close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Tatib DPD dinilai menjegal peluang Hemas untuk menjadi pimpinan DPD. Alinea.id/Dwi Setiawan.
icon caption
Tatib DPD dinilai menjegal peluang Hemas untuk menjadi pimpinan DPD. Alinea.id/Dwi Setiawan.
Politik
Kamis, 26 September 2019 21:19

Akal bulus kubu OSO jegal Hemas lewat Tatib DPD

Tatib DPD yang baru dinilai sejumlah pihak cacat prosedural.
swipe

Pada 18 September 2019, sidang paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ke-2 masa sidang V tahun 2018-2019 yang dipimpin Wakil Ketua DPD Akhmad Muqowam, diwarnai interupsi dari beberapa anggota DPD. Pemantiknya, secara tiba-tiba ada agenda pengesahan Tata Tertib (Tatib) DPD periode 2019-2024.

Tak hanya interupsi, aksi saling dorong kubu Oesman Sapta Odang atau akrab disapa OSO dan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas pun terjadi, setelah protes anggota DPD Nurmawati Dewi Bantilan yang maju ke mimbar pimpinan sidang, tak digubris.

Bahkan, saat itu nyaris terjadi baku hantam antara anggota DPD Benny Rhamdani dan Syafrudin Atasoge, yang silang pendapat soal pengesahan tatib DPD.

Agenda pengesahan tatib itu membuat senator dari kubu Hemas geram. Alasannya, pengesahan tatib tak tercantum di dalam surat undangan.

Apalagi, rencana perubahan Peraturan DPD RI Nomor 3 Tahun 2018 tentang Tata Tertib itu tak disetujui kelompok Hemas karena di dalamnya terdapat poin yang berpotensi menjegal istri Sultan Hamengkubuwono X itu kembali menjadi pimpinan DPD.

Di dalam DPD, kekuatan terbelah dua. Ada konflik antara kubu OSO dan Hemas tak lama sejak posisi Irman Gusman sebagai Ketua DPD dicopot karena terjerat kasus korupsi pada 2016. Saat itu, kursi nomor satu di DPD dipegang Mohammad Saleh. Ia memimpin tak lama. Pada 4 April 2017, OSO terpilih secara aklamasi menjadi Ketua DPD.

Akan tetapi, Hemas dan Farouk Muhammad tak terima terpilihnya OSO. Hemas menilai, terpilihnya OSO cacat hukum. Pada Desember 2018, Badan Kehormatan (BK) DPD memberhentikan sementara Hemas dari DPD karena dianggap mangkir sidang sebanyak 12 kali.

Hemas memandang, pemberhentian sementara itu tak tepat karena seharusnya yang jadi rujukan adalah Pasal 313 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), bukan Pasal 307. Pasal 313 menyebut, anggota DPD diberhentikan sementara jika jadi terdakwa perkara tindak pidana umum, yang diancam pidana paling singkat lima tahun.

Gusti Kanjeng Ratu Hemas di ruang sidang DPD, Jakarta. /facebook.com/ratuhemas

Usaha menjegal Hemas

"Tatib ini soalnya cacat prosedur. Mana panmus-nya (panitia musyawarah). Ini tak sesuai prosedur. Ini tidak sah," ujar anggota DPD yang mewakili Provinsi Sulawesi Tengah, Nurmawati Dewi Bantilan saat dihubungi Alinea.id, Senin (23/9).

Seharusnya, kata Nurmawati, pembahasan tatib harus melalui pansus, yang dimusyawarahkan terlebih dahulu oleh anggota DPD, bukan melalui tim kerja BK. Setelah itu pansus bekerja, dan ada panitia perancang undang-undang.

"Jadi, mestinya pansus, bukan timja (tim kerja)," kata dia.

Nurmawati mengungkapkan, pembahasan tatib seperti ditutup-tutupi. Sebab, banyak anggota DPD yang tak dilibatkan dalam pembahasan revisi tatib. Kata dia, ada dua gelombang pertemuan, di Batam dan Banten.

“Yang diundang hanya orang yang terpilih, yang dekat dengan kubu mereka (kelompok OSO),” ujarnya.

