close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Pemerintah pusat kerap berseberangan dengan Pemprov DKI dalam berbagai kebijakan. Ilustrasi Alinea.id/Dwi Setiawan
icon caption
Pemerintah pusat kerap berseberangan dengan Pemprov DKI dalam berbagai kebijakan. Ilustrasi Alinea.id/Dwi Setiawan
Politik
Selasa, 11 Februari 2020 20:02

Aroma politis dalam 'plot' Jokowi jegal Anies

Kebijakan Anies Baswedan kerap dikritik dan dihambat 'orang-orang' Jokowi.
swipe

Stasiun Boulevard Selatan, Kelapa Gading, Jakarta Utara tampak lengang, Senin (10/2) siang itu. Tak terlihat kerumunan penumpang di lorong-lorong stasiun moda transportasi massal lintas rel terpadu atau light rail transit (LRT) Jakarta itu. 

Suasana serupa dijumpai di depan loket tiket otomatis. Di situ, tak terlihat barisan penumpang mengekor untuk mendapatkan tiket. Padahal, stasiun megah dan berfasilitas mewah itu telah satu tahun beroperasi. 

"Ramai sih kalau weekend. Untuk hari-hari biasa, biasanya pas mau berangkat atau pulang kerja aja," kata Vivi, salah seorang petugas pembersihan di stasiun itu, saat berbincang dengan Alinea.id. 

Suasana sedikit berbeda terlihat di Stasiun Velodrome, Rawamangun, Jakarta Timur. Meski bisa dihitung dengan jari, namun arus penumpang yang datang dan keluar stasiun mengalir dengan lancar. "Mungkin belum terkenal aja kali, ya," kata Dian, salah seorang penumpang LRT. 

Setelah tiga kali uji coba, layanan LRT Jakarta resmi beroperasi secara komersial pada awal Desember 2019. Ketika itu, ada 1.044.457 pelanggan jalur LRT fase I yang didata PT LRT Jakarta. 

Memiliki panjang rute 5,8 kilometer, jalur LRT fase I menghubungkan enam stasiun, yakni Velodrome, Equestrian, Pulomas, Boulevard Selatan, Boulevard Utara, dan Pegangsaan Dua. Stasiun-stasiun itu terintegrasi dengan moda trasnportasi Trans-Jakarta. 

Belakangan, proyek pembangunan jalur LRT kembali menjadi sorotan. Pasalnya, pemerintah pusat meminta Pemprov DKI Jakarta membatalkan rencana membangun jalur LRT fase II yang menghubungkan Pulogadung dan Kebayoran Lama. 

Pembangunan rute dengan anggaran sebesar Rp154 miliar itu diminta dihentikan karena berimpitan dengan proyek MRT koridor Timur-Barat rute Cikarang-Ujung Menteng-Kalideres-Balaraja yang digarap oleh pemerintah pusat.

Menurut anggota Komisi B DPRD DKI Gilbert Simanjuntak, pembangunan jalur LRT fase II melanggar Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) dan tidak sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta Tahun 2030. 

"Kalau mengacu RITJ yang ditandatangani Presiden Jokowi, semua perencanaan mengintegrasikan ke situ, bukan kemudian main bikin rencana seakan-akan tidak berhubungan dengan pemerintah pusat. Semua mesti terintegrasi dengan satu wadah, yakni RITJ," kata Gilbert di Gedung DPRD DKI, Jakarta Pusat, Senin (3/2).

Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Danto Restyawan mengklarifikasi pernyataan Gilbert. Menurut Danto, Kemenhub hanya meminta rencana pembangunan LRT fase II direvisi agar sinkron dengan rencana pembangunan MRT Utara-Selatan fase 2 (Bundaran HI-Ancol) dan MRT Barat-Timur (Balaraja-Cikarang). 

Ini bukan kali pertama proyek yang digagas Pemprov DKI di bawah Gubernur Anies Baswedan "dijegal". Sebelum polemik LRT menyeruak ke ruang publik, Anies dan pemerintah pusat berseteru soal izin revitalisasi Monumen Nasional (Monas). 

Proyek revitalisasi itu sempat dihentikan dan dianggap malaadministrasi. Sesuai isi Keppres 25/1995, seharusnya Anies meminta rekomendasi Menteri Sekretaris Negara selaku Ketua Komisi Pengawas pembangunan kawasan Medan Merdeka sebelum menggarap Monas. 

Namun, proyek itu akhirnya kembali dilanjutkan setelah izin dari pusat dikantongi Anies. "Pada pertemuan itu sudah disepakati, dibuat formalitasnya, dan sudah selesai. Jadi, kegiatan akan diteruskan," ujar Anies di Jakarta, Sabtu (8/2). 

