close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Sukarno dan Jokowi. Alinea.id/Muji Prayitno.
icon caption
Ilustrasi Sukarno dan Jokowi. Alinea.id/Muji Prayitno.
Politik
Rabu, 25 Agustus 2021 12:55

Ambisi politik atas nama Sukarno di era Jokowi

"Sukarno" mewujud dalam banyak hal pada masa pemerintahan Joko Widodo alias Jokowi.
swipe

Mengenakan pakaian adat Sasak, Nusa Tenggara Barat, Presiden Joko Widodo membacakan pidato kenegaraan di Gedung DPR/DPD/MPR Senayan, Jakarta Pusat. Hari itu, Jumat, 16 Agustus 2019, suasana sidang bergemuruh ketika Presiden meminta izin dewan memindahkan ibu kota.

"Pada kesempatan yang bersejarah ini, dengan memohon ridha Allah SWT, dengan meminta izin dan dukungan dari bapak ibu anggota Dewan yang terhormat, para sesepuh dan tokoh bangsa, terutama dari seluruh rakyat Indonesia, dengan ini saya mohon izin untuk memindahkan ibu kota negara kita ke Pulau Kalimantan," ujar Jokowi. 

Mantan Wali Kota Solo itu diagendakan membacakan tiga kali pidato, yaitu pidato sidang tahunan, pidato kenegaraan, dan pidato nota keuangan. Rencana memindahkan ibu kota disampaikan saat pidato kenegaraan. Jokowi belum menyebut lokasi pengganti Jakarta saat itu. 

Bukan hanya mengundang tepuk tangan, menurut sumber Alinea.id di Istana Kepresidenan, pernyataan Jokowi itu membuat sebagian para penulis pidato kebingungan. Para penyusun naskah pidato ini masih ingat kalau mereka tidak menuliskan rencana pemindahan ibu kota.



Wujud “Sukarno”

Pada 1957, Sukarno pernah merencanakan membangun Palangka Raya, Kalimantan Tengah, sebagai ibu kota negara. Namun, rencana itu ia batalkan sendiri dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1964 tentang Pernyataan DKI Jakarta Raya tetap sebagai Ibu Kota Negara RI dengan Nama Jakarta.

Seperti ingin mewujudkan wacana Sukarno yang batal, pada 2017 Jokowi pernah merencanakan pemindahan ibu kota ke Palangka Raya. Eks Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) (2016-2019) Bambang Brodjonegoro mengaku, ide pemindahan ibu kota itu sudah ada sejak 2016.

Kemudian, pada 2018 Bambang mendapat instruksi membuat kajian pemindahan ibu kota. Ia mengungkap beberapa alasan pemindahan.

“Konsentrasi ekonomi di Jakarta sangat tinggi, berbagai potensi bencana juga bisa terjadi di Jakarta, dan pengembangan pusat pertumbuhan baru di luar Jawa,” ucap Bambang ketika dihubungi, Minggu (22/8).

Dalam konferensi pers di Istana Negara, Jakarta pada Senin (26/8/2019), Presiden Jokowi akhirnya mengungkapkan ibu kota akan dipindah ke Kalimantan Timur, tepatnya di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, bukan ke Palangka Raya. Namun, rencana itu tak pernah disinggung lagi, sejak pandemi Covid-19 tahun lalu.

Megawati Soekarnoputri berpidato dalam acara Penganugerahaan Kehormatan Tokoh Pelopor Penguatan dan Modernisasi Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika yang diberikan kepada dirinya di Auditorium BMKG, Kemayoran, Jakarta, Senin (25/11/2019)./Foto BKKP Kemenristek/BRIN/AP/brin.go.id.

Selain pemindahan ibu kota, pemerintah juga membentuk Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Putri Bung Karno, yakni Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri pun ditetapkan menjadi Ketua Dewan Pengarah BRIN pada awal Mei 2021.

