Urgensi membangun matra keempat TNI Angkatan Siber
Wacana pembentukan Angkatan Siber, sebagai matra keempat Tentara Nasional Indonesia (TNI) didukung Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Hinsa Siburian. Dikutip dari Antara, menurutnya, wacana tersebut ideal untuk menjawab tantangan di bidang siber.
Rencana pembentukan TNI Angkatan Siber ini pernah diungkapkan Andi Widjajanto, saat masih menjabat Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas). Andi menyampaikan hal itu dalam seminar “Ketahanan Nasional Transformasi Digital Indonesia 2045” di Hotel Borobudur, Jakarta, pada 7 Agustus 2023.
Di sisi lain, Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto, dilansir dari Antara, mengaku sudah menerima perintah dari Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk membentuk Angkatan Siber. Dia mengatakan, saat ini TNI sudah punya satuan siber. Sejauh ini, kata dia, TNI baru berencana membuat pusat siber di markas besar dan setiap matra.
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai, pembentukan TNI Angkatan Siber diperlukan, meski berpotensi menambah anggaran. Sebab, biaya pembentukan matra bakal mencakup infrastruktur, perekrutan, pelatihan, dan operasional yang tidak sedikit. Menurutnya, pembentukan TNI Angkatan Siber merupakan usulan yang wajar, mengingat potensi ancaman siber semakin masif.
“Di era digital saat ini, ancaman siber terhadap sistem pertahanan semakin nyata, sehingga ada kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan pertahanan siber. Termasuk kemampuan untuk melakukan operasi siber ofensif dalam konteks pertahanan,” ucap Khairul kepada Alinea.id, Rabu (4/9).
Penting hadapi ancaman
Ancaman siber terhadap sistem pertahanan bisa diselisik melalui konsep fifth-generation warfare (5 GW) atau peperangan generasi kelima, yang merupakan bentuk peperangan yang sangat berbeda dari generasi sebelumnya karena sifatnya lebih abstrak. Selain itu, 5 GW juga cenderung berfokus pada domain non-fisik, seperti dunia maya, psikologis, dan informasi.
“Dalam konteks 5 GW, serangan siber dapat digunakan untuk menyerang infrastruktur vital militer, sistem komunikasi, jaringan komando dan kontrol, serta berbagai sistem senjata yang bergantung pada teknologi digital,” kata Khairul.
“Tujuannya bukan hanya untuk menghancurkan secara fisik, tetapi lebih kepada mengganggu, merusak, mengontrol informasi, menciptakan kebingungan, dan memengaruhi opini publik, serta moral militer dan masyarakat.”
Berkaca dari potensi ancaman 5 GW, pembentukan TNI Angkatan Siber menjadi penting. Akan tetapi, menurut Khairul, hal itu harus dipersiapkan secara jangka panjang, dengan perencanaan yang matang.
Alasannya, membentuk matra memerlukan investasi jangka panjang untuk membangun infrastruktur siber yang aman dan modern, berupa pusat operasi siber, fasilitas pelatihan, dan jaringan komunikasi yang aman. Pembangunan infrastruktur ini, disebut Khairul, memakan waktu paling tidak 10 tahun.
Membentuk matra siber pun membutuhkan personel dengan keahlian yang tinggi di bidang teknologi informasi, kriptografi, intelijen, dan pengembangan perangkat lunak. Proses rekrutmen personel yang profesional dan kompeten juga tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat.
“Paling tidak bisa memakan waktu tiga hingga lima tahun, bahkan lebih,” kata Khairul.
“Kemudian diperlukan doktrin, strategi, dan kerangka hukum yang jelas untuk operasi siber militer.”
Khairul melanjutkan, pengembangan doktrin dan integrasinya dengan operasi gabungan TNI lainnya memerlukan penelitian, pengujian, dan penyesuaian terus-menerus. Hal ini bisa memakan waktu tiga hingga tujuh tahun.