Warga mendorong motor melintasi banjir di kawasan Monas, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Minggu (2/2). Foto Antara/Hafidz Mubarak A

Berseteru sejak banjir awal 2020

Jauh sebelumnya, Anies juga berbeda pendapat soal penanganan banjir di Jakarta dengan pemerintah pusat. Saat banjir besar melanda Jakarta pada awal 2020, Anies saling lempar kritik dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono. 

Usai mengunjungi kawasan-kawasan yang dilanda banjir, Basuki menyebut air bah kembali menenggelamkan sebagian wilayah Jakarta karena normalisasi sungai terhenti sejak 2017. Basuki menyalahkan Anies yang lelet membebaskan lahan warga di kawasan sungai yang harusnya dinormalisasi. 

Anies membalas dengan mengunjungi kawasan Kampung Pulo, Jakarta Timur. Kampung yang tak jauh dari Sungai Ciliwung itu sudah tersentuh proyek normalisasi yang digagas Jokowi ketika jadi gubernur. "Di sini memang sudah dilakukan normalisasi dan faktanya masih tetap terjadi banjir," kata Anies. 

Politikus PDI-Perjuangan Andreas Hugo Pareira mengatakan beda pendapat ini muncul karena kebijakan Anies kerap bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku. Itu tidak terjadi pada era gubernur-gubernur sebelum Anies. 

"Soal perbedaan Anies dan pemerintahan pusat lebih karena ada pihak yang menjalankan kebijakan yang berakibat merugikan masyarakat. Kasus penanganan banjir menunjukan ketidaksiapan Pemda DKI dalam mengatasi masalah yang selalu terjadi berulang di DKI," kata Andreas kepada Alinea.id di Jakarta, Senin (10/1).

Menurut dia, pemerintah pusat tidak akan menjegal kebijakan Anies jika dijalankan sesuai dengan regulasi yang berlaku. Seharusnya, imbuh Andreas, Pemprov DKI Jakarta sebagai kepanjangan tangan dari pemerintahan pusat sejalan dengan visi-misi Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Masalahnya, kalau ada pihak yang menjalankan pemerintahan atau kebijakan pemerintahan di luar kewenangan dan bertentangan dengan regulasi dan kewenangannya," jelas dia.

Pendapat berbeda diutarakan politikus Partai Gerindra Habiburokhman. Menurut dia, beda pendapat antara Anies dan pusat merupakan hal yang wajar. 

Habiburokhman mencontohkan silang pendapat pada era Gubernur Sutiyoso. Ketika itu, Sutiyoso sempat beda pendapat terkait pengelolaan aset milik Pemerintah DKI Jakarta yang saat itu masih dikelola pemerintah pusat.

"Itu dinamika biasa, ya. Namanya masing-masing menjalankan tugas kenegaraan, ada beda perspektif, beda-beda pandangan. Ya, biasa saja. Tinggal kita luruskan, kita cari solusi. Jadi, jangan diperuncing," kata dia. 

Lebih jauh, Habiburokhman mengatakan, tak semua kebijakan Anies ditentang pemerintah pusat. Menurut dia, pemerintah pusat hanya menjegal program-program Anies karena merasa tak diajak bicara dalam perumusan kebijakan.

"Jadi, beda pendapat itu wajarlah. Di seluruh dunia kan begitu. Namanya pengelolaan negara enggak lepas dari aspek politik. Cuma ya udah. Ngono yo ngono. Nanging ojo ngono. Jangan terlalu ini aja, jangan terlalu ribut aja konfliknya," kata dia.

Presiden Joko Widodo memberikan pidato politiknya pada acara Pelantikan Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Bulan Bintang di Jakarta, Kamis (6/2). /Foto Antara

Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah menilai beda pendapat muncul karena kebijakan Anies kerap mengutamakan kepentingan pendukung-pendukungnya. Di sisi lain, Anies juga kerap tidak sowan terlebih dahulu kepada pemerintah pusat. 

Padahal, lanjut Trubus, proyek-proyek besar yang direncanakan Anies berada di kawasan-kawasan yang kewenangannya ada di tangan pemerintah pusat, semisal revitalisasi Monas dan gelaran Formula E yang sempat tak mendapat izin. 

"Saya bahasakan itu kebijakannya populis. Nah, kebijakan ini banyak tidak dikomunikasikan atau kurang dikomunikasikan dengan baik. Itu masalahnya sehingga terjadi miskomunikasi atau misunderstanding yang menyebabkan...Ujung-ujungnya, publik disajikan pemerintah daerah dan pusat saling menyalahkan," ujar Trubus kepada Alinea.id. 

