Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Abdul Rachman Thaha mengingatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait tekanan publik yang mengancam pemerintahannya. Kata Abdul, kebijakan-kebijakan yang kontraproduktif hanya memperlebar ketidakpercayaan publik terhadap Jokowi.
"Ada komentar pedas bahwa, semakin lama, ketidakpercayaan pada coronavirus seakan bersaing-saingan dengan ketidakpercayaan pada pemerintah," kata Abdul kepada Alinea.id, Senin (19/7).
Abdul mengatakan, sinisme terhadap kebijakan Jokowi jelas kontraproduktif terhadap perlunya kesatu-paduan semua pihak dalam memerangi Covid-19. Namun jika introspeksi, situasi pada waktu-waktu belakangan ini, harus diakui, menghadirkan tekanan yang kurang menyenangkan bagi pemerintah khususnya Presiden Jokowi.
"BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) dari sekian banyak universitas, misalnya, semakin banyak yang memberikan julukan-julukan negatif terhadap Presiden Jokowi," ujarnya.
Dalam pengamatan Abdul, ada sejumlah kondisi di kabinet Jokowi yang mengindikasikan ketidakpercayaan publik terhadap upaya memerangi Covid-19. Pertama, betapa pun Jokowi sudah sejak beberapa waktu lalu meminta percepatan penanganan Covid-19, namun ternyata terjadi penumpukan vaksin. Target yang Jokowi tetapkan, yakni 1-2 juta orang divaksin per hari sepertinya tidak sungguh-sungguh coba direalisasikan.
Kedua, meski Jokowi meminta agar pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) tidak diberhentikan, namun nyatanya tidak berlaku.
"Ketiga, walau Jokowi menekankan pentingnya kepedulian pada sesama dan laku prihatin lainnya, namun sejumlah pembantu presiden justru tertangkap kamera melakukan plesir ke luar negeri," tegasnya.
Keempat, lanjut Abdul, keputusan Jokowi membatalkan komersialisasi vaksin mengindikasikan bahwa jajaran pembantu Jokowi selama ini tidak berkomunikasi apalagi memperoleh restu dari mantan Wali Kota Solo itu. Abdul menyebut, untuk kesekian kalinya Jokowi harus tampil langsung ke hadapan publik menganulir "kebijakan" jajaran pemerintah sendiri.
Kelima, adanya sekian banyak rencana pengenaan dan kenaikan pajak terkesan sebagai langkah yang kontras dengan Jokowi yang selama ini acap dicitrakan sebagai sosok sederhana dan peduli pada rakyat kecil. Keenam, dalam situasi krisis kesehatan akibat pandemi, alokasi anggaran infrastruktur justru naik berlipat-lipat.
"Patut dipertanyakan, apakah pembantu presiden telah memberikan masukan yang tidak peka kepada Jokowi, ataukah bahkan mereka kini bekerja dalam dimensi yang berbeda dengan presidennya," beber Abdul.
Ketujuh, pembentukan Satgas PPKM darurat Jawa-Bali, seolah menjadi pertanda bahwa kementerian dan lembaga yang telah ada selama ini tidak sepenuhnya bekerja sesuai tuntutan Jokowi. Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) dan Satgas Nasional Covid-19, tak pelak terkesan seperti terkesampingkan.
"Ketidakandalan institusi dan personel coba diatasi Jokowi dengan membentuk Satgas PPKM yang dikoordinatori LBP," katanya.
Kedelapan, lanjut Abdul, sudah bertahun-tahun buronan KPK, Harun Masiku tak kunjung diringkus. Padahal, Jokowi sendiri tahun lalu sampai mewanti-wanti perlunya keseriusan dan kehati-hatian ekstra untuk mengamankan Harun Masiku.
"Artinya, betapa pun Jokowi coba menunjukkan sikap tidak tebang pilih terhadap orang yang separtai dengannya, namun otoritas terkait tak kunjung memperagakan kesungguhan yang setara," kata dia.
Kesembilan, Jokowi tentu berpengharapan tinggi saat melantik Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Menteri Sosial. Namun kasus korupsi yang membelit kedua menteri sebelumnya, menunjukkan adanya tangan-tangan siluman yang memengaruhi kerja kementerian.
"Dengan kata lain, ada pihak-pihak lain yang meng-intercept kepemimpinan Jokowi terhadap dua bawahannya itu," katanya.
Abdul mengatakan sembilan contoh di atas, ditambah narasi-narasi mencibiri Jokowi yang dilontarkan BEM berbagai perguruan tinggi, memberikan dasar untuk menafsirkan bahwa Presiden Jokowi tidak lagi sungguh-sungguh didengarkan apalagi dipatuhi.
"Presiden juga tidak lagi dimintai pandangan apalagi izinnya sebelum para pembantunya mengeluarkan kebijakan kementerian. Presiden juga tidak lagi memperoleh input yang sungguh-sungguh tepat dari jajaran kabinetnya," kata dia.
Abdul menegaskan, tekanan berbagai elemen masyarakat, BEM, dan dari jajaran pembantu presiden sendiri jelas akan menaikkan suhu krisis dalam kepemimpinan Jokowi.
"Saya tak tahu persis apakah kini ada kelompok yang memperlakukan Jokowi dengan prinsip ABS. Yang jelas, tak pelak, Jokowi perlu awas agar tidak-katakanlah-disabotase oleh orang-orang di sekitarnya sendiri. Semakin rapuh kepemimpinan Presiden Jokowi, semakin tergerus kepercayaan publik padanya. Semakin menggumpal ketidakpercayaan itu, semakin besar pula desakan khalayak bagi pergantian pemimpin nasional," pungkas Abdul.