Relasi kuasa parpol dalam dana hibah dan konflik Bamus Betawi
Wakil Ketua Umum Badan Musyawarah Masyarakat (Bamus) Betawi Muhammad Rifky alias Eki Pitung tak bisa menyembunyikan kekesalannya saat mendengar dana hibah dari APBD Pemprov DKI Jakarta bakal dibagi dua dengan Bamus Suku Betawi 1982. Ia merasa sedang dipermainkan elite politik di DPRD DKI Jakarta.
Menurutnya, rencana itu hanya memperuncing pertikaian antara Bamus Betawi dan Bamus Suku Betawi 1982. Eki menilai, selama ini yang menjadi mitra Pemprov DKI Jakarta adalah Bamus Betawi, berdasarkan Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi.
Konflik bermula ketika Mubes Bamus Betawi di Hotel Twin Plaza, Jakarta Barat pada September 2018. Saat itu, kelompok Zainuddin alias Haji Oding memutuskan keluar dari arena mubes karena ada perbedaan pendapat. Pada 2019, kepengurusan Bamus Suku Betawi 1982 dibentuk dan Oding menjadi ketua umumnya.
Sementara Ketua Umum Bamus Betawi adalah Abraham Lunggana alias Haji Lulung. Oding dan Lulung merupakan sosok politisi yang akrab dengan basis massa entitas Betawi. Lulung tercatat sebagai politikus PPP, sedangkan Oding politikus Partai Golkar.
Wacana bagi dua dana hibah itu mencuat saat DPRD DKI Jakarta mengungkap Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) DKI Jakarta mengajukan tambahan dana hibah sebesar Rp2,7 miliar untuk tahun 2022 pada Senin (8/11).
Menurut Ketua Komisi A Bidang Pemerintahan DPRD DKI Jakarta sekaligus politikus Partai Demokrat Mujiyono, seperti dikutip dari Antara, Selasa (9/11), dana hibah itu untuk tiga organisasi, yakni Bamus Suku Betawi 1982, DPD Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI dan Polri (Pepabri) DKI Jakarta, dan Dewan Harian Daerah 45 Provinsi DKI Jakarta.
Sementara Badan Kesbangpol mengusulkan dana hibah untuk Bamus Betawi sebesar Rp3 miliar. Mujiyono mengatakan, pembagian dana hibah untuk Bamus Betawi dan Bamus Suku Betawi 1982 disepakati masing-masing mendapat Rp2,1 miliar.
Bahkan, Ketua fraksi PDI-P DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono mengusulkan, dana hibah untuk dua organisasi itu disetop pada 2023 dan Bamus Betawi mendapat hibah berupa kegiatan yang melekat di satuan kerja pemerintah daerah DKI atau tiap dinas.
Ada permainan politik?
Eki merasa, dengan adanya wacara ini, dua anggota DPRD DKI Jakarta, yakni Mujiyono dan Gembong, memihak kepada Bamus Suku Betawi 1982. "Saya rasa ini beraroma politis," ucap Eki kepada Alinea.id, Senin (15/11).
“Saya bilang ini beraroma politis karena yang bicara begitu irisannya jelas, Pak Mujiyono ini kan garis hirarkisnya Demokrat. Bamus (Suku Betawi 1982) di sana banyak orang Demokrat," kata Eki.
Eki melihat, ada relasi politik yang sedang dibangun Mujiyono dan Bamus Suku Betawi 1982. Katanya, banyak elite Demokrat yang menjadi pengurus Bamus Suku Betawi 1982, seperti Nachrowi Ramli.
"Apakah Pak Mujiyono ada main mata dengan urusan itu atau ada intervensi dari partai supaya berpihak pada Bamus Suku Betawi 1982 karena satu partai?" ucap Eki.
Bamus Suku Betawi 1982, sebut Eki, sedang berupaya mendekatkan diri ke Demokrat dan berusaha menjadi pasar politik partai berlambang bintang mercy. Eki mengakui, organisasi sekaliber Bamus Betawi dan Bamus Suku Betawi 1982 memang rentan terseret kepentingan politik. Sebab, Bamus Betawi juga selama ini dianggap pendukung setia Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
“Bamus Betawi juga lintas partai, ada PAN dan PPP,” katanya.
Meski sama-sama memiliki mitra partai politik, Eki berharap Demokrat dan Bamus Suku Betawi 1982 tak mengusik dana hibah yang seharusnya menjadi milik Bamus Betawi. Jika Bamus Suku Betawi 1982 menginginkan dana hibah, Eki menyarankan, sebaiknya kembali bergabung dengan Bamus Betawi.
“Gabung saja nanti mubes tahun 2023, biar enggak ribut soal dana hibah terus,” ujarnya.
“Tapi kalau gengsi karena merasa besar ada FBR (Forum Betawi Rempug) dan Forkabi (Forum Komunikasi Anak Betawi) di sana, ya sudah pakai instrumen organisasi sendiri aja.”
Menanggapi Bamus Suku Betawi 1982 yang merapat ke Demokrat melalui Mujiyono, Ketua Umum Bamus Betawi 1982, Haji Oding, membantahnya. Ia mengatakan, Mujiyono hanya kebetulan menjadi Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta, yang menyuarakan pembagian dana hibah.
Kendati demikian, Oding mengaku banyak partai politik di DPRD DKI Jakarta yang lumayan dekat dengan Bamus Suku Betawi 1982."Anggota dewan lain dari banyak partai merasa perlu untuk juga memperhatikan Bamus Betawi 1982," ujar Oding, Senin (15/11).
Oding malah menganggap, narasi kedekatan Bamus Suku Betawi 1982 dengan Demokrat sengaja dibuat untuk mendiskreditkan pihaknya, yang seolah-olah meminta bantuan partai politik untuk mendapatkan akses anggaran.
“Sama sekali tidak ada irisan politik,” ucap Oding.
Ia pun kurang sependapat bila rencana bagi dua dana hibah disebut sebagai upaya memelihara konflik kedua bamus. Ia menilai, rencana itu sebagai bentuk memberikan keadilan dua pihak.
“Bamus Betawi 1982 sampai sekarang belum pernah diberikah hibah,” kata dia.
Oding menyebut, di dalam Bamus Suku Betawi 1982 terdapat ormas Betawi yang punya basis massa lumayan besar dan memerlukan dana hibah dari Pemprov DKI Jakarta, seperti FBR, Forkabi, Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB), dan Asosiasi Pencak Silat Tradisi Betawi Indonesia (Astrabi).
"Mereka (ormas Betawi) jauh lebih kompeten, lebih tua, dan memiliki akses massa yang luar biasa," kata Oding.
Perebutan patron
Ketika dihubungi, Mujiyono juga membantah ada main mata dengan Bamus Suku Betawi 1982. Ia pun menampik adanya anggapan sedang berupaya menjadikan Bamus Suku Betawi 1982 sebagai alat kepentingan politik Demokrat.
“Itu tidak benar," ucap Mujiyono saat dihubungi, Selasa (16/11).
Ia menjelaskan, wacana bagi dua dana hibah berasal dari pendapat forum dan dibacakan oleh dirinya. “Jadi, bukan pendapat saya pribadi,” ujarnya.
“Tapi karena saya ketua forum dan saya yang menyampaikan, akhirnya saya yang kena tuduh.”
Mujiyono juga menepis tudingan ingin memperuncing konflik antara Bamus Betawi dan Bamus Suku Betawi 1982 lewat dana hibah. “Kami inginnya mereka akur,” tuturnya.
Lebih lanjut, ia menerangkan, rencana bagi dana hibah Bamus Betawi masih bersifat pagu sementara dalam Kebijakan Umum Anggaran Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) APBD DKI Jakarta.
“Jadi, enggak ada kepentingan politis,” ucapnya.
Sementara itu, pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Zaki Mubarak melihat, perseteruan yang terjadi antara dua bamus bertalian erat dengan perebutan patron untuk mendapat akses ekonomi dan politik di Jakarta.
“Perseteruan dua kubu itu sebenarnya sudah berlangsung lama,” ucap Zaki, Selasa (16/11).
“Pemainnya, selain orang kuat politik juga para pengusaha.”
Ia mengatakan, sebelumnya rivalitas Bamus Betawi dan Bamus Suku Betawi 1982 melibatkan PPP dan Partai Golkar. Dua kubu yang berkonflik ialah Bamus Betawi kelompok Djan Faridz dan Lulung dari PPP berhadapan dengan kelompok Oding dari Golkar.
“Djan Faridz waktu itu Menteri Perumahan Rakyat dan petinggi PPP, sedangkan Lulung dan Oding sama-sama petinggi DPRD DKI,” ujarnya.
“Kita tahu, Faridz dan Lulung adalah penguasa lapak bisnis di Jakarta, termasuk Tanah Abang.”
Sedangkan Oding merupakan politikus dan pengusaha. Menurutnya, kedua kelompok yang berkonflik dekat dengan cukong-cukong besar. Zaki melihat, saat ini Bamus Suku Betawi 1982 memiliki patron baru, yakni Demokrat.
“Di DPRD DKI, Bamus 1982 mendapat backing dari Mujiyono Ketua Komisi A DPRD DKI dan saat ini calon terkuat Ketua DPD Partai Demokrat DKI,” ujar dia.
“Mujiyono pulalah yang mengancam Bamus Betawi-nya Lulung dan mendesak agar dana hibah dibagi dua.”
Menurutnya, Mujiyono butuh dukungan banyak ormas Betawi untuk menaikkan nilai tawar sebagai elite partai politik di Jakarta. Selain itu, dukungan ormas juga dibutuhkan untuk menopang pamor politik Demokrat.
“Mujiyono perlu dukungan Bamus 1982 untuk daya tawar jadi Ketua DPD Demokrat DKI, yang masih dijabat Santoso,” ucapnya.
“Ormas-ormas ini bisa digunakan menopang AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) maupun kepentingan politik Demokrat lainnya dalam pilpres maupun pilgub nanti.”
Zaki berpendapat, Bamus Suku Betawi 1982 strategis dijadikan pasar politik Demokrat karena ada dua ormas Betawi yang besar, yakni FBR dan Forkabi. Dua ormas tersebut, kata Zaki, mampu memobilisasi massa dalam jumlah besar dan selama ini aktif dalam kegiatan pilgub maupun pilpres.
Lebih jauh, Zaki mengatakan, pendekatan yang dilakukan Demokrat terhadap Bamus Suku Betawi 1982 memiliki kaitan erat dengan pertarungan Pilpres 2024, yang mulai menghangat. Sehingga Demokrat mulai bergerilya ke ormas-ormas.
“Sudah diketahui bersama bahwa organisasi berbasis etnis itu tidak semata-mata sebagai gerakan budaya, tetapi juga lekat dengan aktivitas politik, dukung mendukung calon,” tutur dia.
Di sisi lain, kondisi kurang menguntungkan dialami Bamus Betawi pimpinan Haji Lulung. Sebab, menurutnya, patron politik mereka di DPRD DKI Jakarta mulai melemah, sejak suara PPP di Ibu Kota anjlok dan hanya mampu mendapatkan satu kursi di DPRD DKI.
"Untuk dijadikan patron politik berat. Sementara Demokrat punya 10 kursi. Jauh lebih powerfull," ucap Zaki.