Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI berencana menambah jumlah komisi di DPR. Wacana itu menguat seiring bakal bertambahnya jumlah kementerian dalam pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (Prabowo-Gibran).
Wacana ini awalnya disampaikan oleh Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Golkar, Ace Hasan Syadzily, sebelum pelantikan anggota DPR dan DPD periode 2024-2029. Ace mengatakan wacana penambahan komisi itu sedang dikaji DPR.
Ketua DPR RI Puan Maharani pun mengamini hal itu. Politikus PDI-Perjuangan itu berdalih DPR butuh komisi-komisi baru jika jumlah kementerian membengkak pada era pemerintahan Prabowo-Gibran.
"Dengan adanya rencana penambahan kementerian, tentu saja kemungkinan artinya akan ada penambahan komisi di DPR RI," kata Puan kepada wartawan di Hotel Shangri-La Jakarta, Sabtu (21/9).
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai penambahan komisi di DPR hanya relevan jika Prabowo-Gibran ternyata membentuk banyak kementerian baru.
Jika hanya satu atau dua kementerian yang ditambah, ia berpendapat sebaiknya DPR menambahkan kementerian-kementerian tersebut sebagai mitra baru komisi-komisi yang sudah ada di DPR sebelumnya. Saat ini, sudah ada 11 komisi di DPR.
"Tugas utama mereka nanti langsung berhadapan dengan kementerian dalam menjalankan fungsi-fungsi utama seperti legislasi, anggaran, dan pengawasan. Tidak heran kalau jumlah menteri bertambah dan demi efektivitas pengawasan, diperlukan komisi baru untuk mengakomodirnya," kata Lucius kepada Alinea.id, Senin (30/9).
Prabowo bisa leluasa menambah jumlah kementerian setelah DPR mengesahkan revisi UU Kementerian Negara, September lalu. Salah satu poin utama dalam revisi itu ialah tak ada lagi pembatasan jumlah kementerian. Presiden berhak menambah jumlah kementerian sesuai kebutuhan.
Ketimbang soal efektivitas dan efisiensi, menurut Lucius, wacana penambahan komisi digulirkan semata-mata hanya sekadar untuk memperbanyak kuota kursi pimpinan yang bisa dibagi-bagi oleh partai politik di DPR.
Menurut Lucius, alasan peningkatan kinerja yang diutarakan anggota DPR sebagai alibi untuk menambah jumlah komisi tak masuk akal. Ia berkaca pada rendahnya produktivitas DPR dalam membahas dan mengesahkan rancangan undang-undang selama dua periode terakhir.
“Dampak lain, ya, potensi tidak efektifnya kerja-kerja keparlemenan. Terlalu banyak komisi jelas akan menambah beban koordinasi yang terjadi... Semakin banyak komisi, semakin banyak juga kesempatan bagi anggota DPR untuk menduduki posisi pimpinan komisi,” ucapnya.
Peneliti Pusat Riset Politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor mengkritik rencana DPR menambah jumlah komisi seiring penambahan jumlah kementerian. Menurut dia, jumlah komisi yang ada saat ini sudah mencukupi.
“Dengan penambahan alat kelengkapan dewan (AKD), tidak menjamin juga produktivitasnya bertambah,” ucap Firman kepada Alinea.id di Jakarta, Selasa (1/10).
Pada 2019, tercatat ada 264 rancangan undang-undang (RUU) yang disepakati masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Hingga pengujung masa jabatannya, DPR hanya mampu mengesahkan 26 RUU menjadi undang-undang atau hanya sekitar 10% dari total jumlah RUU di Prolegnas.
Dengan pencapaian yang sangat rendah tersebut, Firman menyarankan agar ada evaluasi kinerja DPR terlebih dahulu. Hasil evaluasi bakal menunjukkan perlu atau tidaknya penambahan komisi di DPR.
“Dengan capaian yang sangat rendah harus dievaluasi sehingga apa memang jawabannya menambah komisi atau kinerja yang dikencengin karena khawatirnya ini urusan politis daripada strategis. Artinya, ini pembagian kursi saja,” ujar Firman.