close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Mampukah Suhartoyo, yang terpilih sebagai ketua menggantikan Anwar Usman, memperbaiki citra MK? Instagram/@mahkamahkonstitusi
icon caption
Mampukah Suhartoyo, yang terpilih sebagai ketua menggantikan Anwar Usman, memperbaiki citra MK? Instagram/@mahkamahkonstitusi
Peristiwa
Senin, 06 Januari 2025 12:00

Yang tersirat dari putusan-putusan progresif MK era Suhartoyo

MK terkesan tak lagi jadi alat politik penguasa sebagaimana era Anwar Usman.
swipe

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali mengeluarkan putusan progresif. Pekan lalu, MK mengabulkan permohonan uji materi terhadap Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Dalam putusannya, MK menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20%. 

Pasal itu sebelumnya rutin digugat, baik oleh mahasiswa, partai politik, maupun kelompok masyarakat. Setidaknya sudah ada 36 kali gugatan yang dilayangkan ke MK terhadap pasal tersebut. Namun, baru pada era Suhartoyo, MK berani mengubah substansi pasal keramat tersebut. 

Dengan dihapusnya ambang batas pencalonan presiden, maka semua parpol peserta pemilu berhak mencalonkan kandidat presiden pada Pilpres 2029. Kandidasi para calon presiden tak lagi dikuasai parpol-parpol besar dalam skema koalisi. 

Putusan progresif lainnya dikeluarkan Suhartoyo dan kawan-kawan jelang pendaftaran calon di Pilkada Serentak 2024. Ketika itu, MK mengeluarkan putusan Nomor 60/PUU/XII/2024 yang mengubah ambang batas pencalonan partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusung pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.

Dengan memangkas syarat kursi DPRD untuk pencalonan kepala daerah, MK membuka peluang bagi parpol untuk mencalonkan sendiri kader mereka di Pilkada Serentak 2024. Di DKI Jakarta, misalnya, PDI-Perjuangan bisa mengusung Pramono Anung-Rano Karno (Pramono-Rano) dan akhirnya memenangi Pilgub DKI. 

Di luar yang terkait pemilu dan politik, MK juga merevisi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Dalam putusan nomor 168/PUU-XXI/2023, MK merevisi 20 pasal di UU tersebut. MK juga meminta pemerintah dan DPR membuat UU baru dan memisahkan klaster ketenagakerjaan dari UU Ciptaker.

Pakar hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Herdiansyah Hamzah Castro menilai MK kini rutin mengeluarkan putusan profresif karena kencangnya desakan publik. Pada era Anwar Usman, MK kerap merilis putusan yang terkesan mengakomodasi kepentingan penguasa. 

"Putusan soal presidential threshold ini sebenarnya adalah keniscayaan karena tuntutan demokrasi yang memang menghendaki semua punya hak yang setara. Ya, mau tidak mau MK juga harus berpikir bagaimana memutus perkara ini agar sejalan dengan demokrasi dan memberikan hak yang cukup bagi semua pihak," kata Herdiansyah kepada Alinea.id, Jumat (3/1).

Anwar Usman dicopot dari jabatan Ketua MK setelah terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dalam uji materi perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres). Putusan MK kala itu membuka jalan bagi putra bungsu Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju menjadi cawapres.

Skandal itu, menurut Herdiansyah, mencoreng marwah MK sebagai penjaga gawang konstitusi. Semenjak diketuai Suhartoyo, MK punya tugas berat memulihkan martabat institusi dan mengembalikan kepercayaan publik kepada lembaga tersebut. 

"Apabila dibandingkan dengan Anwar, ya, pasti bagus Suhartoyo. Tetapi, kalau kita bandingkan kualitas putusannya, misalnya, pasti ada perbedaan," kata Herdiansyah.

Herdiansyah berpendapat MK di era Suhartoyo belum seprogresif MK saat diketuia Jimly Asshidiqie dan Mahfud MD. Ia membandingkan kualitas putusan era Suhartoyo dengan era Jimly dan Mahfud, terutama dalam hal ketajaman analisis, kekayaan teori dan argumentasi. 

"Itu jauh (lebih bagus) dibandingkan periode MK yang sekarang. Banyak putusan yang kalau sandingkan dengan zamannya Mahfud MD dan Jimly itu, bisa kita bilang lebih bagus putusan yang sebelumnya," ucap Herdiansyah. 

MK, kata Herdiansyah, tak hanya bertumpu pada seorang Suhartoyo. Masih ada hakim MK yang tak sepaham dengan Suhartoyo. Ia mencontohkan putusan terkait ambang batas pencalonan presiden yang disertai disenting opinion dari dua hakim MK. "Ada problem cara pandang hakim yang berbeda dalam mengambil putusan," imbuhnya. 

Dosen hukum tata negara Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Aji Muhammad Idris, Samarinda, Suwardi Sagama sepakat putusan-putusan progresif yang dikeluarkan MK baru-baru ini menunjukkan upaya lembaga tersebut untuk memperbaiki citra di mata publik. Sudah semestinya, MK jadi lembaga yang merdeka dari pengaruh politik. 

"Seperti batas usia wakil presiden beberapa waktu yang lalu meloloskan keponakan (Anwar) menjadi calon wakil presiden. Kepercayaan pada lembaga MK saat Ketua MK dipegang Anwar Usman sebagai pemberi keadilan hilang dengan putusan-putusan yang mendegradasi nilai-nilai konstitusi," kata Suwardi kepada Alinea.id, Jumat (3/1).

Suwardi tak menafikan pengaruh Suhartoyo dalam putusan-putusan progresif tersebut. Meskipun disepakati secara kolektif kolegial, Suhartoyo punya kewenangan lebih sebagai Ketua MK. Saat tak tercapai suara terbanyak, Ketua MK bisa menjadi penentu hasil akhir putusan. 

"Putusan MK di masa Suhartoyo yang menjaga marwah konstitusi juga pernah ada pada masa kursi Ketua MK dipegang Mahfud MD, semisal pada putusan hak keperdataan anak yang lahir dari di luar pernikahan resmi... dan putusan MK terkait masa jabatan pimpinan KPK untuk penguatan pemberantasan korupsi di Indonesia," kata Suwardi. 
 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan