Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES Wijayanto menilai, kemunduran demokrasi di Indonesia bukan dilakukan kudeta militer, seperti teori otoritatif Samuel Huntington. Namun, fenomena hari ini justru disebabkan politisi sipil yang terpilih secara demokratis.
Politikus sipil tersebut, lanjutnya, membohongi nilai-nilai demokrasi, serta mengabaikan oposisi, media yang independen, dan memberangus masyarakat sipil.
Merujuk data Economist Intelligence Unit 2019 dan 2020, skor kebebasan sipil di Indonesia sangat buruk. Pun berdasarkan survei LP3ES pada 2021, sekitar 35% responden setuju dan 16% sangat setuju bahwa rakyat semakin takut menyatakan pendapat dan berserikat.
Berkaca dari pengalaman Amerika Serikat, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt menyatakan, ada empat indikator perilaku otoriter dalam bukunya How Democracies Die; What History Reveals About Our Future.
Pertama, penolakan atau komitmen lemah atas aturan main demokratis yang terlihat dari awetnya isu Jokowi 3 periode. Kedua, menyangkal legitimasi lawan politik yang tergambar dari KLB Partai Demokrat. Ketiga, anjuran kekerasan. Misalnya, pembunuhan terhadap mahasiswa dalam aksi unjuk rasa menolak UU KPK baru dan UU Cipta Kerja.
Keempat, jelasnya, kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media. Misalnya, pemblokiran media sosial dan teror siber. “Dalam riset LP3ES semua indikator ini justru ada di Indonesia. Bahkan, kita ada bonusnya, tidak hanya empat indikator itu,” ucapnya.
Kelima, poin indikator yang hanya ada di Indonesia adalah politisasi ilmu pengetahuan dan ancaman terhadap kebebasan akademik. Para peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kata dia, berduka dengan senyum, tetapi hati menangis. Sebab, LIPI dilebur ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Apalagi, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri didapuk sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN.
Politisasi ilmu pengetahuan dan ancaman terhadap kebebasan akademik juga dapat ditilik dari kasus pelajar berunjuk rasa menentang Omnibus Law UU Cipta Kerja. Mereka diancam dengan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK).
“Di Semarang ada mahasiswa divonis 3 bulan masa percobaan karena keterlibatannya di demo UU Cipta kerja, ini situasi konkret tergerusnya kebebasan akademik di Indonesia. Lalu, kita ingat, Menristekdikti (Mohamad Nasir) meminta rektor cegah mahasiswa turun ke jalan, ada edaran untuk kampus besar di Indonesia,” tutur Wijayanto.