Terkait penanganan banjir, Trubus mengatakan, Jokowi dan Anies sama-sama mengedepankan ego sektoral. Menurut dia, Anies dan Jokowi seharusnya saling merangkul dalam menangani banjir dan tidak menjadikan bencana tahunan itu sebagai panggung politik. 

"Nah, selama ini apa yang terjadi penanganan banjir bersifat sektoral, parsial-parsial. Tidak pernah rasional komprehensif, tidak dirangkul semuanya. Jadi, ini menjadi panggung politik untuk masing-masing pemimpin untuk menunjukkan arogansi masing-masing," kata dia. 

  Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto (ketiga kiri) memberikan nasi tumpeng kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (kedua kanan) disaksikan Wakil Ketua Dewan Pembina Sandiaga Uno (kanan), Wakil Ketua Umum Edhy Prabowo (ketiga kanan) dalam peringatan HUT ke-12 Partai Gerindra di kantor DPP Partai Gerindra, Jakarta Selatan, Kamis (6/2). /Foto Antara

Aroma dendam politik dan Pilpres 2024

Lebih jauh, Trubus mengatakan, aroma dendam politik juga menyelimuti deretan silang pendapat antara Anies dan pemerintah pusat. Anies, kata Trubus, masih memendam dongkol karena dicopot Jokowi dari posisi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) pada era Kabinet Kerja. 

Ketidakharmonisan Jokowi dan Anies kian kuat saat Anies menjajal peruntungan menjadi calon Gubernur DKI Jakarta pada 2017. Ketika itu, Anies yang didukung kelompok Islam garis keras seperti Front Pembela Islam (FPI) dan eksponen Gerakan 212. Di sisi lain, Jokowi cenderung mendukung calon petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

"Anies ini kan awalnya sangat setia, tangan kanannya Pak Jokowi, pernah menjadi menterinya. Tapi, karena prestasinya dianggap buruk dan mempunyai persoalan dengan anggaran Kemendikbud waktu itu, yang mencapai Rp23 triliun itu. Atas masukan-masukan itu, dia di-reshufle. Tapi, ternyata Pak Anies tidak bersalah," jelas Trubus.

Hal senada diungkapkan pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago. Menurut Pangi, beda sikap Anies dan pemerintahan Jokowi bukan semata karena soal program semata. Namun, perbedaan dukungan politik dan pemilih kerap membuat Anies dan Jokowi tak akur.

"Ini rangkaian yang tidak terpisah. Ada kontinuitas. Bukan sebuah fenomena yang berdiri sendiri, tapi ada kelanjutan dari fase-fase sebelumnya. Jadi, enggak mudah juga soal hati kan," kata Pangi kepada Alinea.id. 

Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan

Menurut Pangi, silang pendapat antara pusat dan Pemprov DKI kerap terjadi karena tak ada chemistry di antara Anies dan Jokowi. Pasalnya, polemik silang pendapat dalam berbagai kebijakan tidak terjadi ketika Ahok masih berkuasa di Ibu Kota.  

"Ketika Pak Ahok jadi gubernur, itu semuanya didukung oleh pemerintah pusat. Mereka sangat cair. Tidak ada kebuntuan politik. Kalau ini, sering kali ada penghalang, ada kebuntuan, deadlock antara Pak Jokowi dan Pak Anies," tutur dia. 

Lebih jauh, Pangi mengatakan, "permusuhan" antara pemerintah pusat dan Anies juga ada kaitannya dengan perhelatan Pilpres 2024. Menurut dia, bukan tidak mungkin Anies tengah bermanuver untuk mendapat dukungan politik dan merawat basis massa. 

Apalagi, nama Anies kerap berkibar di papan survei sejumlah lembaga sebagai salah satu kandidat kuat capres di Pilpres 2024. "Bisa saja ini fenomena Pak Jokowi yang sebetulnya Pak Jokowi sudah mempersiapkan calon lain dan bisa saja Pak Anies gagal berkomunikasi dengan baik dengan Pak Jokowi," kata Pangi.

Meski begitu, Pangi menyayangkan polemik beda sikap antara pusat dan Anies yang terjadi hampir di setiap isu. Menurut dia, publik saat ini sudah gerah dengan aksi saling menyalahkan yang terjadi antara Anies dan "orang-orang" Jokowi.

"Jadi tesis ini ada hubungan dengan pilpres tidak terbantahkan, udah pasti. Cuma kenapa harus berseberangan terus? Kenapa rakyat Jakarta dikorbankan dengan perbedaan sikap itu? Kalau memang kebijakan itu baik dan bagus untuk masyarakat, mestinya pusat mendukung juga," kata dia. 
 

img
Marselinus Gual
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan