Bakal calon presiden yang diusung oleh partai NasDem, Anies Baswedan dianggap sebagai sosok yang nasionalis. Hal itu tergambar dari hasil survei lembaga kajian Center for Indonesian Reform (CIR) terkait Persepsi Warga tentang Nasionalisme dan Pengaruhnya terhadap Parpol dan Tokoh Nasional.
Dalam survei tersebut, masyarakat diajukan pertanyaan terbuka. Hasilnya, 10,8% masyarakat menjawab Anies.
Tokoh lainnya yang juga dianggap nasionalis adalah Mahfud MD (8,8%), Ganjar Pranowo (6,9%), Prabowo Subianto (6,8%), Susi Pujiastuti (6,4%), Hidayat Nurwahid (6,1%), Agus Harimurti Yudhoyono (6,1%), Khofifah Indar Parawansa (5,2%), Puan Maharani (4,8%), Amien Rais (3,9%), Muhaimin Iskandar (3,2%), Ridwan Kamil (2,2%), Erick Thohir (2,2%), Airlangga Hartarto (1,9%), Sandiaga Uno (1,8%), Yenni Wahid (1,6%), Andika Perkasa (1,1%), Rizal Ramli (1,2%), dan lainnya (9,2%).
“Ketika diajukan pertanyaan tertutup, di antara enam tokoh bakal capres dan cawapres, siapakah yang lebih nasionalis? Maka mayoritas responden menjawab Anis Baswedan 20%, Ganjar Pranowo 16,4%, Prabowo Subianto 15,6%, Sandiaga Uno 7,1%, Erick Thohir 6,9%, Ridwan Kamil 4%, sisanya 20,4% menyatakan tidak ada dan 9,6% menjawab tidak tahu,” ujar Direktur CIR, Mohammad Hidayaturrahman, dalam keterangan resmi, Sabtu (2/9).
Pemahaman masyarakat Indonesia tentang arti nasionalisme relatif beragam. Survei menemukan sekitar 30% responden memaknai nasionalisme sebagai rasa cinta kepada Tanah Air. Responden lain memaknainya sebagai semangat bela negara dari serangan asing; upaya mengembangkan rasa persatuan meski berbeda suku, agama dan budaya; serta rasa bangga sebagai warna negara Indonesia.
Sisanya; menganggap sebagai rasa merdeka dan bebas dari berbagai tekanan, rasa percaya atau setia kepada ideologi nasional, serta mengartikan pemahamannya yang lebih beragam.
Berdasarkan pandangan tersebut, mayoritas masyarakat menilai partai politik yang nasionalis adalah PDIP (15,9%). Disusul PKS (15,2%) dan Gerindra (14,1%).
“Dari persepsi tersebut kita paham mengapa masyarakat menganggap partai dan tokoh politik tertentu lebih nasionalis dari yang lain. Karena realitasnya masyarakat punya pemahaman yang beragam tentang nasionalisme. Bisa saja suatu partai dan tokoh politik dianggap nasionalis, sementara yang lainnya kurang nasionalis, meskipun dalam tingkat dan kadar yang berbeda-beda,” kata Hidayat.
Masih berdasarkan hasil survei yang sama, Hidayat mengatakan nasionalisme partai dan citra nasionalis tokoh masih menjadi varian penting bagi masyarakat dalam menentukan pilihan politik. Sehingga wajar bila partai atau tokoh politik tertentu sangat gencar menampilkan citra nasionalismenya agar mendapat simpati dari masyarakat. Hal itu dilakukan meski dalam praktik kebijakan politiknya jauh dari nilai-nilai nasionalisme. Karena bisa saja tokoh atau partai politik yang dianggap nasionalis ternyata juara korupsi dan sering membuat kebijakan yang merugikan masyarakat.
“Ini anomali sosial yang ada di masyarakat kita. Satu sisi bangga pada tokoh dan partai politik yang dianggap nasionalis, tapi di sisi lain mengabaikan kenyataan bahwa tokoh dan partai politik yang dianggap nasionalis itu justru juara korupsi,” tutur Hidayat.
Survei yang dilakukan pada 15 Agustus hingga 22 Agustus 2023 kepada 1.250 responden ini menggunakan metode multistage random sampling berdasarkan data pemilih sementara (DPS) Pemilu 2024.