Menteri Hukum Supratman Andi Agtas memicu kontroversi dengan pernyataan yang menyebut keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak lagi diperlukan jika tiga undang-undang (UU) baru dibahas dan disahkan DPR. Tiga undang-undang yang dimaksud ialah UU Partai Politik, UU Perampasan Aset, dan UU Pembatasan Uang Kartal.
Jika tiga UU itu terbit, menurut Supratman, upaya-upaya pemberantasan korupsi cukup diserahkan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan lembaga audit keuangan negara seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“Kalau paket tiga undang-undang itu sudah selesai, KPK tidak perlu ada. Buat apa? Sudah ada pembatasan transaksi kartal dan perampasan aset,” ujar Andi Agtas dalam wawancara khusus dengan Kompas.id, Jumat (13/12) lalu.
Supratman mengatakan pendekatan holistik diperlukan untuk menangani persoalan korupsi. Ia pun mengusulkan penguatan sistem pemilu serta pengkajian ulang pelaksanaan pilkada langsung berdasarkan indikator tertentu, seperti ruang fiskal daerah dan kerawanan sosial.
"Begitu juga untuk sistem pemilu memang sudah diusulkan untuk diperbaiki. Kita tidak cocok Pilkada langsung. Masalahnya, kami tidak tahu keinginan publik seperti apa. Ada kekhawatiran juga nanti di Mahkamah Konstitusi seperti apa," ujar politikus Gerindra itu.
Pernyataan Supratman itu banjir kritik. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur menilai ada tendensi untuk melemahkan bahkan melenyapkan KPK dalam pernyataan tersebut. Padahal, KPK selama ini telah berkerja menjaga supaya penyelenggara negara tak terjerembap di lembah korupsi.
“Kita melihat ada agenda politisi untuk melenyapkan KPK. KPK terbukti berhasil menangkap koruptor-koruptor berbasis politik. Jika KPK ditiadakan, para politisi akan merasa aman,” kata Isnur kepada Alinea.id, Senin (16/12).
Ia juga memperingatkan bahwa melemahkan KPK dapat membawa Indonesia kembali ke era korupsi yang merajalela. Ungkapan Supratman, kata Isnur, merupakan pemikiran yang keliru. Ketiga UU baru yang diwacanakan Supratman semestinya didesain untuk membuat KPK semakin kuat.
“Menganggap KPK tidak diperlukan dengan adanya tiga undang-undang itu adalah pola pikir yang keliru. Justru KPK akan lebih efektif bekerja dengan dukungan tiga undang-undang tersebut,” tegasnya.
Mantan penyidik KPK sekaligus pakar anti-korupsi Praswad Nugraha menilai Menteri Hukum tak paham dengan filosofi dan sejarah pemberantasan korupsi saat mengeluarkan pernyataan itu, baik di Indonesia maupun di dunia.
“Sebagus apa pun undang-undangnya, tanpa penegak hukum yang berintegritas, semuanya akan sia-sia. Yang harus diperkuat adalah lembaga anti-korupsi seperti KPK sebagaimana rekomendasi dari UNCAC (United Nations Convention Against Corruption) dan praktik terbaik global,” ujar Praswad kepada Alinea.id, Senin (16/12).
Saat ini, KPK berada di bawah kendali komisioner baru. Kelima pimpinan KPK yang baru dilantik yaitu Ketua KPK Setyo Budiyanto, Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto, Wakil Ketua KPK Ibnu Basuki Widodo, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, dan Wakil Ketua KPK Agus Joko Pramono.
Pernyataan Supratman, menurut Praswad, memunculkan kekhawatiran tentang arah pemberantasan korupsi di era pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (Prabowo-Gibran).
Praswad menekankan urgensi menyusun peta jalan yang tepat untuk pemberantasan korupsi agar Indonesia tidak terjerumus lebih dalam ke jurang korupsi.
Menurut Praswad, pandangan-pandangan yang mendukung penghapusan KPK sebagai bentuk anti-pemberantasan korupsi. “Saya pastikan, tidak ada penegak hukum di Indonesia yang relatif independen seperti KPK,” jelas Praswad.