Nurmawati mengatakan, setidaknya ada dua poin di dalam tatib terbaru, yang potensial menjegal Hemas untuk menjadi pimpinan DPD. Pertama, ada ketentuan baru yang menyebut, untuk menjadi pimpinan DPD mesti melalui masing-masing subwilayah, yakni wilayah timur I, timur II, barat I, dan barat II. Hal ini diatur di dalam Pasal 54.

"Ini beda dengan dulu, yang hanya meliputi barat, tengah, dan timur. Jika ini dilakukan, maka pimpinan DPD bukan dipilih oleh sebagian perwakilan daerah, tapi hanya subwilayah," katanya.

Dari empat wilayah tersebut, tak diberi ketentuan dengan jelas daerah mana saja yang tergambar di tatib. Nurmawati khawatir, celah ini bakal diatur semaunya oleh kubu OSO. Selain itu, bila orang yang lolos dari gugus hanya empat, maka otomatis orang itu akan menjadi alat kelengkapan dewan.

Menurut Nurmawati, artinya pimpinan DPD hanya dipilih oleh gugus, bukan anggota DPD di seluruh Indonesia. “Itu tidak benar,” ucapnya.

Kedua, terdapat ketentuan bahwa pencalonan pimpinan DPD yang tak memperbolehkan orang yang pernah disanksi BK untuk menjadi alat kelengkapan dewan. Hal ini diatur di dalam Pasal 55.

"Itu merupakan langkah yang sudah jelas untuk menjegal Ratu Hemas," ujarnya.

Ia melihat, perubahan tatib ini merupakan agenda gelap OSO untuk meloloskan Nono Sampono sebagai alat kelengkapan dewan. Menurut Nurmawati, kubu OSO takut Nono tak terpilih kalau bertarung secara nasional dengan Hemas.

"Karenanya dibagi zona menjadi 4. Agar Nono bisa menjadi alat kelengkapan dewan hanya dengan lolos dari gugus yang memang menjanjikan baginya, seperti Papua, Maluku, dan NTT," ujarnya.

Hal serupa disampaikan senator Provinsi Riau Intsiawati Ayus. “Secara tiba-tiba mereka mendesak tatib segera disahkan, tanpa membuka perdebatan dengan para anggota,” kata Intsiawati saat ditemui di Gedung DPD RI, Jakarta, Rabu (18/9).

Anggota DPD Asri Anas pun memandang, kubu OSO banyak menabrak aturan di dalam mengubah tatib. Anggota DPD asal Sulawesi Barat itu menyebut, kubu OSO sudah mempersiapkan strategi menjegal Hemas sejak lama.

"Itu bisa dilihat dari bagaimana cara OSO menyusun ketentuan, orang yang pernah dihukum BK tak dapat maju sebagai pimpinan DPD,” kata dia saat ditemui di Gedung DPD RI, Jakarta, Selasa (24/9).

Menurutnya, aturan di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) tidak seperti itu. Anas mengatakan, BK tak berhak menggugurkan hak anggota DPD untuk menjadi alat kelengkapan DPD. Alasannya, UU MD3 sudah mengatur orang yang punya hukum tetap dan dijatuhi sanksi melalui keputusan presiden yang tak diperkenankan menjadi pimpinan DPD.

"Pasal 55 ayat 1 huruf b di tatib kan menyebutkan tentang syarat pencalonan bahwa pimpinan DPD itu adalah yang tak pernah dihukum oleh Badan Kehormatan. Lho apa kewenangannya memasukkan pasal itu? Alat kelengkapan kan sudah ada syaratnya di UU 17 (MD3)," ujarnya.

Anas menuturkan, proses perubahan Tatib DPD juga serampangan karena cenderung dipaksa, meski melanggar Pasal 334, yang mengatur penggantian tatib mesti melalui usul panmus.

"Nah, sedangkan dalam rapat panmus sendiri banyak anggota yang juga mempertanyakan legalitas dilakukannya perubahan tatib ini," ujar Anas.

Di samping panmus, Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) yang tugasnya melakukan harmonisasi rancangan tatib pun, kata dia, sebenarnya menolak ketika diminta BK mengharmonisasi tatib hasil garapan BK. Menurut Anas, PPUU menganggap proses pembentukan tatib melanggar peraturan DPD.

"Makanya PPUU tak mau mengharmonisasi," tuturnya.

