Anak pinak tiga parpol era Orde Baru
Belakangan media massa ramai mewartakan parpol anyar, Partai Berkarya besutan Tommy Soeharto. Partai yang berdiri pada 15 Juli 2016 ini kerap dikaitkan dengan dugaan bahwa trah Cendana ingin kembali jadi penguasa, laiknya era Orde Baru. Menggunakan ikon partai berlatar warna kuning dengan logo pohon beringin, Tommy yang pernah ditahan di Nusakambangan atas kasus pembunuhan Hakim Kartasasmita ini menampik, Berkarya sebagai imitasi Golkar. Diintip dari laman resminya www.berkarya.id, partai ini juga sering mengunggah foto Soeharto, lengkap dengan prestasi yang ditorehkan Soeharto di masa lalu.
Berkarya sendiri lahir dari hasil fusi dua partai yakni Partai Beringin Karya dan Partai Nasional Republik. Menurut Rappler, Berkarya berdiri sebagai buntut kekecewaan Tommy yang gagal di pemilihan ketua umum (ketum) Golkar pada 2009. Diramalkan akan ikut di bursa ketum Golkar periode berikutnya, faktanya Tommy justru membuat partai baru. Gagasan dan program yang ditawarkan tak jauh berbeda dengan partai lain, yakni menyejahterakan kaum akar rumput.
Sebagai partai baru, Berkarya punya ambisi relatif besar ingin mengantongi 13% suara dan menjadi tiga besar pemenang pemilu serentak 2018. Sekretaris Jenderal Berkarya, Badaruddin Andi Picunang mengatakan, sebagaimana dikutip dari Antara, "Kami akan menyamakan langkah untuk mencapai target kami tadi, target kami kan minimal satu kursi per dapil di semua tingkatan.”
Ucapan Picunang bukan lipstik belaka. Tommy rutin anjangsana ke masyarakat akar rumput, seperti petani, nelayan, dan pegiat UMKM. Dalam beberapa kesempatan, ia menemui nelayan di Jawa Timur untuk membagikan alat pancing. Ia juga menemui tokoh-tokoh agama untuk mengukuhkan posisinya di ruang politik.
Sepak terjang Tommy di Berkarya sebetulnya bukanlah hal baru di dunia politik. Menurut catatan Alinea, sejak keran reformasi dibuka, trio parpol, Golkar serta dua parpol gurem PDI dan PPP mengalami friksi beberapa kali. Di era Orde Baru, penyederhaan jumlah parpol memang senada dengan sistem presidensil laiknya Amerika Serikat, yang menyatukan parpol gurem dengan partai lain yang berideologi mirip, atau setidaknya sejalur.
Partai besar Golkar terhitung menjadi partai yang beranak pinak beberapa kali. Pada pemilu pertama era reformasi 1999, dua parpol pecahan Golkar maju sebagai peserta pemilu. Mereka adalah Partai Kedaulatan dan Persatuan Indonesia (PKPI) besutan Edi Sudrajat dan Hayono Isman serta Partai MKGR.
Dalam Pemilu 2004, Munas Golkar juga menghasilkan partai peserta pemilu baru yakni Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang didirikan pada 9 September 2002. PKPB bahkan mendeklarasikan putri sulung Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana atau Mbak Tutut, sebagai calon presiden. Lalu Golkar juga melahirkan Partai Patriot Pancasila, yang kepengurusannya berasal dari Pemuda Pancasila, organisasi pemuda yang menjadi sayap Golkar. Ketua pengurus organisasi, Japto Soerjosoemarno membidani partai ini karena kecewa dengan Golkar yang menganaktirikan Pemuda Pancasila.
Tak hanya itu, dinamika Golkar di tahun 2014 juga diwarnai dengan pendirian dua partai baru, yang pada 2009 resmi jadi peserta pemilu. Mereka adalah Partai Hanura dan Partai Gerindra. Wiranto adalah otak yang membidani lahirnya Partai Hanura, sementara Prabowo Subianto mendirikan Gerindra yang disebut-sebut jadi kekuatan penting di pemilu 2018 mendatang. Friksi Golkar tak terhenti di situ, pada 2011 Golkar juga melahirkan anak baru Partai Nasdem dengan Surya Paloh sebagai pentolannya. Yang terbaru, dua parpol Perindo dan Berkarya lahir dari mantan kader Golkar.
Pengamat politik dari Poltracking Hanta Yuda mengatakan, tumbuh suburnya partai-partai baru setelah terjadi konflik di Partai Golkar tak lepas dari perseteruan faksi-faksi di partai itu. Masing-masing fraksi berdiri mandiri dan memiliki basis dukungan yang konkrit di daerah. “Pimpinan fraksi bahkan memiliki kemampuan dana dan jaringan yang kuat yang membuat mereka bisa lebih mudah membentuk partai sendiri setelah tujuannya tak tercapai,” ungkapnya, dikutip dari Antara.
Friksi partai tak hanya terjadi di partai beringin itu. Dua partai gurem Orde Baru, PDI dan PPP juga mengalami friksi. Artikel TEMPO menulis, friksi di PDI terjadi di samping karena ketidakpuasan kader, juga karena adanya kehendak dari pewaris trah Soekarno, yang ingin mengembalikan kekuasaan proklamator RI itu.
Mulanya PDI memang gabungan dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Partai Murba), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), dan juga dua partai keagamaan Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik.
Seiring perjalanannya, PDI mengalami perpecahan, terutama setelah Megawati secara aklamasi terpilih sebagai ketum partai banteng ini. Kongres tandingan dibuat di Medan dengan menghasilkan ketum PDI bayangan, Soerjadi.
Di kubu partai agama, PPP pecah jadi partai-partai baru, mulai dari PAN, PKB, dan Partai Keadilan (PK) yang kemudian jadi cikal bakal PKS.
Friksi tiga partai besar itu sudah jamak terjadi dan jadi indikasi ada yang bermasalah dari demokrasi di Indonesia. Di satu sisi, demokrasi bisa diukur dari terbukanya kesempatan orang untuk berserikat lewat menjamurnya parpol. Namun di sisi lain, mudahnya pembentukan parpol jadi catatan bahwa tak ada kaderisasi yang berhasil dari trio parpol itu.
Hanta Yuda dalam wawancaranya dengan Antara mengatakan penjelasan paling konkrit ihwal friksi parpol adalah lantaran kaderisasi dan ideologisasi yang buruk. Buntutnya adalah makin tingginya pragmatisme para elite, kader, dan konstituen partai. Lalu diikuti dengan budaya kartel dalam suksesi partai dan menguatnya oligarki dalam pengambilan keputusan. Terakhir, adalah faksionalisme yang turut melemahkan partai. Tak heran jika kader tak berideologi ini begitu mudah lompat pagar dan membuat parpol baru. Apalagi masing-masing punya kepentingan politik dan menginginkan kekuasaan.
Friksi parpol dinilai kontradiktif dengan semangat yang diusung di pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal ini mengatur tentang ambang batas pencalonan presiden (PT) yang harus dipenuhi parpol atau gabungan parpol saat mengusung calon presiden (capres), yakni minimal 20% kursi DPR. Aturan yang memaksa partai untuk berkoalisi ini jadi berseberangan dengan maraknya pendirian parpol baru yang terjadi baru-baru ini. Jika parpol begitu mudah muncul, maka cita-cita penyederhaan partai sebagaimana yang diusung dalam koalisi organik tak ubahnya wacana saja.