close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi judi online. /Foto Unsplash
icon caption
Ilustrasi judi online. /Foto Unsplash
Peristiwa
Sabtu, 29 Juni 2024 12:20

"Yang terpenting adalah menangkap bandar judi online..."

Pemerintah dianggap salah sasaran jika mengutamakan penanganan terhadap pemain judi online.
swipe

Rencana pemerintah mengutamakan pencegahan dan pemulihan korban dalam upaya pemberantasan judi online menuai kritik. Pendekatan itu dianggap tidak efektif memberantas judi online. Apalagi, jumlah pemain judi online di Indonesia tergolong sangat besar dan terus bertambah seiring waktu. 

Peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto berpendapat Satgas Pemberantasan Judi Daring seharusnya fokus membidik para bandar. Apalagi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat perputaran uang di arena judi online mencapai Rp400 triliun. 

"Anggaplah keuntungan bandar itu 20%. Harusnya (negara) bisa mengamankan Rp80 triliun, bukan cuma miliaran. Kalau cuma miliaran, apa bedanya dengan yang dilakukan kepolisian sebelumnya?" tanya Bambang kepada Alinea.id, Rabu (26/6).

Jika hanya menyasar para pemain dan bandar kecil, menurut Bambang, kinerja satgas tak ada bedanya dengan apa yang sudah dilakukan kepolisian saat ini. "Ukuran keberhasilan satgas harusnya bukan hanya pada kuantitas yang ditangkap, tetapi kualitas," imbuh Bambang. 

PPATK mencatat jumlah pemain judi online di Indonesia mencapai 3,2 juta orang. Para pemain berasal dari berbagai latar belakang profesi, semisal politikus, anggota DPR dan DPRD, pengusaha, wartawan, dokter, hingga ibu rumah tangga. 

Menurut Bambang, mendeteksi bandar judi daring semestinya tidak sulit bagi satgas. Apalagi, Polri sudah mendeteksi aplikasi judi online yang beroperasi di Indonesia dikendalikan dari negara kawasan Mekong, seperti China, Myanmar, Laos, dan Kamboja.

"Kata Kadivhubinter Mabes Polri gembongnya di Mekong. Ini tentu bukan dalih yang tepat untuk tidak mengetahui kemana aliran duit judi itu terhimpun karena transaksinya pasti menggunakan platform-platform e-finance lokal," ucap Bambang.

Menurut Bambang, janggal jika pemerintah, baik PPATK dan kepolisian, mampu merinci data para pemain judi online, tetapi tidak bisa menggulung para bandar. Wajar jika publik akhirnya berspekulasi ada upaya melindung para bandar judi daring. 
 
"Tak penting menyampaikan banyak pemain yang terlibat dari berbagai kalangan mulai DPR sampai wartawan. Yang terpenting adalah bagaimana menangkap bandar pengepul aliran dana seperti yang disampaikan PPATK," ucap Bambang.

Sebelumnya, Menkopolhukam Hadi Tjahjanto selaku Ketua Satgas Pemberantasan Judi Online mengaku timnya sedang fokus untuk mencegah serta memulihkan masyarakat yang kecanduan judi online. Pemerintah, kata dia, akan mengumpulkan para camat, lurah, kepala desa untuk "membina" para pemain judi onlinedi daerah mereka masing-masing. 

Hadi berdalih belum menyasar para bandar judi online karena ingin fokus pada pencegahan terlebih dahulu. Meski begitu, Hadi memastikan penindakan hukum tetap digelar secara paralel. Aparat diterjunkan untuk mengusut dan menangkap orang-orang di balik situs judi online.

"Kominfo juga sudah memutus situs-situs, ya. Contohnya adalah network akses provider sudah diputus sehingga mereka (bandar judi online)  saat ini tiarap," ujar Hadi usai menghadiri rakor pencegahan judi daring, di Kantor Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) di Jakarta, Selasa (25/6) lalu. 

Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Arthur Josias Simon Runturambi sepakat satgas salah target jika menyasar para pemain. Menurut dia, pemerintah semestinya fokus pada pengungkapan pelaku utama alias para bandar. 

"Harusnya fokus utama pada pelaku dahulu, bukan korban dan calon korban. Ini (judi online) beda dengan kejahatan konvensional pada umumnya," ucap Josias kepada Alinea.id. 

 Menurut Josias, judi online ialah kejahatan yang mudah ditelusuri pelakunya. Apalagi, pemerintah punya kuasa penuh mengontrol aplikasi atau situs judi online yang beroperasi di Indonesia. 

"Apalagi, melalui medsos (ponsel dan gadget) yang semua dikontrol regulasi. Nah, menjadi pertanyaan apakah ini kelemahan mengontrol itu? Apalagi, data di PDN (pusat data nasional) saja bocor," ucap Josias.

Artikel ini ditulis oleh :

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor
Bagikan :
×
cari
bagikan