“Pembentukan BRIN merupakan salah satu capaian terbesar untuk mewujudkan cita-cita besar Bung Karno dan Bapak BJ Habibie dalam memperkuat riset dan inovasi sebagai salah satu pilar ekonomi bangsa,” kata Kepala BRIN Laksana Tri Handoko dalam acara Hari Kebangkitan Teknologi Nasional ke-26, yang disiarkan di YouTube BRIN Indonesia, Selasa (10/8).

Dalam keterangan tertulisnya pada Senin (3/5), Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, PDI-P mendukung penuh eksisnya BRIN. Menurutnya, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sudah menjadi prioritas sejak era Sukarno.

Sementara keberadaan BPIP yang bertujuan membumikan Pancasila, disebut-sebut sebagai perwujudan ide Sukarno pula. Sama seperti BRIN, Megawati pula yang menjadi Ketua Dewan Pengarah BPIP.

Anggota DPR dari fraksi PDI-P Andreas Hugo Pareira menilai, ide-ide Sukarno masih relevan untuk diimplementasikan dengan kondisi negara saat ini.

“Banyak sekali ide dan pemikiran besar dari founding father ini yang menjadi tugas kita sebagai generasi penerus untuk mengisi kemerdekaan dengan mewujudkan cita-citanya,” ucap Andreas, Minggu (22/8).

Bagi Andreas, implementasi gagasan Bung Karno menjadi suatu kewajiban karena menjadi tanggung jawab penerus bangsa untuk mewujudkan negara yang berdaulat, adil, dan makmur. Ia merasa, ide Sukarno dapat menjadi solusi atas segala permasalahan bangsa. Salah satunya Pancasila, yang menjadi ideologi negara.

“Namun untuk mewujudkan lima sila itu kan adalah perjalanan yang tanpa akhir,” kata dia.

Selain wacana pemindahan ibu kota, pembentukan BPIP, dan BRIN, Sukarno pun mewujud dalam patung-patung yang banyak berdiri di masa pemerintahan Jokowi. Lalu ada Nawacita, yang merupakan visi-misi pasangan Jokowi-Jusuf Kalla dalam Pemilu 2014.

Nawacita adalah perluasan dari gagasan Trisakti Bung Karno, yakni berdaulat secara politik, mandiri dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Kemudian gerakan revolusi mental, yang pernah dilontarkan Sukarno pada pidato 17 Agustus 1956.

Melenceng dan mendompleng?

Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto dan Presiden RI kelima Megawati Soekarnoputri (tengah) meresmikan patung Bung Karno di lapangan Bela Negara Kementerian Pertahanan, Jakarta, Minggu (6/6/2021)./Foto kemhan.go.id.

Akan tetapi, politikus PKS Bukhori Yusuf memandang, segala hal yang diklaim mewujudkan ide Sukarno adalah sebuah bentuk kegagalan dalam menafsirkan alam pikir sang proklamator.

“Saya kira ada terjadi disconnected ya. Apa yang diperjuangkan Bung Karno, bukan sebagaimana yang harus dilakukan,” tutur anggota Komisi VIII DPR itu, Senin (23/8).

Misinterpretasi itu, kata Bukhori, dilakukan penguasa untuk menjalankan kepentingan semata. Ia mencontohkan keberadaan BPIP. Menurut dia, Sukarno tak pernah ingin ada lembaga negara yang menaungi Pancasila.

Apalagi konsep lembaga itu mirip Badan Pembinaan, Pendidikan, Pelaksanaan, Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila (BP7) dan Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4), yang eksis di masa Orde Baru. BP7 dan P4 disebut Bukhori telah gagal lantaran tak membawa manfaat bagi bangsa karena kinerjanya terbatas imbas kekuatan politik rezim Orde Baru.

“Nah, di masa reformasi, nilai-nilai semacam butir Pancasila itu tak ada, maka dirindukan. Tapi salah merindukannya,” ucapnya.

