close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi aparatur sipil negara. Alinea.id/Firgie Saputra
icon caption
Ilustrasi aparatur sipil negara. Alinea.id/Firgie Saputra
Politik
Jumat, 30 September 2022 19:07

Aroma politik di balik terbitnya SE Mendagri 

Mendagri diminta mencabut surat edaran yang memungkinkan penjabat kepala daerah untuk memecat atau memutasi ASN tanpa seizin menteri.
swipe

Penerbitan Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Nomor 821/5492/SJ memantik kritik dari anggota DPR. Dalam rapat bersama Kemendagri di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, pertengahan September lalu, sejumlah politikus menuntut agar SE tersebut dicabut atau direvisi. 

"Rawan namanya abuse of power. Itu rawan sekali. Maka, terkait dengan itu, kita coba diskusikan apakah misalnya coba dicabut digantikan dengan surat edaran yang baru," kata Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa dalam rapat kerja tersebut.

SE Nomor 821/5492/SJ diteken Mendagri Tito Karnavian pada 14 September 2022. Dalam SE itu, Kemendagri memberikan wewenang bagi pelaksana tugas (Plt), penjabat (Pj), dan penjabat sementara (Pjs) kepala daerah untuk memberhentikan atau memutasi aparatur sipil negara (ASN) tanpa seizin Kemendagri. 

Tito beralasan SE itu dirilis sekadar untuk menyederhanakan birokrasi. Menurut dia, laporan permintaan izin pemberhentian atau mutasi pegawai dari penjabat kepala daerah akan menumpuk di Kemendagri jika wewenang tersebut tak diberikan kepada para penjabat. 

Ia meminta publik tak khawatir kewenangan baru itu dipolitisasi. "Kewenangannya hanya ada dua, yakni menandatangani (surat pemberhentian) ASN yang sudah berhadapan dengan masalah hukum dan harus diberhentikan serta memutasi," kata Tito. 

Saat ini, Kemendagri telah melantik 6 penjabat gubernur serta 68 penjabat wali kota dan bupati. Total, bakal ada sekitar 270 penjabat kepala daerah yang dilantik Kemendagri sebagai pengganti kepala daerah hingga Pemilu 2024.

Dalam sosialisasi kepada para Pj berbagai daerah, Jumat (23/9) lalu, Sekretaris Jenderal Kemendagri Suhajar Diantoro menjelaskan SE Nomor 821/5492/SJ hanya memberikan wewenang terbatas kepada para Pj kepala daerah. Sebagai kepala daerah, para Pj tetap wajib melaporkan pemberhentian atau mutasi ASN di daerah mereka.   

"Orang mengatakan (pemberhentian atau mutasi ASN) kan harus izin? Itu (SE) kan surat izin. Itulah surat izinnya. Maka, kami mendelegasikan kewenangan itu. Maka, surat yang kami kirim itu adalah pemberian izin,” kata Suhajar.

Dia menambahkan pemberhentian sementara ASN yang ditahan karena perkara pidana sudah diatur dalam Pasal Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Sementara terkait persetujuan mutasi pegawai antardaerah dan antarinstansi, Suhajar menjelaskan, persetujuan mutasi bukan surat keputusan (SK) mutasi. Persetujuan diberikan kepada Plt, Pj, dan Pjs karena mekanisme mutasi mensyaratkan adanya persetujuan pindah dari daerah tugas maupun daerah penerima.

Untuk mutasi pegawai, Suhajar menegaskan, Pasal 73 ayat (4) UU ASN tetap berlaku. Sesuai regulasi, mutasi pegawai negeri sipil (PNS) ditetapkan Mendagri setelah dapat pertimbangan BKN. Dengan kata lain, kewenangan yang diberikan kepada PJ hanya surat persetujuan.

"Meski diberikan persetujuan tertulis terkait dua kebijakan tersebut, Plt, Pj, maupun Pjs kepala daerah tetap harus melaporkannya kepada Mendagri paling lambat 7 hari setelah langkah itu diambil," jelas Suhajar. 

Mendagri Tito Karnavian melantik lima penjabat gubernur di  Gedung Sasana Bhakti, Kemendagri, Jakarta Pusat, 12 Mei 2022. /Foto dok. Kemendagri)

Tak cukup SE?

Wakil Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Tasdik Kinanto, mengatakan tak perlu ada yang dikhawatirkan terkait netralitas ASN setelah keluarnya SE Mendagri. Dia menjelaskan sudah ada regulasi terperinci yang mengatur promosi, mutasi, dan pemecatan ASN.

"Ada persyaratan-persyaratannya dan kemudian dilakukan uji kompetensi oleh sebuah pansel (panitia seleksi). Kalau memang ada keputusan-keputusan, kebijakan, terkait dengan manajemen ASN, promosi, pemberhentian, mutasi itu tidak sesuai dengan apa yang seharusnya, laporkan saja ke KASN," ujar Tasdik kepada Alinea.id, Senin (26/9).

