close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Panglima TNI Agus Subiyanto dan Kapolri Listyo Sigit menjajal alat pertanian di lahan ketahanan pangan Kodam IV/Diponegoro, Bulusan, Tembalang, Semarang Jawa Tengah, Kamis (21/11). /Foto dok. Puspen TNI
icon caption
Panglima TNI Agus Subiyanto dan Kapolri Listyo Sigit menjajal alat pertanian di lahan ketahanan pangan Kodam IV/Diponegoro, Bulusan, Tembalang, Semarang Jawa Tengah, Kamis (21/11). /Foto dok. Puspen TNI
Peristiwa
Rabu, 05 Maret 2025 17:00

Waspadai pasal karet di revisi UU TNI

KontraS mengirimkan surat meminta pembahasan RUU TNI disetop DPR RI.
swipe

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) resmi mengirimkan surat terbuka kepada DPR RI. Isi surat itu meminta DPR membatalkan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) tentang Tentara Nasional dan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). 

Wakil Koordinator Bidang Eksternal KontraS, Andrie Yunus menilai revisi UU TNI berpotensi mengembalikan dwifungsi TNI sebagaimana pada era Orde Baru. Apalagi, pemerintahan Prabowo saat ini mengangkat sejumlah perwira TNI aktif di pos sipil, semisal Sekretaris Kabinet yang dijabat Mayor Teddy Indra Wijaya dan Direktur Utama Bulog yang dipegang Mayjen TNI Novi Helmy Prasetya.

"Kami mengamini adanya fenomena kembalinya dwi fungsi TNI. Salah satu konsep yang lekat dalam ingatan era Orde Baru. Bahkan soal multifungsi TNI sendiri dilontarkan secara gamblang tanpa rasa malu oleh Panglima TNI (Agus Subiyanto) di Gedung DPR pada Juni 2024 lalu," kata Andrie kepada Alinea.id, Selasa (4/3).

Panglima TNI Agus Subianto sempat merespons kekhawatiran publik terkait kembalinya dwifungsi TNI via revisi UU TNI. Menurut dia, tak bisa dipungkiri personel TNI saat ini memang terlibat dalam berbagai aspek kehidupan sipil. 

Ia mencontohkan personel TNI yang juga diterjunkan untuk mengajar di Papua. "Kemudian pelayanan kesehatan anggota saya. Terus kalian menyebut dwifungsi ABRI atau multifungsi sekarang? Kita jangan berpikir seperti itu, ya. Kita untuk kebaikan negara ini,” ujar Agus ketika itu. 

Isu menolak dwifungsi TNI juga disuarakan kalangan mahasiswa dalam aksi unjuk rasa bertema "Indonesia Gelap", akhir Februari lalu. Namun, Mayjen TNI (purn) Rodon Pedrason menyebut tuntutan mahasiswa itu sebagai isu "titipan." 

"Ada juga demo tentang Indonesia Gelap. Ini kan kontradiktif, ada tujuh hal yang mereka sampaikan. Tetapi, yang jadi perhatian saya, mereka menolak dwifungsi. Saya pikir (mereka) bukan bicara dwifungsi. Ini pesanan,” kata Rodon di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (3/3).

Rodon meminta publik juga tak mempersoalkan wacana agar personel TNI aktif diperbolehkan berbisnis. Menurut dia, personel TNI butuh tambahan pendapatan dan mengasah keahlian lain sebelum pensiun. Pasalnya, uang pensiun personel TNI tergolong kecil, yakni hanya 70% gaji pokok semasa aktif. 

Andrie berpendapat wacana yang dikembangkan elite-elite TNI terkesan merupakan upaya "melegalisasi" eksistensi TNI di ranah sipil. Menurut dia, hal itu merupakan bentuk pengkhianatan terhadap mandat reformasi serta  mengkhianati isi TAP MPR No. VI Tahun 2000 tentang pemisahan TNI dan Polri.

"Ini kekeliruan berpikir atas fenomena dwifungsi atau multifungsi atas peran militer. Seharusnya dapat dipahami itu bukanlah kerja-kerja utama TNI. Fungsi TNI sebagai alat pertahanan telah dijabarkan pada Pasal 6 ayat (1) UU TNI. Selain peran tersebut, TNI menjadi bagian dari operasi militer selain perang (OMSP). Peran-peran tersebut pun telah memiliki otoritas sipil terkait sebagai penanggung jawabnya," jelas Andrie.

Setidaknya ada tiga perubahan krusial pada revisi UU TNI yang diprotes kalangan masyarakat sipil, yakni penempatan prajurit TNI di jabatan-jabatan sipil, perpanjangan masa pensiun, dan ketentuan berbisnis bagi personel TNI. 

Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan sepakat revisi UU TNI berpotensi mengembalikan dwifungsi TNI atau dwifungsi ABRI sebagaimana pada era Orde Baru. Menurut dia, sudah seharusnya publik bereaksi keras menolak revisi UU TNI. 

"Bagaimana agar militerisme tidak kemudian menjadi corak tata kelola pemerintahan negara melalui revisi UU TNI. Dalam tata kelola pemerintahan demokatis, militer harus tunduk pada otoritas sipil yang dipilih secara politis melalui mekanisme pemilu," kata Halili kepada Alinea.id, Selasa (4/3).

Halili menilai supremasi sipil mesti menjadi komponen substantif yang dipedomani oleh anggota DPR dalam merevisi UU TNI. Ia berharap revisi UU TNI tidak justru memberikan kewenangan yang ekstensif kepada Presiden untuk mengatur mengenai OMSP. 

Yang temasuk OMSP, semisal operasi mengatasi gerakan separatis bersenjata, mengatasi pemberontakan bersenjata, mengatasi aksi terorisme, mengamankan wilayah perbatasan, mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis, dan melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri. 

"UU TNI harus memberikan limitasi yang jelas kepada Presiden untuk menggunakan kewenangannya dalam menempatkan TNI aktif dalam jabatan-jabatan sipil. Oleh karena itu, pasal-pasal mengenai OMSP jangan sampai memuat ketentuan karet," kata Halili.


 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan