Presiden Rusia Vladimir Putin melakukan perjalanan ke Vietnam dalam kunjungan dua hari. Di negeri Indochina itu dia disambut dengan hangat.
Pada Kamis (20/6), pemimpin Rusia tersebut mengakhiri perjalanannya ke Vietnam. Kedua negara menandatangani sekitar selusin perjanjian kerja sama yang mencakup berbagai bidang, termasuk pendidikan dan rencana pembangunan pusat ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir.
Rusia dan Vietnam memiliki sejarah panjang sejak era Soviet, sehingga kunjungannya juga tidak mengherankan.
Namun, muhibah singkat Putin – yang terjadi kurang dari setahun setelah Amerika Serikat meningkatkan hubungan dengan Vietnam – bukanlah hal yang baik bagi Washington atau negara-negara Barat, yang telah memberlakukan pembatasan besar-besaran terhadap Rusia atas invasi mereka ke Ukraina.
"Sekutu Barat mungkin memikirkan kembali keandalan Vietnam sebagai mitra strategis di kawasan,” tulis Hoang Thi Ha, peneliti senior di ISEAS–Yusof Ishak Institute di Singapura, pada hari Rabu (19/6).
“Meskipun Vietnam tidak secara langsung membantu upaya perang Rusia, sambutan hangat mereka terhadap Putin dapat dianggap mengakhiri legitimasi asing terhadap rezimnya dan melemahkan upaya internasional yang dipimpin AS untuk menentang perang Rusia di Ukraina,” tambah Hoang, yang juga merupakan salah satu koordinator Program Studi Strategis dan Politik Regional di ISEAS.
Vietnam adalah pusat manufaktur bagi banyak perusahaan multinasional yang melakukan diversifikasi operasi mereka di luar China – yang merupakan pabrik utama dunia selama 40 tahun terakhir – untuk mendiversifikasi risiko rantai pasokan mereka.
Setelah Putin berkunjung, Washington mengirim Daniel Kritenbrink, Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk urusan Asia Timur dan Pasifik, ke Vietnam, kata Departemen Luar Negeri AS pada hari Kamis.
Kritenbrink akan bertemu dengan para pejabat senior Vietnam pada hari Jumat dan Sabtu untuk menggarisbawahi “komitmen kuat AS” terhadap kemitraan strategis Washington dan Hanoi, kata Deplu AS.
Meskipun Hanoi mempunyai kebijakan “diplomasi bambu” yang fleksibel dan hubungan seimbang dengan beragam kekuatan, namun negara ini masih melekat pada masa lalunya.
Sentimentalisme ini dapat mempengaruhi pragmatisme yang menandai kebijakan luar negeri Hanoi selama dua dekade terakhir, tulis Hoang di ISEAS–Yusof Ishak Institute seperti disitir Business Insider.
Ini juga merupakan langkah politik yang cerdas, karena sebagian masyarakat Vietnam masih “sangat menyukai Rusia.”
“Banyak yang masih bernostalgia dengan Uni Soviet dan berterima kasih atas dukungannya kepada Vietnam selama perang melawan Prancis dan Amerika,” tambah Hoang. “Beberapa orang sangat terpikat pada Putin sebagai simbol anti-Barat dan pemimpin yang kuat, sebuah fenomena yang disebut secara lokal sebagai 'Putin-mania,'” tulis Hoang.
Menurut Reuters, sebagai kekuatan besar dalam bidang energi, sumber daya alam, dan nuklir, Rusia beralih ke Asia setelah Barat menjatuhkan sanksi terhadap Moskow atas konflik di Ukraina.
Sehari setelah menandatangani perjanjian pertahanan bersama dengan Korea Utara, Putin mengatakan bahwa Moskow dan Hanoi tertarik untuk membangun apa yang disebutnya arsitektur keamanan yang andal di kawasan Asia-Pasifik.(reuters,businessinsider)