Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga saat ini belum menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tetang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) menilai Jokowi tidak memiliki sopan santun dalam proses demokrasi bernegara termasuk dalam pembuatan kebijakan.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Feri Amsari mengatakan, pernyataan Jokowi yang menekankan sikap santun dalam ketatanegaraan, justru membuatnya menjilat ludah sendiri. Hal ini terlihat ketika Jokowi tidak mengikutsertakan partisipasi publik dalam membahas revisi UU KPK dengan anggota DPR RI.
“Adab sopan santun itu bisa dilihat dari partisipasi publik yang dilibatkan,” kata Feri di Jakarta, Minggu (3/11).
Tidak terlihatnya partisipasi masyarakat dalam membahas regulasi bukan hanya terjadi pada kasus UU KPK saja. Feri juga menyorot proses pembahasan regulasi-regulasi lain seperti Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang tidak melibatkan para stakeholder, masyarakat, bahkan anggota DPR RI sendiri.
Jokowi juga disebut tak memiliki adab sopan santun saat menyetujui pengesahan regulasi di DPR RI, padahal keputusan itu diambil ketika jumlah anggota DPR yang hadir tidak memenuhi kuorum.
"Apakah presiden dianggap sopan ikut menyetujui UU yang dalam pengesahannya tidak dihadiri secara kuorum oleh DPR?” kata dia.
Lebih jauh, ia mempertanyakan adab kesopanan Jokowi saat hendak memutuskan kepastian penerbitan Perppu KPK kepada tokoh-tokoh senior dari berbagai elemen yang sempat diundang ke Istana Negara. Saat itu, Jokowi mengundang para tokoh senior untuk membahas pertimbangan dikeluarkannya Perppu dan berjanji akan menginformasikan kembali keputusan yang ia pilih.
"Sampai hari ini tidak dikasih tahu. Disampaikan hanya melalui media, kan adabnya adalah undang lagi itu orang-orang atau tokoh senior. 'Ibu Bapak sekalian mari kita makan bakso lagi, kita diskusi soal perppu',” kata dia.
Untuk diketahui, sebelumnya, Presiden Jokowi mengatakan tidak akan menerbitkan Perppu lantaran ada gugatan uji materi yang tengah berproses. Untuk itu, Jokowi meminta pihak yang mendesak dikeluarkannya Perppu KPK agar menghormati proses yang tengah berjalan terlebih dahulu.
"Jangan ada, orang yang masih proses uji materi, kemudian langsung ditimpa dengan sebuah keputusan yang lain (terbitkan Perppu)," papar Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (1/11).
Jokowi menyebut, dalam bernegara maupun bermasyarakat, harus saling menghargai satu dengan lainnya. Semua pihak harus tahu sopan santun dalam bertata negara.
Uji Materi
Dalam kesempatan yang sama, Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menegaskan, penerbitan Perppu KPK tidak akan mengganggu sembilan hakim Mahkama Konstitusi (MK) yang tengah memproses uji materi mengenai UU 19/2019 mengenai perubahan UU 30 /2002 tentang KPK.
Menurut Bivitri, dikeluarkannya Perppu merupakan kebijakan hukum yang berada di luar kewenangan MK. Semuanya penuh menjadi kewenangan Jokowi sebagai presiden.
"Saya yakin seribu persen, sembilan hakim MK tidak akan tersinggung kalau Perppu dikeluarkan. Karena sembilan hakim itu paham betul yang mau dikeluarkan itu kalau misalnya Perppu adalah kebijakan hukum. Sementara MK berbicara soal inkonstitusionalitas dari pasal-pasal. Jadi mau jaga kesopanan apa?" kata dia.
Ia juga mengatakan, Perppu KPK ini nyatanya bisa dikeluarkan kapanpun oleh Presiden Jokowi, dan tidak tergantung dengan proses gugatan masyarakat yang saat ini tengah berlangsung di MK. Ia memberikan perbandingan tesis saat dikeluarkannya Perppu Organisasi Masyarakat (Ormas).
Perppu Ormas tersebut seharusnya bisa dijadikan perbandingan oleh Jokowi. Perppu keluar bahkan lima tahun setelah Undang-Undang (UU) Ormas diundangkan.
"Karena itu saya argumentasi presiden yang tidak mengeluarkan Perppu karena ingin menunggu proses di MK, saya pikir adalah keliru, menyesatkan, dan mengada-ada," tegas dia.
Lebih jauh, Bivitri menuturkan, pernyataan Jokowi juga merupakan indikasi kuat bahwa kepala negara tidak mendukung pemberantasan korupsi. Hal ini telah nampak ketika Jokowi mengeluarkan surat presiden (surpres) R-42/Pres/09/2019 kepada DPRRI guna membahas revisi UU KPK.
Padahal, saat itu ribuan guru besar dan dosen di seluruh kampus di Indonesia telah mengingatkan bahwa hal itu adalah sebuah kekeliruan. Oleh karena itu, kata dia, Jokowi jelas memang mau KPK dilemahkan.