China, konflik yang ada di Timur Tengah, Afrika, Amerika Selatan, Rusia-Ukraina yang terus memengaruhi isu keamanan. Termasuk isu perubahan iklim. Lalu, Sugiono dengan tiga wakilnya diharapkan bakal ada peningkatan peran di kawasan.
“Seperti memperkuat lagi posisi di Asia Tenggara ya. Selama ini kan (mantan) Presiden Jokowi lebih memberikan peran yang lebih banyak porsinya ke Bu (mantan) Menlu (Menteri Luar Negeri) Retno (Marsudi). Sepertinya juga, Pak Prabowo menginginkan lebih banyak ikut dalam merumuskan visi-misi maupun kebijakan politik luar negeri Indonesia,” ujar Andrea kepada Alinea.id, Kamis (24/10).
Dia pun melihat, Kerja Sama Selatan-Selatan (South-South Cooperation)—kerja sama yang diikuti sesama negara berkembang untuk membangun kemandirian kolektif—akan diperkuat untuk memperjuangkan kepentingan bersama.
Lalu, dalam hubungan Indonesia dengan China, harus lebih diperhatikan karena sifatnya masih ambigu. Secara politik dan hubungan bilateral, menurut Andrea, China menegaskan tidak akan mengganggu area Indonesia. Namun, secara teknis di lapangan, penjaga pantai, milisi laut, maupun nelayanya selalu masuk zona ekonomi ekslusif (ZEE).
“Ini yang sangat mengkhawatirkan kalau Indonesia ikut eskalasi dalam ketegangan diklaim areanya Laut China Selatan,” ujar Andrea.
Di samping itu, sikap anti-imperialisme terus didorong lewat dukungan bagi Palestina secara terang-terangan. Hal itu digambarkan Prabowo dalam pidatonya di Gedung DPR/MPR, Jakarta saat pelantikannya sebagai presiden, Minggu (20/10).
“Prinsip bebas aktif Indonesia, harus juga dikedepankan. Indonesia harus menjadi pemimpin, tidak ikut kekuatan China, Rusia, Amerika, atau Uni Eropa. Bahkan, harus bisa menjadi penengah,” kata Andrea.