The Economist Intelligence Unit (EIU) merilis laporan Indeks Demokrasi 2020. Secara global, Indonesia menempati peringkat ke-64 dengan skor 6,3 atau terendah dalam kurun waktu 14 tahun terakhir. Skor kebebasan sipil 5,59, Indonesia pun dikategorikan sebagai negara dengan demokrasi cacat.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memberi empat catatan krusial tentang penyelenggaraan demokrasi di Indonesia. Pertama, aspek partisipasi publik dalam perumusan kebijakan menjadi sangat tergerus. Padahal, partisipasi publik dibutuhkan dalam rangka menciptakan good government. Misalnya, dalam perumusan Rancangan Undang-Undang RUU Cipta Kerja.
“Paling nyata dan mencolok, publik mayoritas merasa tidak dilibatkan dalam perumusan RUU Cipta Kerja. Berbagai aksi demonstrasi dari rakyat seolah dianggap angin lalu oleh pemangku kebijakan,” ujar Presiden PKS Ahmad Syaikhu dalam diskusi virtual, Jumat (12/2).
Kedua, aspek kebebasan sipil di Indonesia semakin terancam, seperti yang tercermin dalam rilis KontraS pada Oktober 2020, bahwa selama setahun terakhir telah terjadi 158 pelanggaran, pembatasan, dan serangan terhadap kebebasan sipil. Padahal, kata dia, UUD 1945 telah memberikan jaminan terhadap kebebasan sipil.
Ketiga, lanjutnya, aspek jaminan atas HAM yang mengalami krisis. Banyak terjadi intimidasi terhadap mahasiswa, akademisi, jurnalis, hingga aktivis yang mencoba menyampaikan kritik terhadap pemerintah.
“Termasuk kasus penembakan laskar FPI yang dinilai banyak pihak, salah satunya adalah Amnesty Internasional sebagai tindakan extra judicial killing yang melanggar HAM,” ucapnya.
Keempat, penegakan hukum seolah-olah begitu runcing kepada mereka yang kritis terhadap kekuasaan. Bahkan, penegakan hukum dapat menyasar dengan berbagai tuduhan. Penegakan hukum pun disebutnya runcing kepada rakyat kecil, tetapi tumpul terhadap mereka yang sebenarnya justru menjadi penjahat-penjahat negara.
“Saat ini, kami masih mempertanyakan tindak lanjut kasus Harun Masiku, kasus Djoko Tjandra, proses penembakan terhadap 6 Laskar FPI, serta kasus mereka yang jelas melakukan ujaran kebencian, provokatif, dan ucapan rasial, seolah ini kebal hukum (buzzer),” tutur Syaikhu.