Dalam debat perdana Pilgub DKI Jakarta 2024, calon gubernur Jakarta nomor urut 1, Ridwan Kamil mengungkapkan program terkait lapangan pekerjaan bagi generasi Z. Dia bakal memperbanya coworking space gratis, yang dilengkapi kopi gratis.
“Karena gen Z ini konsumsi kopinya besar sekali dan mahal, nanti kita kasih gratis kopinya,” kata Ridwan dalam debat Pilgub DKI Jakarta 2024 di Jakarta International Expo (JIExpo) Kemayoran, Jakarta Pusat, Minggu (6/10) malam.
Ketika konferensi pers usai debat, Ridwan kembali menjelaskan ide itu. Dia mengatakan, idenya muncul dari curhatan yang sering kali didengarnya dari anak muda yang mengeluh soal sewa tempat kerja dan kopi yang mahal saat melakukan bekerja di mana pun atau work from anywhere. Selain itu, Ridwan pun berjanji bakal memberikan bantuan selama tiga bulan bagi generasi Z yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk bertahan hidup sambil menunggu pekerjaan baru.
Menurut sosiolog dari Universitas Airlangga, Tuti Budirahayu, janji bakal memberikan fasilitas coworking space gratis sudah baik. Namun, tidak dengan kopi gratis. Dia mengatakan, anggaran untuk kopi gratis tidak tepat sasaran.
“Lebih baik dana kopi gratis dialihkan sebagai stimulus para gen Z berwirausaha di tempat-tempat yang disediakan pemerintah kota,” kata Tuti kepada Alinea.id, Selasa (8/10).
Sebab, pemberian bekal seperti itu bisa mengembangkan para generasi Z ketimbang dengan uang semata. Uang seharusnya mejadi modal bagi generasi Z untuk berusaha, sehingga hasilnya pun jelas.
Menurutnya, kebijakan dana untuk wirausaha cukup baik karena secara khusus bisa menyasar kelompok sosial, seperti generasi Z. Kebijakan ini pun dapat menyasar kelompok-kelompok rentan, seperti warga miskin, disabilitas, kelompok minoritas, dan perempuan.
Dia berharap, generasi muda tetap produktif dengan menunjukkan karya, bukan hanya sebatas program gratis yang menghamburkan banyak uang kemudian bermuara pada korupsi.
“Biasanya kampanye itu menghambur-hamburkan janji manis. Tapi ketika diimplementasikan, mereka kesulitan sendiri. Apalagi dengan (janji) ‘gratis’. Hati-hati bisa disalahgunakan dan menjadi pemicu terjadinya korupsi,” tutur Tuti.
Sementara itu, profesor di Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Wahyudi Kumorotomo menuturkan, memberikan kopi gratis sama saja dengan memberi bantuan sosial (bansos). Bedanya, diberikan kepada generasi Z, yang sesuai dengan gaya hidup mereka. Kebijakan itu, kata dia,
“Cenderung menjadi kebijakan yang populis atau crowd pleasing (menyenangkan orang banyak), tetapi substansiya tidak tertangkap oleh gen Z,” ucap Wahyudi, Kamis (10/10).
Imbasnya, menurut Wahyudi, malah membuat masyarakat akan kehilangan semangat untuk berjuang dan bekerja karena merasa akan “disuapi” pemerintah. Akhirnya, mental mereka tidak terbentuk dengan kuat karena tidak ada kerja keras untuk memproduksi karya.
“Semua yang serba gratis membuat sebagian elemen masyarakat kita menjadi tergantung, kurang punya daya juang, dan tidak menghargai kerja keras,” ujar Wahyudi.
“Mental yang lembek adalah sesuatu yang tidak kita harapkan dari gen Z.”