Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah membagi rekonsiliasi politik yang terjadi tanah air menjadi tiga perspektif, yaitu politik, sosial dan ideologi.
Hal itu diterangkan Basarah saat menjadi salah satu pembicara dalam diskusi bertajuk 'Rekonsiliasi Nasional: Apa, Untuk Apa, dan Bagaimana?' yang diselenggarakan Center for Dialogue and Coperation Among Civilisations (CDCC) di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu (30/10).
"Rekonsiliasi merupakan suatu cara untuk memperbaiki hubungan dan seringkali eskalasi konflik muncul saat pelaksanaan pemilu," kata Basarah.
Rekonsiliasi bisa dilihat dari konteks sosial. Pada tataran ini rekonsiliasi terjadi karena ada konflik sosial di masyarakat. Konflik tersebut lahir lantaran mereka memilih pasangan calon (paslon) yang berbeda dan menimbulkan pertentangan.
Pertentangan tersebut bisa berdampak pada hubungan antara keluarga, perceraian suami istri dan sebagaimanya. Mereka hanya mendukung tanpa memiliki motif ekonomi, politik, dan ideologi.
"Sudah ada survei tentang ini. Tapi biasanya konflik semacam ini mudah selesai," kata dia.
Begitu pun juga dengan konflik yang memiliki alasan politik. Semuanya akan cepat selesai lantaran dalam tradisi politik Indonesia, terutama sejak pemilihan langsung sejatinya tidak mengenal sistem oposisi. Hal itu telah terlampir dalam perundang-undangan kalau Indonesia menganut demokrasi gotong-royong.
“Satu-satunya norma hukum yang membagi kekuatan partai politik dalam beberapa blok itu hanya pasal 6 a ayat 1 huruf dua UUD 45, di mana dikatakan calon presiden dan wakil presiden diusung partai politik atau gabungan partai politik sebelum pemilihan umum dimulai,” ujar dia.
Berangkat dari itu, sebetulnya sudah tidak ditemukan lagi regulasi yang mengatur eksistensi kelembagaan oposisi di tanah air.
“Oposisi dalam pengertian sikap kritis masyarakat dengan wewenang legislatif itu memang memiliki fungsi pengawasan, dalam arti mengkritisi melekat dalam setiap parpol,” sambung Basarah.
Jokowi tiru SBY
Ihwal rekonsiliasi yang dilakukan Jokowi kepada Prabowo Subianto tersebut bukan perilaku lama dalam dunia politik Indonesia. Hal tersebut sebelumnya sudah dilakukan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menggandeng oposisi masuk ke pemerintahan. Sejak saat itu, sistem politik demokrasi ditampilkan, sehingga masyarakat tidak mengenal oposisi maupun koalisi.
Partai yang tidak mendukung SBY, diajak bergabung begitu pemilu selesai. Semuanya bersatu dalam bingkai pemerintahan.
“Jadi sebenarnya Pak Jokowi ini meniru praktik Pak SBY. Ketika Pemilu 2014, Golkar bergabung, PPP bergabung. Satu hal yang lumrah dalam tradisi politik,” ujar Basarah.
Situasi ini kadang membuat para pendukung kecele. Tetapi hikmah dari bergabungnya Prabowo, adalah memberikan pelajaran bahwa seyogianya pemilu bukan sarana untuk membelah masyarakat, tetapi hanya sekadar kontestasi.
Lebih jauh, Basarah berharap keadaan ini dijadikan pembelajaran berdemokrasi bagi masyarakat. Masyarakat hendaknya tidak menjadikan kompetisi dalam pemilu sebagai pematik permusuhan secara permanen.