close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid (tengah, memangku laptop) menjadi pembicara dalam diskusi membahas hukuman mati bagi koruptor di Jakarta Pusat, Minggu (15/12). Alinea.id/Manda Firmansyah
icon caption
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid (tengah, memangku laptop) menjadi pembicara dalam diskusi membahas hukuman mati bagi koruptor di Jakarta Pusat, Minggu (15/12). Alinea.id/Manda Firmansyah
Politik
Minggu, 15 Desember 2019 18:46

Amnesty beberkan kelemahan-kelemahan hukuman mati

Hukuman mati bisa memutus rantai petunjuk untuk membongkar kejahatan.
swipe

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid memaparkan kerugian-kerugian pelaksanaan hukuman mati di Indonesia. Menurut Usman, salah satu ekses buruk hukuman mati ialah terputusnya rantai petunjuk untuk membongkar kejahatan. 

Ia menyinggung eksekusi terhadap terpidana mati kasus narkotika Freddy Budiman pada 2016. Setelah Freddy dieksekusi, polisi kesulitan membongkar jaringan kejahatan narkotika yang disebut-sebut Freddy melibatkan oknum aparat. 

"Ketika dia dieksekusi, tidak lagi ada dasar untuk mengorek lebih jauh," ujar Usman dalam sebuah diskusi di Jakarta Pusat, Minggu (15/12).

Di sisi lain, Usman mengingatkan bahwa lembaga peradilan tidak pernah ada yang sempurna. Hakim bisa saja mengeluarkan putusan yang salah. "Kalau itu benar, tak masalah. Kalau itu salah, tidak mungkin mengembalikan lagi nyawa orang yang sudah dieksekusi," ucapnya.

Menurutnya, teori hukuman mati banyak mengandung kesalahan. Dari sisi biaya, Usman mengatakan, hukuman mati jauh lebih mahal ketimbang membiarkan terpidana dipenjara. 

"Eksekusi terakhir era Pak Jokowi, berapa biaya yang dikeluarkan? Biaya pengamanan dan segala macamnya. Itu menunjukkan bahwa hukuman mati sebagai hukuman yang murah itu salah," ujar Usman.

Karena itu, menurut Usman, tidak tepat jika pemerintah mewacanakan hukuman mati kepada koruptor. Apalagi, tidak ada hukuman mati yang dianggap manusiawi. "Entah itu suntik, tembak, maupun penggal. Kita potong ayam saja itu masih lari. Apalagi, manusia," jelas dia. 

Senada, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama Langkun mengatakan, ICW menolak hukuman mati bagi koruptor. Apalagi, selama ini negara juga belum serius menghukum para penggarong duit rakyat. 

Pada 2018 misalnya, berdasarkan hasil pemantauan ICW, terdapat 918 terdakwa kasus korupsi yang diganjar hukuman 1 sampai 4 tahun penjara. Sebanyak 180 terdakwa dihukum 4 sampai 10 tahun penjara dan hanya 9 terdakwa yang divonis hukuman di atas 10 tahun penjara.

Di sisi lain, hukuman yang diterima para koruptor juga kerap disunat. Awal Desember lalu misalnya, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan kasasi politikus Golkar Idrus Marham dan memangkas hukumannya dari 5 tahun penjara beserta denda Rp200 juta menjadi 2 tahun penjara dan denda Rp50 juta.

Tama Langkun juga mempertanyakan inskonsistensi dalam penjatuhan hukuman para koruptor. Ia menyinggung perbedaan pasal yang diterapkan terhadap eks Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dan mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto.

"Sama-sama anggota DPR dan pertinggi partai, antara Nazaruddin dan Setya Novanto. Setya Novanto dan Nazaruddin juga melibatkan yuridiksi negara lain, tetapi Setya Novanto tidak (dijerat) memakai (UU) pencucian uang, sedangkan Nazaruddin pakai," ujar Tama.


 

img
Manda Firmansyah
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan