Pelabuhan baru Makassar (Makassar New Port/MNP) masih menuai polemik. Awal Oktober lalu, sejumlah mahasiswa berunjuk rasa di depan gerbang MNP di Kecamatan Tallo, Kota Makassar, Sulawesi Selatan untuk memprotes keberadaan pelabuhan tersebut. Pengunjuk rasa menilai pengoperasian PT MNP merusak lingkungan di pesisir dan berdampak buruk terhadap mata pencaharian warga setempat.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Sulawesi Selatan (Walhi Sulsel) Muhammad Al Amin menyebut pembangunan Pelabuhan MNP sudah ditentang warga sekitar sejak 2022. Pasalnya, pembangunan dengan model reklamasi itu merusak daerah tangkapan ikan nelayan. Pihak PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) yang seharusnya bertanggung jawab tidak menggubris protes warga.
"Pelindo kemudian membuat border untuk membatasi akses nelayan ke wilayah yang hendak direklamasi. Itu sudah menghilangkan mata pencarian nelayan, ditambah lagi saat penimbunan. Saat penimbunan terjadi, wilayah tangkap juga ikut ditimbun. Padahal, di situ adalah daerah tangkap nelayan. Otomatis tidak ada mata pencarian nelayan di daerah itu," kata Amin kepada Alinea.id, Minggu (24/11).
Pelabuhan MNP merupakan salah satu proyek strategis nasional (PSN) yang dicanangkan pada periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Proyek itu mulai jalan sejak 22 Mei 2015. Pada 2 November 2018, Pelindo IV menggelar soft launching MNP Tahap I Paket A dan mengoperasikan sebagian pelabuhan.
Meski mengantongi dokumen analisis dampak lingkungan (amdal) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), proyek itu berulang kali diprotes warga. Pada Juli 2020, misalnya, sekelompok nelayan dari Pulau Kodingareng meminta aktivitas penambangan pasir oleh PT PP. Boskalis dihentikan. Boskalis ialah salah satu kontraktor rekanan Pelindo IV.
Ketika itu, para nelayan mengaku pendapatan hariannya turun drastis lantaran penambangan pasir oleh PP Boskalis menyebabkan air laut keruh dan ikan-ikan menghilang dari pesisir. Pasalnya, lokasi penambangan pasir oleh Kapal Quen of The Netherlands milik Boskalis hanya berjarak sekitar 200 meter dari Pulau Kodingareng.
Menurut Amin, dampak yang dirasakan warga setempat akibat pembangunan Pelabuhan MNP serupa dengan yang dialami warga yang terdampak proyek reklamasi di teluk Jakarta. Saat membangun pelabuhan, Pelindo menyemprotkan pasir laut untuk sedimentasi buatan. Proses itu membuat habitat ikan rusak.
"Hanya perbedaannya peruntukannya. Kalau reklamasi Jakarta itu untuk kawasan pemukiman elite baru, sedangkan di Makassar itu untuk pelabuhan baru. Kedua, projek (reklamasi) di Jakarta (dilaksanakan) oleh swasta. Kalau ini, proyek pemerintah untuk muat barang," kata Amin.
Meskipun tak menyalahi aturan, menurut Amin, pembangunan Pelabuhan MNP luput menimbang keberlanjutan ruang hidup masyarakat sekitar yang terdampak. Sejak awal, Walhi Sulsel telah menentang rencana reklamasi untuk pembangunan pelabuhan itu dimasukkan dalam peraturan daerah terkait rencana tata ruang wilayah (Perda RTRW) Sulawesi Selatan.
"Tetapi, pemerintah begitu keras dan tidak bergeming atas teriakan masyarakat. Saran kami juga diabaikan. Maka, itu tetap dimasukan ke dalam Perda RTRW Sulawesi Selatan. Dulu kami minta hapus semua ruang reklamasi di pesisir Sulawesi Selatan. Bahkan, luasan itu mencapai 2.500 hektare. Itu kami tolak pada 2022," kata Amin.
Amin memprediksi dampak negatif keberadaan Pelabuhan MNP bakal semakin dirasakan warga setempat saat pelabuhan itu beroperasi penuh. Antrean kapal besar dan kegiatan bongkar muat di pelabuhan bakal menghambat aktivitas nelayan setempat. "Itu jadi dampaknya itu berlipat ganda," kata Amin.
Walhi, kata Amin, meminta Pelindo bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan yang menyebabkan warga setempat kehilangan mata pencaharian mereka.
"Salah satunya mengganti kekurangan dan kehilangan penurunan income yang terjadi di masyarakat. Sampai detik ini, pemerintah dan Pelindo tidak pernah membuat itu. Jadi, mereka merasa tidak perlu bertanggung jawab," kata Amin.
Menyikapi aksi demo mahasiswa Oktober lalu, Manager Health, Safety, Security, and Environment (HSSE) Pelindo Regional 4 Rosfajrin Latuconsina menepis anggapan keberadaan Pelabuhan MNP mendegradasi lingkungan pesisir. Pasalnya, sudah ada Surat Keputusan atau SK KLHK Nomor 177 Tahun 2010 yang menjadi dasar pembangunan Pelabuhan MNP.
“Sedangkan pembangunan Pelabuhan MNP sudah dimulai sejak Juni 2015, dan saat pembangunan itu dimulai Pelindo sudah mengantongi izin Amdal yang dikeluarkan pada 2010 lalu,” ucap Rosfajrin dalam sebuah siaran pers.
Dalam protesnya, mahasiswa mempertanyakan tidak adanya dokumen Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) pembangunan MNP. Rosfajrin menegaskan Pelindo mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil atau yang biasa disingkat dengan RZWP3K yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan.
Dokumen PKKPRL baru jadi syarat dalam penyusunan Amdal pada peraturan turunan Undang-undang Cipta Karya Nomor 11 Tahun 2021. Adapun dokumen amdal untuk proyek pembangunan Pelabuhan MNP sudah dikantongi Pelindo sejak 2010 dan diperbaharui pada 2020.
Diresmikan Jokowi pada Februari 2024, MNP diproyeksikan jadi pelabuhan peti kemas terbesar di kawasan timur Indonesia. Total angggaran sekitar Rp5,4 triliun dihabiskan untuk membangun MNP. Saat ini, MNP punya kapasistas 2,5 juta TEUs per tahun dengan waktu sandar kapal di pelabuhan maksimal 24 jam.