Beberapa hari lalu, wacana pengenaan subsidi untuk kereta rel listrik (KRL) menjadi berbasis nomor induk kependudukan (NIK) ramai menjadi perbincangan di media sosial. Isu itu mengemuka berawal dari pemberitaan yang mengutip data di buku II nota keuangan RAPBN 2025 dari pemerintah yang diserahkan ke DPR untuk didiskusikan bersama.
Dalam dokumen tersebut ditetapkan anggaran belanja subsidi public service obligation (PSO) kereta api sebesar Rp4,79 triliun yang ditujukan untuk mendukung perbaikan kualitas dan inovasi pelayanan kelas ekonomi bagi angkutan kereta api, termasuk KRL Jabodetabek. Salah satu perbaikan yang dilakukan mengubah sistem pemberian subsidi untuk tahun depan.
Dikutip dari Antara, juru bicara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Adita Irawati mengatakan, rencana penerapan tarif subsidi KRL Jabodetabek berbasis NIK sebenarnya sudah muncul pada 2023. Tujuannya untuk membuat subsidi angkutan umum lebih tepat sasaran.
Menurutnya, PT Kereta Api Indonesia (KAI) pun telah punya sistem yang baik. Maka dari itu, memungkinkan diwujudkannya penerapan subsidi KRL berbasis NIK. Adita menjamin, bila tarif subsidi KRL Jabodetabek berbasis NIK diterapkan, bakal diikuti dengan peningkatan fasilitas kereta dan stasiun.
Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna menyoroti, kondisi transportasi umum, seperti KRL, mass rapid transit atau moda raya terpadu (MRT), dan light rail transit atau lintas rel terpadu (LRT) yang ada di tengah hingga pinggir Kota Jakarta, semua tidak terintegrasi dengan baik. Kondisi KRL sendiri, disebut Yayat, sedang parah.
Namun, peminat salah satu moda transportasi pubik ini terbilang ramai. Pemerintah nantinya, kata dia, perlu menyelaraskan pemahaman yang ada dengan BUMD terkait.
“Itu harus jelas sasarannya dengan pola subsidi,” kata Yayat kepada Alinea.id, Jumat (30/8).
Yayat mengingatkan, selain basis NIK harus sesuai dengan kondisi ekonomi, juga perlu diperhatikan layanan bagi mereka yang membayar “lebih tinggi” yang tak masuk daftar NIK dengan membayar “lebih rendah”.
Sebab, bisa terkesan tak adil jika mereka yang membayar lebih mahal, tetap tetap berdiri. Sedangkan lokasi tujuan mereka terbilang jauh. Bisa pula menyediakan “jalur ekspres” yang memungkinkan mereka sampai ke lokasi lebih cepat.
“Cuma tinggal bagaimana mengatur frekuensinya dan masalah kita itu sarana-prasarana. Jadi, tidak perlu dibuat kelas-kelas gitu,” ujar Yayat.
Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno mengatakan, program subsidi berbasis NIK ini sudah dibahas sejak 2018. Bahkan, sudah diusulkan beberapa kali menaikkan tarif. Masalahnya, kini kondisi layanan KRL sedang memburuk.
“Waktunya dinilai kurang tepat, saat layanan KRL kurang bagus karena kurangnya armada kereta,” ujar Djoko, Sabtu (31/8).
Djoko menyampaikan, mulai Maret 2025 bakal tiba secara bertahap rangkaian kereta yang dipesan dari China. Namun, murahnya tarif KRL tidak menjamin pengeluaran transportasi per bulan akan berkurang. Masalahnya, layanan transportasi first mile dan last mile pun masih terlihat buruk.
Dia menuturkan, seharusnya setiap kawasan perumahan di wilayah aglomerasi Jabodetabek dilayani angkutan umum menuju stasiun terdekat pusat kota atau Jabodetabek residence (JR) connection.
“Sekarang sudah ada JR connection dari sejumlah hunian mewah di Bodetabek. Namun, belum ada untuk hunian kelas menengah dan bawah,” ucap Djoko.
“Perlu diadakan, supaya tidak tergantung pada KRL menuju Kota Jakarta.”
Dia pun menilai, seandainya akhir pekan dan hari libur dikurangi atau tidak diberikan subsidi, maka bisa memangkas sepertiga PSO yang ada. Penghematan itu akan menambah subsidi untuk angkutan perintis di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), 154 kawasan transmigrasi, pulau-pulau kecil yang sudah terbangun jalan, dan daerah penghasil mineral.
“Seperti Pulau Halmahera (Maluku Utara), Natuna (Kepulauan Riau), Anambas (Kepulauan Riau), Morowali (Sulawesi Tengah), Bunyu (Kalimantan Utara), dan Obi (Maluku Utara),” kata Djoko.