Penelusuran terhadap kasus pembunuhan Dini Sera oleh Ronald Tannur menguak kebusukan para hakim. Selain menyuap para hakim Pengadilan Negeri Surabaya untuk membebaskan dia, Ronald--lewat pengacaranya--juga telah menyiapkan duit miliaran rupiah untuk menyuap para hakim di Mahkamah Agung (MA).
Hal itu terungkap setelah tim Kejati Jawa Timur menangkap Erintuah dan dua hakim lainnya yang memutus kasus Ronald--Heru Hanindyo dan Mangapul. Selain ketiganya, Kejati Jatim juga menangkap Lisa Rachmat dan Kevin Wibowo, anggota tim kuasa hukum Ronald.
Dari tangan para tersangka, penyidik menemukan duit miliaran rupiah. Salah satu gepokan duit disiapkan untuk mantan Kepala Balitbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung Zarof Ricar dan hakim-hakim MA yang mengeksaminasi kasasi perkara Ronald.
Usai menangkap Ronald cs, Kejagung juga menggulung Zarof di sebuah hotel mewah di Bali, Kamis (24/10) lalu. Tak berhenti di situ, Kejagung lantas menggeledah rumah Zarof di Jakarta. Di kediaman Zarof, tim penyidik menemukan uang tunai hingga nyaris Rp1 triliun dan emas seberat 51 kilogram.
Kepada penyidik, Zarof mengaku uang tunai dan emas yang disita dari rumahnya itu dikumpulkan pada periode 2012-2022. Duit haram itu berasal dari komisi pengurusan berbagai perkara di MA. Zarof diperkirakan sudah ratusan kali memuluskan penanganan perkara-perkara yang masuk ke MA.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai kasus suap yang melibatkan Zarof mengindikasikan lemahnya pengawasan terhadap hakim-hakim MA. Apalagi, Zarof sudah satu dekade beroperasi sebagai makelar kasus di MA.
Menurut Fickar, MA semestinya tak dibiarkan mengawasi sendiri internal mereka. Apalagi, Zarof bukan satu-satunya pejabat korup di MA. Komisi Yudisial perlu diberi kewenangan khusus untuk mengawasi kinerja para hakim dan pejabat MA.
“KY harus diberi kewenangan yudisial, umpamanya kewenangan khusus untuk menangkap dan menahan hakim sebelum diajukan ke sidang pengadilan pidana,” kata Fickar kepada Alinea.id, Kamis (31/10).
Selain Zarof, sejumlah pejabat MA juga tengah berkasus. Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Sekretaris MA Hasbi Hasan karena diduga menerima suap dalam pengurusan perkara debitor KSP Intidana. Nurhadi, sekretaris MA sebelum Hasbi, juga kini dibui karena tersangkut kasus suap dan korupsi.
Selain kewenangan menangkap hakim yang terindikasi menjalankan praktik-praktik lancung, menurut Fickar, KY juga mesti diberi kewenangan untuk mengawasi proses persidangan kasus-kasus hukum yang tengah berjalan di pengadilan. Dengan begitu, KY bisa bergerak cepat saat menemukan praktik-praktik peradilan yang menyimpang.
“KY harus aktif mengawasi peradilan dan harus melakukan tindakan terhadap laporan-laporan dari masyarakat. Semua (penguatan kewenangan KY) itu harus diatur dalam undang-undang,” jelas Fickar.
Selama ini, KY kerap dianggap tak bertaji dalam mengawasi kinerja para hakim. Pasalnya, KY hanya bisa mengeluarkan rekomendasi terhadap para hakim yang dianggap melanggar etika atau bahkan terindikasi korup. Putusan akhir atau pemberian sanksi tetap menjadi ranah MA.
Pakar hukum acara pidana, Hibnu Nugroho sepakat kewenangan KY perlu diperkuat sebagai pengawas kinerja para hakim. Salah satunya ialah dengan memperkuat kewenangan di bidang eksaminasi putusan. Tak sekadar rekomendasi, hasil eksaminasi putusan KY semestinya dijalankan oleh MA.
"Dalam eksaminasi, bisa dilihat apakah prosedur hukum acaranya telah diterapkan dengan benar. Bahkan bisa dilihat juga apakah putusan tersebut telah menyentuh rasa keadilan masyarakat atau tidak," kata Hibnu kepada Alinea.id.
Perkara Zarof menambah panjang daftar hakim dan pejabat MA yang terjerat kasus suap dan korupsi. Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), ada 26 hakim yang terbukti terlibat kasus rasuah pada periode 2011-2023.