“Harusnya itu adalah nilai pure-nya, bukan kelembagaannya.”

Bukhori bilang, kemunculan BPIP ketika dilandaskan sebuah keprihatinan, tidak salah. Namun, ketika BPIP diarahkan sebagai kekuatan politik tertentu, maka sama halnya dengan rezim Orde Baru.

“Di situlah tidak konsistennya gagasan Bung Karno,” katanya.

Wacana pemindahan ibu kota juga dinilai Bukhori tak membawa manfaat bagi bangsa. Menurutnya, para pemangku kepentingan perlu mempertimbangkan kembali rencana itu. Sebab, ekonomi negara amat terdampak pandemi Covid-19.

“Pemindahan ibu kota itu bukan suatu legacy yang kemudian harus diwujudkan,” tutur Bukhori.

Sedangkan mantan Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) (2015-2020) Anwar Abbas merasa, tak semua gagasan Bung Karno perlu diwujudkan. Eks salah satu Ketua PP Muhammadiyan (2015-2020) ini menilai, masih ada kekurangan dari sejumlah buah pikir Sukarno.

“Bagi saya, Sukarno punya pemikiran, tapi pemikirannya juga perlu dikritisi,” kata penulis buku Bung Hatta dan Ekonomi Islam (2010) itu saat dihubungi, Senin (23/8).

Sebagai seorang manusia, Anwar mengatakan, wajar bila pemikiran Sukarno masih punya kekurangan. Meski begitu, ia menyarankan agar ada ruang musyawarah dalam setiap rencana mengimplementasikan ide Bung Karno.

Sementara itu, sejarawan JJ Rizal menjelaskan, Bung Karno tak pernah lagi mewacanakan ide memindahkan ibu kota negara sejak Jakarta ditetapkan menjadi pusat pemerintahan pada 1964, melalui UU 1/1964.

“Kalau hari ini Sukarno dibawa-bawa untuk alasan pindah ibu kota, menurut saya itu justru bagian dari desukarnoisasi,” ujarnya, Selasa (24/8).

“Karena Sukarno itu tidak pernah membayangkan lagi pindah ibu kota, yang dibayangkan itu membuat megapolitan.”

Rizal mengatakan, adanya program negara berlandaskan ide Sukarno merupakan bentuk memanfaatkan figur Sukarno untuk tujuan politik tertentu. Jika diuji, Rizal yakin tujuan politik itu amat bertolak belakang dengan pikiran Sukarno.

Infografik Alinea.id/Muji Prayitno.

Semisal, Sukarno pernah membuat langkah politik pangan, dengan mempertahankan makanan daerah. Namun, pemerintah saat ini justru membuat program ketahanan pangan dengan membuka lahan di wilayah yang tak memiliki peradaban pertanian, seperti di Papua.

“Itu hutan sagunya dihabisi dan diganti menjadi food estate,” tuturnya.

“Itu kan bertolak belakang dengan bayangan Sukarno tentang bagaimana cara berdaulat pangan, yang harus dimulai dengan menghormati pangan lokal.”

Di samping kebijakan ketahanan pangan, Rizal juga menilai, praktik perekonomian yang dilakukan pemerintah di era Jokowi berbeda dengan masa Sukarno. Menurutnya, pemerintah cenderung menganut sistem ekonomi kapitalis, sedangkan Sukarno mempraktikan sosialisme Indonesia.

“Jadi yang ada bukan proyek perayaan Sukarno, tetapi bagaimana memanfaatkan Sukarno sebagai figur,” ujarnya.

“Partai-partai dan politisi ini berusaha mendompleng Soekarno.”

Dengan kenyataan itu, Rizal menilai, pemangku kebijakan justru tak memahami ide-ide Sukarno dalam bernegara. “Makanya yang lebih banyak hadir, gambarnya Sukarno. Bukan pemikiran Sukarno,” kata Rizal.

img
Achmad Al Fiqri
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan