Ke mana arah politik ormas Islam pendukung Prabowo setelah rekonsiliasi?
Gerakan Pengawal Fatwa Ulama (GNPF-Ulama), Persaudaran Alumni (PA) 212, dan Front Pembela Islam (FPI), tengah mengukur langkah untuk menentukan pijakan dalam peta politik Indonesia ke depan. Pasca-pertemuan Jokowi dan calon presiden Prabowo Subianto pada Sabtu (13/7) lalu, PA 212 berencana menggelar Ijtima Ulama keempat demi merespons hal tersebut.
Ketua Umum PA 212 Slamet Ma'arif mengatakan, pihaknya akan menggelar Ijtima Ulama IV pada 5-6 Agustus 2019 di Jakarta. Dalam acara tersebut, pihaknya akan mengambil sikap ihwal arah politik ke depan.
Menurut Slamet, banyak yang khawatir "kendaraan" perjuangan umat Islam mogok pasca-pertemuan Prabowo dan Jokowi. Karena itu, ijtima ulama menjadi momen untuk melangsungkan konsolidasi ulama dan umat, dalam mencari langkah konkret menegakkan arah perjuangan umat Islam.
"Sebenarnya kami tidak kecewa. Tapi kami juga tidak senang. Parpol, BPN, Prabowo dan Sandiaga, itu hanya alat atau kendaraan perjuangan kami untuk mewujudkan agenda dalam spirit 212. Spirit itu ialah stop kriminalisasi ulama, penegakan keadilan, dan lawan penista ulama," kata Slamet saat dihubungi reporter Alinea.id, Rabu (17/7).
Dia menjelaskan, Ijtima Ulama IV merupakan pematangan dari hasil ijtima ulama jilid I. Semangatnya masih sama, yaitu mendorong ekonomi keumatan, dakwah, dan membalikan marwah kelembagaan dan politik sesuai ajaran keagamaan.
Sudah ada 1.000 ulama yang diundang untuk menghadiri acara tersebut. Peserta Ijtima Ulama I, II, dan III, juga diajak untuk menghadirinya.
"Tentu juga akan ada pembahasan arah politik dan mendengar komando imam besar umat islam Habib Rizieq Syihab," ucap dia.
Ketua GNPF-Ulama Yusuf Martak mengatakan, Ijtima Ulama IV juga akan menjadi tempat menampung seluruh aspirasi dan masukan dari ulama, habaib, dan masyarakat. Apapun aspirasi yang disampaikan, akan ditampung dan dielaborasi guna menjadi sikap dasar mereka ke depan.
"Jadi sampai hari ini kami santai-santai saja, tenang-tenang dan tidak terpengaruh apapun yang terjadi. Baik terjadinya sesuatu peristiwa dan pertemuan lainnya, semua orang punya hak masing-masing. Mau bertemu atau mau melakukan hal apapun saja. Begitu juga kami punya sikap dan punya ketentuan sendiri apa langkah-langkah selanjutnya," kata Yusuf.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) FPI Munarman menjelaskan hal yang sama seputar tujuan digelarnya Ijtima Ulama IV. Menurutnya, acara ini juga akan menjadi momentum untuk melakukan evaluasi.
"Evaluasi itu juga terkait dengan sejak awal para ulama ini punya agenda dalam konteks politik, memperjuangkan tata nilai. Bukan semata-mata terfokus atau bukan, terseret dalam politik praktis, perebutan kekuasaan, dah power sharing," kata Munarman.
Menurutnya, para ulama hanya ingin memperjuangkan keadilan masyarakat, khususnya umat Islam. Para ulama juga ingin membuktikan bahwa mereka memiliki semangat tata nilai antidiskriminasi, antikecurangan, dan antikezaliman.
"Kenapa kemarin kita ikut terlibat dalam kompetisi pemilu? Karena kita anggap pada waktu itu, dari kandidat yang ada, kita menyalurkan aspirasi untuk tegaknya keadilan itu kepada salah satu yang ikut kontestasi pemilu tersebut, jadi bukan soal booking. Kita lebih pada perjuangan tata nilainya," katanya menjelaskan.
Evaluasi juga dilakukan terhadap strategi umat ke depan, agar tata nilai keadilan dapat diimplementasikan dalam konteks sosial bangsa Indonesia. Apalagi, kata Munarman, para ulama memandang umat Islam telah menderita akibat ketidakadilan yang semakin mencuat.
Potensi membentuk parpol
Peneliti Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth menerangkan, terlihat ada agenda politik berbeda dari Prabowo dan ormas Islam pendukungnya. Hal tersebut mulai terlihat setelah mencuatnya wacana rekonsialisasi, dan pernyataan ormas Islam tersebut pasca-pertemuan Prabowo dan Jokowi.
Menurutnya, ormas Islam pendukung Prabowo hanya berharap menang karena mereka percaya Prabowo dapat mengimplementasikan agenda mereka. Namun jalan tersebut telah tertutup lantaran Prabowo harus gigit jari pasca-penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Begitu yang dicalonkan kalah, artinya ada jalan yang tertutup. Jadi saya pikir logis saja jika mereka tidak sejalan lagi, karena memang sejak awal sebenarnya ini sebuah peluang yang hanya ingin mereka coba," ungkap Adriana.
Bagi dia, pernyataan pentolan FPI yang menyebut umat Islam berada dalam satu komando di bawah Rizieq Syihab, menegaskan perbedaan agenda politik mereka dengan Prabowo. Karena itu, Adriana menilai Prabowo akan kesulitan bernegosiasi dengan ormas Islam tersebut, jika manuver Ketua Umum Partai Gerindra dianggap mengecewakan. Apalagi jika kubu Prabowo bergabung dengan pemerintah.
Menurutnya, ada dua kemungkinan arah politik berbeda yang dapat dihasilkan dalam Ijtima Ulama IV. Pertama, ormas Islam tersebut akan tetap berada di belakang Prabowo, dengan catatan Prabowo menjadi oposisi.
Jika Prabowo memilih bergabung dengan Jokowi, ormas Islam pengusung Ijtima Ulama diprediksi mencari jalan lain guna merealisasikan agenda mereka.
"Kalau agenda politik mereka berbeda dan harus menunggu peluang 5 tahun lagi, menurut saya ada kemungkinan ormas Islam juga memiliki opsi bahwa mereka akan membangun kekuatan sendiri. Misalnya membangun partai politik sendiri, tanpa harus kemudian ikut lagi dengan Gerindra atau PKS," katanya menerangkan.
Pada bagian ini, Adriana membuka kemungkinan timbulnya kegamangan dalam masyarakat. Parpol yang dibentuk, akan dicurigai melenceng dari Pancasila. Hal ini lantaran narasi yang mereka usung dinilai sebagian masyarakat bersifat provokatif.
"Kalau ormas Islam ini kemudian menjadi partai politik dengan ideologi antipancasila, menurut saya itu tidak bisa dibenarkan. Itu harus diperhatikan karena konteks demokrasi Indonesia tidak seperti itu. Karena dalam Islam sendiri pun demokrasi itu kompatibel dengan nilai-nilai Islam," ucapnya.
Adriana mengatakan potensi ini juga harus dilihat dan dikawal oleh pemerintah. Pemerintah harus tegas dalam menangkal atau menimbang potensi ini. Walau ada hak kebebasan berpendapat, pemerintah sebenarnya memiliki wewenang untuk memberikan batasan.
"Ini hak presiden untuk mengawasi. Semua dilakukan untuk memberikan kenyamanan bagi sebagian warga. Jadi kebebasan kelompok itu tidak boleh mengganggu kebebasan masyarakat secara luas," ujar dia.