Maka dari itu, jika dihitung semua syarat tadi, kata Khairul, proses untuk mempersiapkan pembentukan matra siber yang siap operasionalnya, dapat memakan waktu sekitar 15 hingga 20 tahun. Proses itu bisa lebih cepat, jika ada komitmen kuat dari pemerintah, anggaran yang memadai, dan kerangka kebijakan yang jelas.
“Perlu diingat, kebutuhan ini juga tetap harus disesuaikan dengan prioritas nasional lainnya dan anggaran pertahanan secara keseluruhan,” ucap Khairul.
“Karena itu menurut saya lebih realistis untuk memulainya dengan memperkuat satuan atau lembaga siber yang sudah ada dalam organisasi TNI, sambil membangun fondasi untuk pengembangan lebih lanjut menuju pembentukan matra siber di masa depan.”
Perkuat yang ada
Khairul mengatakan, akan lebih bijaksana bila secara perlahan pemerintah memperkuat satuan atau lembaga siber yang sudah ada. Semisal Pusat Pertahanan Siber TNI dan unsur serupa di setiap matra. Penguatan ini, kata dia, perlu sinergi yang terarah dengan BSSN dan instansi terlain lainnya.
“Daripada berambisi membentuk matra baru dalam waktu dekat, yang akan memerlukan sumber daya yang jauh lebih besar,” ucap Khairul.
Dia menilai, rencana pembentukan matra siber di TNI bisa dilakukan dalam jangka panjang, selama presiden terpilih Prabowo Subianto konsisten dengan komitmennya yang ingin memodernisasi alutsista dan penguatan kapasitas pertahanan.
“Prabowo juga sering menekankan kemandirian dalam pertahanan dan upaya mengurangi ketergantungan pada pihak asing,” kata dia.
“Pengembangan kapasitas siber nasional, termasuk pembentukan matra siber, dapat dilihat sebagai bagian dari strategi untuk mencapai kemandirian ini, mengingat ancaman siber bisa datang dari aktor negara maupun non-negara.”
Sementara itu, pakar siber Alfons Tanujaya setuju dengan wacana pembentukan TNI Angkatan Siber, bila memang motifnya murni untuk memperkuat pertahanan dari potensi ancaman siber. Namun, sering kali Alfons melihat, rencana pembentukan suatu badan hanya bermotif mendapat anggaran negara untuk kepentingan segelintir pihak.
“Jadi, target yang ingin dicapai lebih kepada mendapatkan anggaran besar dan ketika anggara didapatkan tidak digunakan secara efektif, sehingga hasilnya kurang optimal,” ujar Alfons, Senin (2/9).
Oleh karena itu, untuk menghindari pemborosan anggaran yang tidak jelas, dia merasa pembentukan matra siber TNI jangan dirancang merekrut personel dari sisi kuantitas. Namun lebih pada kualitas yang ditopang dengan kebijakan yang baik dan tepat sasaran. Seain itu, juga dapat menggunakan teknologi pertahanan siber termutakhir.
“Aplikasi pertahanan siber, misalnya firewall, bisa menggunakan aplikasi mahal, seperti Cisco, Juniper, Palo Alto, dan CrowdStrike adalah merek-merek mahal,” ucap Alfons.
“Tapi ini bukan jaminan kalau aplikasi mahal tersebut akan lebih efektif dan melindungi lebih baik daripada aplikasi yang lebih murah, seperti MikroTik, Wazuh, FreeBSD, dan OPNsense yang dikonfigurasikan dan diimplementasikan dengan lebih baik oleh administrator yang mengerti.”
Terkait komposisi personel, Alfons berpendapat, pengelolaan matra TNI siber memang perlu dipertimbangkan dengan matang. Dia menyarankan, diberikan kesempatan lebih besar kepada generasi muda agar lebih mudah berpacu dengan perubahan ancaman yang bersinambung.
“Kalangan yang lebih tua secara realistis lebih sulit mengikuti perkembangan IT (informasi dan teknologi) yang sangat dinamis ini,” tutur Alfons.