Anas pun menganggap BK tak punya wewenang melakukan perubahan tatib karena tugasnya hanya sebatas melakukan harmonisasi di tataran redaksional.

“Bukan substansi,” katanya. “Penggantian tatib mestinya dibahas setelah anggota baru dilantik.”

Sudah sesuai aturan

Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Oesman Sapta Odang memberikan paparan dalam acara Dialog Refleksi Akhir Masa Jabatan Anggota MPR, DPR, dan DPD Republik Indonesia di kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (10/9). /Antara Foto.

Sementara itu, anggota DPD kubu OSO Benny Rhamdani merasa, pendapat kubu Hemas merupakan wujud memutarbalikan fakta. Sebab, kata dia, pendapat kubu Hemas yang mengatakan perubahan tatib harus dibahas setelah anggota baru dilantik, pernah dilanggar sendiri saat awal periode DPD 2014-2019.

“Saat itu, Ratu Hemas dan kelompoknya justru melakukan perubahan tatib sebelum DPD baru dilantik. Jadi, perubahan tatib dilakukan anggota yang lama, itu hal yang biasa," katanya saat dihubungi, Selasa (24/9).

Benny juga menepis tudingan bila pihaknya diam-diam dalam melakukan perubahan tatib. Ia mengatakan, pihak Hemas sudah dilibatkan, bahkan ikut menyumbangkan ide.

"Yang kemarin ribut, seperti Anna Latuconsina dan Denty Eka Widi Pratiwi yang berafiliasi dengan Hemas, mereka hadir saat pembahasan tatib dengan BK. Bahkan, menyampaikan pandangannya sampai berdebat," ujarnya.

Senator dari Sulawesi Utara itu pun menepis tudingan Asri Anas yang mengatakan kelompok Hemas tak dilibatkan dalam pembahasan perubahan tatib. Menurut Benny, Anas yang tak pernah datang saat diundang membahas perubahan tatib.

"Itu karena dia memang agak malas orangnya. Kebanyakan main ‘proyek’," ucapnya.

Namun, saat Alinea.id mencari tahu siapa saja yang terlibat ketika pembahasan tatib di BK DPD, pihak BK tak mau memperlihatkan daftar absen. Bahkan, menurut seorang pegawai BK, Ketua BK Mervin Komber menginstruksikan agar daftar absen itu tak boleh diperlihatkan pihak luar.

“Pak Mervin bilang melalui telepon bahwa daftar itu tak boleh diketahui pihak luar,” ujar salah seorang pegawai BK yang tak mau disebutkan namanya di Gedung DPD, Jakarta, Rabu (25/9).

Lebih lanjut, terkait pembahasan tatib di BK, Benny menolak hal itu menyalahi aturan. Ia berdalih, ada dua ketentuan untuk merevisi tatib, yakni bisa melalui pansus dan bisa lewat tim kerja BK.

"Jika hanya BK yang mengusulkan, bisa sendiri. Maka, ketika pemimpin meminta BK untuk membahas, BK cukup membentuk apa yang disebut timja," ujar dia.

Benny tak terima jika OSO disebut sedang berusaha menjegal Hemas, dan memuluskan jalan Nono Sampono, dengan muslihat membagi wilayah pemilihan menjadi empat gugus. Ia beralasan, pembagian wilayah itu untuk memberikan ruang bagi lahirnya calon-calon yang ikut dalam kontestasi.

"Dan tak melulu dikuasai oleh kelompok yang selama ini merasa memiliki status quo menguasai DPD," katanya.

Benny juga menegaskan, ketentuan syarat pencalonan pimpinan DPD yang harus bersih dari sanksi BK bukan strategi menjegal Hemas. Sebab, kata Benny, bukan cuma Hemas yang tak bisa maju.

Benny menyebut, ada nama Jefri Jauhari yang tak bisa maju karena pernah kena sanksi dan diberhentikan. Ada pula nama Maimunah, yang pernah kena sanksi BK.

“Bahkan, saya sendiri Benny Rhamdani juga tak bisa karena pernah punya masalah yang berurusan dengan tatib,” ujarnya.

Ia merasa, semua tuduhan kecurangan yang dilontarkan kubu Hemas terkait perubahan tatib, sekadar mencari simpati para anggota baru, agar bisa berkuasa di DPD. Alasannya, sebut Benny, kekuatan kubu Hemas kini sudah tak sebesar dahulu.

