Anji dan aneka blunder yang harus dipertanggungjawabkan
Anggota Komisi IX DPR RI, Rahmad Handoyo merespons kontroversi wawancara musikus Erdian Aji Prihartanto alias Anji dengan narasumbernya, Hadi Pranoto, yang mengklaim sebagai profesor mikrobiologi dan telah menemukan antibodi Covid-19.
Menurut Rahmad, video wawancara antara Anji dan Hadi dapat berpotensi masuk ke ranah hukum. Hal itu lantaran ada indikasi bahwa video tersebut mengandung kabar bohong atau hoaks.
"Nah, kalau toh kemudian hari di dalam perjalanannya ada kemungkinan, ada potensi kebohongan publik yang dikemukakan, mengklaim kemudian sudah dijual atau diberikan (antibodi) langsung kepada masyarakat itu tanpa uji klinis terlebih dahulu, menjadi sangat masuk wilayah ranah hukum," kata Rahmad kepada Alinea.id, Selasa (4/8).
Politikus PDIP itu menjelaskan, informasi penyebaran antibodi Covid-19 dari Hadi di Channel YouTube Anji dinilai tidak benar. Harusnya, jelas Rahmad, sebelum diedarkan kepada masyarakat, wajib melalui uji klinis dan diizinkan peredarannya oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Namun, pada kasus ini BPOM mengaku belum memberikan surat izin edar ihwal antibodi tersebut. Siapapun, lanjut Rahmat, tidak bisa sembarangan menyebarluaskan produk untuk dipasarkan, apalagi yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat.
"Boro-boro jamu, boro-boro obat, obat dan segala bentuk minuman yang mengatasnamakan dipersebarkan di masyarakat tentu harus mendapatkan izin edar oleh BPOM. Jadi, tidak bisa serta merta bikin temuan, kemudian disebar atau dijual ke semua kalangan. Ini kan konsumen, pasar harus dilindungi juga," terang dia.
Rahmad berharap, kasus ini bisa bagi pelajaran bagi Anji sebagai seorang influencer. Boleh saja berbicara dengan seseorang mengenai apapun untuk dijadikan konten, namun tetap harus mempertimbangkan kapasitas narasumber.
"Di perjalanan kasus, kalau memang ada potensi masuk ranah hukum, kita serahkan sepenuhnya secara hukum. Tapi lepas dari itu ini harus dipertanggungjawabkan. Terlepas dari mana, saya kira kalau sudah ada dorongan publik, harus dimintai keterangan," katanya.
Blunder-blunder Anji
Kritik dan kecaman terhadap pelantun lagu 'Dia' tersebut bukan saja terkait dengan perbincangannya bersama Hadi Pranoto, yang mengaku telah menemukan obat penyembuh Covid-19 itu.
Sebelumnya juga terdapat sejumlah postingan kontroversial eks vokalis Drive ini yang mengundang cibiran warganet. Misalnya, saat Anji mengomentari foto pasien Covid-19 karya Joshua Irwandi.
Musikus kelahiran Jakarta, 5 Oktober 1978 ini, melalui akun instagramnya, merasa janggal dengan foto korban Covid-19 itu. Dia menilai foto tersebut untuk menakut-nakuti.
Sontak warganet merespons geram Anji. Bahkan Ketua Pewarta Foto Indonesia (PFI) Reno Esnir angkat bicara dan menegaskan bahwa foto itu merupakan karya seorang fotografer yang mendapatkan grant dari National Geographic.
Blunder Anji tak berhenti di situ, melalui akun Twitter @duniamanji, dia mencuitkan, "Apapun penyebabnya, tetap JANGAN MEMAKAI MASKER saat kamu olahraga. Cari artikel yang membahas bahaya memakai masker terlalu lama atau untuk olahraga.” Penempatan huruf kapital JANGAN PAKAI MASKER dipersoalkan warganet lantaran diletakkan bukan pada tempatnya hingga bergulir kontroversi.
[thread]
— Anji MANJI - (@duniamanji) July 19, 2020
Halo!
Ada beberapa hal yang perlu saya tulis tentang tweet saya kemarin dan isi postingan di IG.
Saya uraikan dulu ya beberapa poin yang saya bahas.
1. Tentang JANGAN MEMAKAI MASKER saat olahraga.
2. Tentang sudut pandang influencer/buzzer terhadap penyebaran berita.
Teranyar, adalah saat Anji berbincang dengan Hadi Pranoto melalui channel channel YoTube-nya. Hadi Pranoto, dalam video tersebut, mengaku telah menemukan obat penyembuh Covid-19. Bahkan, Hadi menyabut obat tersebut menyembuhkan banyak orang dari infeksi coronavirus.
Sontak Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyebut sosok Hadi Pranoto yang mengaku profesor, pakar mikrobiologi, sekaligus Kepala Tim Riset Formula Antibodi Covid-19 dalam channel YoTube Anji, tak terdaftar di database.
Sementara Anji, dalam video itu, menyebut Covid-19 tidak sengeri yang dibayangkan. "Saya tidak percaya bahwa Covid-19 semengerikan itu. Yang mengerikan adalah hancurnya hajat hidup masyarakat kecil," ujarnya.
Meski telah dihapus, video yang diunggah pada 31 Juli 2020 dinilai Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) hanya menimbulkan kegaduhan publik, bahkan sesat karena dapat mendorong masyarakat menolak protokol Covid-19.
“Masyarakat yang termakan informasi tersebut bisa kemudian menolak protokol pencegahan dan pengobatan yang dibuat oleh pemerintah,” kata Ketua Presidium Mafindo, Septiaji Eko Nugroho, Senin (3/8).