close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pagar laut. /Foto dok. KKP
icon caption
Ilustrasi pagar laut. /Foto dok. KKP
Peristiwa
Selasa, 28 Januari 2025 13:04

UU Ciptaker adalah biang kerok fenomena pagar laut Tangerang

UU Ciptaker dianggap memberikan karpet merah bagi kalangan pengusaha untuk menggelar privatisasi di laut.
swipe

 Praktik-praktik privatisasi laut diyakini kian marak seiring diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati, UU memberikan karpet merah bagi korporasi untuk menggelar privatisasi ruang laut secara masif. 

UU Ciptakter, misalnya, menegasikan substansi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K). Sanksi pidana bagi korporasi yang melanggar hukum dalam upaya privatisasi yang tertuang di UU PWP3K kini digantikan sanksi administrasi. 

"Lihat saja bagaimana respons KKP (Kementerian Kelauatan dan Perikanan). Sanksinya administratif. Padahal, kalau kita pakai Undang-Undang 1 tahun 2014, sebenarnya bisa diseret ke pidana. Sayangnya, memang di UU Cipta Kerja ini, semua jadi terbantahkan. Jadi, semua kayak dilemahkan undang-undang yang bisa menjerat para perusak lingkungan," kata Susan kepada Alinea.id, Senin (27/1). 

KKP baru saja mengeluarkan sanksi denda Rp18 juta per kilometer untuk pembangun pagar laut di pesisir Tangerang, Banten. Pagar laut yang kontroversial itu diduga dibangun oleh perusahaan milik PT Intan Agung Makmur (IAM) dan PT Cahaya Inti Sentosa. 

Di area itu, PT IAM dan PT Cahaya Inti Sentosa memiliki sertifikat hak guna bangunan (SHGB) dan sertifikat hak milik (SHM) untuk 254 bidang lahan. Kedua perusahaan itu merupakan anak dari Agung Sedayu Group, kelompok perusahaan milik konglomerat Sugianto Kusuma alias Aguan. 

Bersama Salim Group, Agung Sedayu Group tengah mengembangkan kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 yang lokasinya persis bersebelahan dengan titik awal pagar laut. Tak jauh dari pagar laut, Agung Sedayu Group tengah merencanakan pembangunan PIK Tropical Coastland. 

Proyek itu masuk dalam daftar proyek strategis nasional (PSN) sejak Maret 2024. Ketika itu, muncul dugaan Presiden ke-7 RI, Joko Widod (Jokowi) memasukan PIK Tropical Coastland dalam daftar PSN sebagai balas jasa atas investasi Aguan di ibu kota Nusantara. 

"Dendanya cuma 18 juta per kilometer. Artinya, sanksi itu tidak sepadan dengan pengeluaran pelaku untuk membayar pagar. Saya yakin untuk mengeluarkan ongkos pagar ini jauh lebih mahal ketimbang denda yang diberikan kepada si pelaku. Artinya, ini juga akan membuat si pelaku atau pelanggar lingkungan ini semakin jemawa," kata Susan. 

Selain di pesisir Tangerang, SHM dan SHGB bermasalah terbit di area seluas 656 hektare di wilayah laut Sidoarjo. Diterbitkan pertama kali pada 1996, SHM dan SHGB itu dulunya merupakan izin pengelolaan lahan untuk tambak ikan. Namun, area tambak itu kini telah "tenggelam" karena abrasi air laut. 

Di Bekasi, Jawa Barat, persoalan serupa muncul. Saat ini, ada pagar laut seluas lima kilometer dididirikan di perairan Kampung Paljaya, Tarumajaya, Kabupaten Bekasi. Ppagar laut itu dibangun PT Tunas Ruang Pelabuhan Nusantara (TRPN) sebagai pemegang SHGB dan SHM di area tersebut. Pagar laut itu rencananya disiapkan untuk pembangunan jalur pelabuhan, namun belum berizin.

Indikasi pelanggaran pemanfaatan ruang laut juga terungkap di Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Di pulau ini, PT Cahaya Prima Sentosa (CPS) diduga melakukan reklamasi tanpa izin yang merusak ekosistem mangrove dan padang lamun. Dari KKP, PT CPS hanya mengantongi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) yang tak bisa dijadikan basis untuk kegiatan reklamasi. 

Kiara saat ini mendampingi proses hukum masyarakat Pulau Pari yang terdampak langsung proses reklamasi PT CPS. Berulang kali mengajukan audiensi, menurut Susan, Kiara dan masyarakat Pulau Pari tak pernah digubris Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono. 

"Jadi enggak heran kalau kebijakan mereka pro korporasi. Bahkan, ada kejadian lucu saat ke KKP, ketika kami datang, kami ditanya datang dari perusahaan mana. Orang kita nelayan, ditanya perusahaan mana. Jadi, yang banyak datang ke situ perusahaan ketimbang nelayan itu sendiri," kata Susan. 

Susan berkata pihak KKP hanya mau mengunjungi pulau kalau susah ada PKKPRL. KKP seolah mendorong privatisasi ruang laut yang merusak lingkungan. "Parahnya enggak disanksi oleh negara. Kalau disanksi, ya, paling banter dicabut izinnya atau sanksinya administratif," kata Susan. 

Tanpa komitmen kuat dari Presiden Prabowo Subianto, menurut Susan, mustahil privatisasi ruang laut yang menyengsarakan kelompok nelayan dan masyarakat pesisir bisa direm. Terlebih, ada menteri-menteri di Kabinet Merah Putih yang cenderung pro kalangan pengusaha. "Kalau Prabowo berpihak pada masyarakat pesisir, harusnya diganti Sakti Wahyu Trenggono," imbuhnya. 

Deputi Eksternal Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional Mukri Friatna sepakat Undang-Undang Cipta Kerja jadi sumber kekacauan dari terenggutnya ruang hidup masyarakat pesisir dan nelayan. Pemberlakuan UU itu melemahkan regulasi-regulasi lain yang sebelumnya berfungsi melindungi lingkungan hidup.

"Cara membereskannya tidak ada cara lain selain Presiden memimpin langsung dengan membentuk tim padu serasi kebijakan untuk menemukenali mana saja kebijakan yang bermasalah. Tetap menjadi persoalan ke depan karena bukan hanya masyarakat pesisir yang dilemahkan tidak dan partisipasinya, melainkan juga negara," kata Mukri kepada Alinea.id. 

Mukri menegaskan polemik pagar laut dan penerbitan SHGB dan SHM di ruang laut harus ditertibkan. Apalagi, polemik itu kini jadi perbincangan di ruang publik. Wacana yang muncul ialah negara seolah kalah oleh korporasi. 

"Padahal jika disadari, bahwa negara juga sedang mengalami kelemahan yang serius. Apa indikatornya? Kini, warga sudah kurang percaya kepada penegak hukum mulai dari polisi, kejaksaan hingga kehakiman," kata Mukri. 

Mukri mengatakan setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan untuk mencegah ruang hidup masyarakat pesisir dan nelayan kian terenggut. Pertama, menteri yang menyalahgunakan wewenang harus diberhentikan, Kedua, instrumen aturan yang melemahkan harus dihapus. "Ketiga, masyarakat sipil harus melakukan konsolidasi gerakan," ujarnya. 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Berita Terkait

Bagikan :
×
cari
bagikan