"Mereka kaum penikmat sejak DPD lahir menjadi lembaga politik. Mereka saat ini terusik. Makanya mengeluarkan pernyataan demikian. Padahal, DPR dan MPR saja telah melakukan perubahan tatib secara internal," katanya.

Alinea.id sudah berusaha mengonfirmasi OSO dan Hemas terkait konflik di DPD. Akan tetapi, keduanya tak merespons pesan pendek dan telepon.

Ketua DPD Oesman Sapta Odang (ketiga kiri) bersama Ketua DPR Bambang Soesatyo (kedua kiri) memimpin Sidang Bersama DPD-DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8). /Antara Foto.

Konflik kepentingan turunkan kinerja

Dihubungi terpisah, peneliti dari Forum Masyarakat Pedulu Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus memandang, tatib baru yang disahkan DPD memang cacat secara prosedural. Ia mengatakan, tatib ini berpotensi menyabotase hak orang lain menjadi pimpinan DPD.

"Prosesnya tak terbuka ke anggota DPD yang lain. Persyaratan-persyaratan untuk menjadi pimpinan DPD memang kelihatan tendensius karena mengabaikan syarat keterwakilan perempuan," ujarnya saat dihubungi, Selasa (24/9).

Ia melihat, langkah senyap dalam merumuskan pasal-pasal di tatib DPD sudah membuktikan ada “penyelundupan” hukum untuk melanggengkan kepentingan kelompok tertentu di DPD, yang memang ingin berkuasa mutlak atas lembaga perwakilan daerah itu.

"Dengan cara-cara aneh seperti ini, sulit sekali kita memberikan apresiasi kepada DPD 2014-2019, khususnya era kepemimpinan paruh kedua," ujar Lucius.

Selain itu, ia memandang, konflik kepentingan ini bakal membuat orang tambah tak simpati terhadap DPD karena makin kentara sifat arogannya. Menurutnya, arogansi sebagian elite di lembaga ini bakal akan mengerdilkan DPD.

“Yang memang sudah kerdil secara kelembagaan,” ucapnya.

Sementara itu, peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Lucky Sandra Amelia menilai, polemik Tatib DPD berpotensi mewarisi konflik ke anggota yang baru. Maka, eksesnya bisa menurukan kinerja DPD, yang selama ini memang sudah minim sumbangsih terhadap pembangunan daerah.

"Coba tanya ke pemerintah daerah, ada enggak perannya perwakilan daerah buat daerah? Jawabannya pasti enggak ada," ujar Lucky saat dihubungi, Selasa (24/9).

Sandra mengatakan, lebih baik para senator di DPD memperkuat lembaga tempat mereka bernaung untuk percepatan pembangunan daerah daripada memperebutkan kursi pimpinan. Sebab, kata dia, DPD perannya belum terlalu terlihat sejak lahir pascareformasi.

Di DPD terdapat dua kubu yang berseteru. Alinea.id/Dwi Setiawan.

Senada dengan Sandra, peneliti senior Pusat Penelitian Politik LIPI Siti Zuhro mendesak DPD kembali ke jalurnya sebagai lembaga perwakilan daerah dan golongan, seperti saat awal berdiri. Siti menyebut, anggota DPD harus kembali ke semangat membangun daerah, dan tak hanya sibuk membangun friksi.

"DPD pada tahun 2004 itu tidak pernah kita mendengarkan hiruk-pikuk hanya karena tatib dan sebagainya. Semenjak partai ikut pada 2014 itu baru mulai kencang,” kata Siti saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (25/9).

Siti menyarankan, anggota DPD baru untuk responsif atas tatib yang baru disahkan. Jika tidak, kata Siti, mereka bakal terjebak di dalam pusaran konflik yang justru membuat mereka “mandul” di DPD. Menurut Siti, dengan respons cepat, anggota baru bisa memutus mata rantai konflik yang terjadi.

"Intinya tatib ini tidak boleh dibuat hanya untuk segelintir pihak karena merupakan rujukan untuk semua, bukan kepentingan kelompok tertentu. Bagaimana pun senator baru harus ambil sikap," ujarnya.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan