close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sejak Agustus 2019, lima ketua umum partai politik terpilih secara aklamasi. Ilustrasi Alinea.id/Dwi Setiawan
icon caption
Sejak Agustus 2019, lima ketua umum partai politik terpilih secara aklamasi. Ilustrasi Alinea.id/Dwi Setiawan
Politik
Rabu, 15 Januari 2020 06:15

Aklamasi Mega cs: Potret matinya kompetisi dan mandeknya regenerasi

Dalam enam bulan terakhir, lima ketua umum partai politik terpilih secara aklamasi.
swipe

Dua puluh tahun sudah Megawati Soekarnoputri 'menguasai' Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P). Sejak didirikan pada 1999, partai berlambang banteng moncong putih tersebut tak pernah lepas dari genggaman putri sulung Sukarno itu. 

Pada Agustus 2019, Mega, sapaan akrab Megawati, kembali didapuk memimpin PDI-P. Dalam Kongres V PDI-P yang dihelat di Denpasar, Bali, Megawati dipilih sebagai ketum secara aklamasi oleh semua utusan DPD dan DPC PDI-P. 

Ketika itu, Mega bahkan tak perlu repot-repot memberikan laporan pertanggungjawaban sebagai ketum. "Ternyata tidak perlu karena seluruh utusan menyatakan diterima secara aklamasi dan diketok," ujar perempuan berusia 72 tahun itu dalam pidato pengukuhan. 

Mega memang tak pernah punya saingan di PDI-P. Jika dirunut, setidaknya sudah empat kali mantan Presiden ke-5 RI itu dipilih secara aklamasi sebagai Ketum PDI-P. Aklamasi seolah sudah menjadi hal yang lumrah di tubuh partai yang identik dengan warna merah itu. 

Belakangan, model pemilihan secara aklamasi juga ngetren di parpol-parpol lainnya. Sekira dua pekan setelah Mega terpilih, Muhaimin Iskandar kembali didapuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai ketum dalam Muktamar V PKB di Badung, Bali. 

Di muktamar itu, Cak Imin, sapaan akrab Muhaimin, muncul sebagai satu-satunya caketum. Oleh para kader PKB yang hadir dalam muktamar, Cak Imin juga diberi kewenangan untuk menjadi formatur tunggal kepengurusan baru partai. 

Selain di PDI-P dan PKB, model pemilihan ketum secara aklamasi juga terjadi di NasDem, Golkar dan Hanura. Di NasDem, Surya Paloh didaulat melanjutkan kepemimpinannya pada Kongres II NasDem di Jakarta, November 2019.

Pada penghujung 2019, giliran Airlangga Hartarto di Golkar dan Oesman Sapta Odang (OSO) di Hanura didaulat menjadi penguasa parpol secara aklamasi. Khusus untuk Golkar, kompetisi sempat terjadi. Namun, pada detik-detik akhir, semua pesaing Airlangga 'menyingkir' dan tersingkir.

"Jangan salah kita menafsirkan kata aklamasi. Aklamasi itu adalah hasil akhir ketika sebuah kompetisi politik memunculkan cuma satu calon dan ditetapkan sebagai yang terpilih. Enggak usah ditakutkan," ujar politikus Golkar Ahmad Doli Kurnia di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa, 3 Desember 2019. 

Megawati Soekarnoputri kembali terpilih sebagai Ketum PDI-P dalam Kongres V PDI-P di Bali, Agustus lalu. /Antara Foto

Faktor duit dan ketokohan

Meski masing-masing parpol memiliki cerita berbeda dalam pemilihan ketum, menurut Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor, aklamasi mengindikasikan praktik-praktik demokratis yang tersumbat di internal parpol. 

Menyinggung kajian LIPI tentang perilaku parpol pada 2018, Firman mengatakan, model pemilihan ketum secara aklamasi menunjukkan kuatnya cengkeraman oligarki dan pemodal di parpol. 

"Faktor keuangan pun masih menjadi penentu. Pasalnya, elite partai ini biasanya adalah elite yang mampu memanfaatkan keuangannya atau pun jaringannya untuk menghasilkan uang untuk tetap berkuasa di partai itu," ujarnya kepada Alinea.id, Jumat (10/1).

Selain duit, faktor ketokohan turut menjadi penyebab aklamasi mewabah di parpol. "Mungkin karena faktor historis sehingga mereka (para calon petahana) punya tempat yang belum bisa tergantikan," kata dia. 

Berdasarkan kajian LIPI, menurut Firman, parpol terbagi dua. Pertama, kelompok parpol yang tergolong demokratis dan membuka peluang bagi kader potensial. Kedua, kelompok parpol yang kurang demokratis dan menutup peluang bagi kader potensial untuk bersinar. 

Partai Demokrat, Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN) masuk dalam kelompok pertama. Gerindra dan PDI-P masuk dalam kelompok terakhir. 

"Sebab di Gerindra dan PDI-P itu semuanya tergantung Prabowo dan Megawati sebagai ketua umum yang sangat powerful di partainya masing-masing," ujar Firman. 

Meskipun Airlangga terpilih secara aklamasi, menurut Firman, Golkar masih tergolong demokratis. "Pasalnya, ketua umum tak terlalu menentukan di partai beringin ini," jelas dia. 

Dalam jangka panjang, Firman berpandangan, pemilihan ketum secara aklamasi bakal berdampak buruk bagi sebuah partai. Selain menghambat regenerasi kader, model aklamasi juga potensial memecah belah parpol di kemudian hari. 

"Setelah tokohnya tidak ada, bisa jadi bakal ada persaingan di generasi selanjutnya. Bakal muncul faksionalisasi yang bisa berakhir pada fragmentasi," kata dia. 

Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Oesman Sapta Odang berpidato dalam musyawarah nasional (Munas) Hanura di Jakarta, Selasa (17/12/2019) malam. /Antara Foto

Kajian LIPI soal kuasa pemodal di parpol itu dibenarkan Ketua DPP Hanura Inas Nasrullah. Menurut Inas, wajar jika caketum berduit kerap terpilih. Pasalnya, butuh dana yang besar untuk mengelola sebuah partai.

Ia pun tak menyangkal bila terpilihnya OSO sebagai Ketum Hanura tak lepas dari beragam sumber daya yang dimiliki mantan pimpinan MPR tersebut, temasuk di antaranya kekuatan duit OSO. 

"Sebab DPP Hanura tak punya pilihan lain selain OSO. Siapa yang bisa membiayai partai? Perlu dicatat, mengurus sebuah partai itu membutuhkan dana yang tak kecil," ujarnya kepada Alinea.id, Jumat (10/1).

Beda dengan Wiranto, menurut Inas, OSO terbilang ketum yang "royal" terhadap semua kader. "Kalau Wiranto, mohon maaf aja, ya. Dia itu kelompoknya aja yang diurus. Jadi, dia berpihak sama gengnya aja," ujarnya. 

Terpisah, politikus Gerindra Andre Rosiade membantah kajian LIPI yang menyebut Gerindra tak demokratis. Sebagai bahan argumentasi, ia mencontohkan mekanisme menjaring calon kepala daerah yang dijalankan parpolnya. 

"Rekrutmen kepala daerah kami lakukan secara transparan dan berjenjang, dari DPC, DPD, dan DPP. Ada pemaparan visi-misi. Lalu setelah itu kami lakukan survei. Setelah survei, hasilnya kami kirimkan ke DPP agar tim pilkada DPP Gerindra mengambil keputusan sesuai mekanisme," ujarnya kepada Alinea.id, Sabtu (11/1).

Namun demikian, Andre tak membantah jika keputusan akhir terkait pencalonan ada di tangan Ketum Gerindra Prabowo Subianto. "Ya, kami memprioritaskan kader kami yang maju menjadi calon kepala daerah. Tapi, tentu yang mengambil keputusan final adalah Pak Prabowo," ujarnya.

Di Gerindra, Prabowo kini merangkap jabatan sebagai ketua dewan pembina dan ketum. Pada 2014, Prabowo didapuk sebagai ketum secara aklamasi lewat kongres luar biasa (KLB). Mantan Danjen Kopassus itu menggantikan eks Ketum Gerindra Suhardi yang meninggal dunia. 

Hingga kini, Gerindra tak pernah menggelar kongres lagi untuk memilih ketum. Padahal, sesuai anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) Gerindra, seharusnya kongres digelar lima tahun sekali. 

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto berpidato dalam pembukaan Munas Golkar di Jakarta, Desember 2019. /Antara Foto

Rusak iklim demokrasi internal parpol 

Peneliti Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS) Arya Fernandez menilai ada tiga faktor yang menyebabkan maraknya pemilihan ketum secara aklamasi. Pertama, tak adanya kompetitor yang kuat untuk melawan jawara partai.

"Misalnya dalam kasus di PDI-P, Gerindra, NasDem, dan Hanura. Jelas itu karena tak adanya kompetitor yang mampu bersaing dengan figur-figur seperti Megawati, Prabowo, Surya Paloh dan OSO," ujarnya kepada Alinea.id, Jumat (10/1).

Kedua, figur-figur sentral di parpol terlalu kuat sehingga kader lain tak tak punya nyali bersaing secara terbuka. Terakhir, lanjut Arya, tak terbentuknya faksi-faksi di internal partai. 

Namun demikian, faktor-faktor itu tak berlaku di Golkar. Biarpun Airlangga terpilih secara aklamasi, Arya  mengatakan, pertarungan antara calon ketua umum terjadi di Golkar. Hanya saja, kompetisi tersebut dimandulkan oleh bagi-bagi kekuasaan. 

"Kesepakatan antara Bamsoet (Bambang Soesatyo) dan Airlangga kan diakhiri dengan pembagian posisi. Bamsoet menjadi Ketua MPR dan Airlangga menjadi Ketua Umum Golkar. Sebenarnya ini potret kurang baik untuk Golkar. Sebab, sudah sejak lama Golkar itu sudah menunjukkan ke publik bahwa mereka merawat kompetisi," tutur dia. 

Lebih jauh, Arya mengatakan, model pemilihan ketum secara aklamasi bakal berekses buruk terhadap iklim demokrasi di internal parpol. "Gawatnya nanti kebijakan internal itu tak melewati proses yang melibatkan partisipasi banyak orang. Ya, karena itu tadi, figurnya terlalu mendominasi," ujarnya.

Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menengarai pemilihan ketum secara aklamasi yang mewabah di sejumlah parpol bukan murni keinginan para kader. Menurut dia, model tersebut dikondisikan kelompok oligarki di parpol.

"Aklamasi yang terjadi lebih banyak merupakan design terencana demi melanggengkan kekuasaan ketum. Padahal, kalau mau jujur, aklamasi itu mengabaikan prinsip utama demokrasi yakni partisipasi yang setara antarkader untuk mencalonkan diri sebagai ketua umum," ucapnya.

Meskipun tak berduit, menurut Lucius, bisa saja seorang calon mulus dipilih menjadi ketum. Salah satu cara yang bisa dipakai untuk mengumpulkan modal ialah dengan membangun kesepakatan dengan para taipan.

"Sebagai imbalannya, nanti mereka (taipan) bisa duduk di lingkaran utama kekuasaan partai. Dengan uang, suara kader pun bisa diarahkan untuk memilih ketum tertentu," ujarnya.

Aklamasi semacam itu, lanjut Lucius, potensial membuat arah kebijakan parpol kian tidak jelas dan melanggengkan oligarki. "Bila sudah begitu, lingkaran oligarki parpol tak hanya bertumpu pada garis kekeluargaan, tetapi juga garis pemodal partai," imbuhnya. 


 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Berita Terkait

Bagikan :
×
cari
bagikan