Dari sisi substansi, Tasdik berpendapat, KASN setuju dengan isi SE Mendagri. Menurut dia, isi surat edaran tersebut sesuai dengan regulasi yang berlaku. Dia mencontohkan pemecatan terhadap ASN yang terseret kasus pelanggaran hukum berat. 

“Kalau peraturan perundangannya sudah menyatakan begitu, maka beliau (Mendagri) berpendapat (penjabat kepala daerah) tidak perlu lagi meminta izin," ujar Tasdik.

Tasdik mengakui SE Mendagri masih menuai perdebatan. Menurut dia, pendelegasian wewenang kepada para penjabat itu semestinya tak diatur melalui SE, melainkan peraturan pemerintah (PP). "Kalau ada perubahan tidak harus minta izin Mendagri, ya, PP-nya yang diubah," imbuhnya. 

Dalam angka 2 SE Mendagri, tertuang ketentuan Pasal 132A ayat (1) huruf a dan ayat (2) PP Nomor 49 Tahun 2008 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Pasal tersebut menegaskan, penjabat kepala daerah atau pelaksana tugas kepala daerah dilarang melakukan mutasi pegawai. Dijelaskan dalam SE, ketentuan tersebut bisa dikecualikan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Mendagri.

Menurut Tasdik, ketentuan tersebut dirasa lebih tepat tertuang dalam PP karena SE sifatnya berlaku untuk internal dan tidak mengatur wewenang tertentu. SE semestinya dirilis hanya untuk pemberitahuan atau penjelasan saja.

"Tapi dari Kemendagri berpendapat, bahwa (SE Mendagri 821/5492/SJ) itu kan sifatnya menjelaskan saja. Ya, inilah kalau orang dari berbagai perspektif aturan hukum, kan biasa saja bisa berbeda (pendapat)," ujar Tasdik. 

Kekhawatiran akan ASN bakal dimobilisasi penjabat untuk memenangkan salah satu kandidat pada Pemilu 2024 bukan tanpa alasan kuat. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI mencatat dugaan pelanggaran terkait netralitas ASN selalu marak pada setiap gelaran pemilu.     

Pada Pemilu 2019, misalnya, lembaga tersebut menemukan 914 dugaan pelanggaran terkait netralitas ASN. Dari jumlah tersebut, ada 85 laporan dihentikan, 4 diproses, 101 dinyatakan bukan pelanggaran, dan 894 yang direkomendasikan. Pada 2020, jumlah dugaan pelanggaran naik menjadi 1.536 kasus. 

Dalam rapat koordinasi dengan kepala daerah yang disiarkan secara daring, Selasa (27/9), anggota Bawaslu RI Puadi menyatakan setidaknya ada enam penyebab yang membuat maraknya fenomena pelanggaran netralitas ASN dalam pemilu. 

Pertama, terkait mentalitas birokrasi yang jauh dari semangat reformasi. Kedua, kepentingan politik partisan ASN yang beririsan dengan kekerabatan atau kesukuan calon, sehingga melahirkan politik identitas. Ketiga, digunakannya pemilu atau pemilihan sebagai tukar guling mencari promosi jabatan.

“Keempat, kaitannya dengan intimidasi dan tekanan orang kuat lokal yang terlalu dominan kepada ASN yang berada dalam cengkeraman ekosistem yang tidak menguntungkan,” jelas Puadi.

Penyebab kelima, penegakan hukum yang masih birokratis dan melibatkan banyak pihak, serta belum sepenuhnya memberikan efek jera kepada pelaku pelanggaran atas netralitas ASN. "Terakhir, berkaitan dengan politisasi birokrasi yang dilakukan oleh calon peserta pemilu," kata dia. 

Mendagri Tito Karnavian. /Foto Antara

Perkuat pengawasan 

Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam mengatakan sulit menafikan nuansa kepentingan politik dalam penerbitan SE Mendagri tersebut. Terlebih, para penjabat gubernur bakal berkuasa cukup lama di daerah masing-masing. 

"Maka membuka potensi-potensi (untuk Pemilu) 2024. Akan ada upaya yang membuka ruang, upaya bagi penyalahgunaan otoritas penjabat-penjabat kepala daerah itu untuk, ya, mendukung atau bahkan menggergaji kekuatan politik yang barangkali tidak sesuai dengan selera tuannya,” ucap Umam kepada Alinea.id, Senin (26/9).

Meski berstatus sebagai penguasa sementara, menurut Umam, penjabat kepala daerah tidak hanya mengurusi kebijakan, administrasi, dan birokrasi semata. Namun, diakui atau tidak, penjabat tetap hidup dalam ruang politik yang sangat dinamis.

“Mereka harus deal dengan elemen kekuatan yang mengkritik dia. Mereka harus masuk ke dalam ruang dinamika kepentingan yang muncul di level lokal maupun di level nasional. Oleh karena itu, hal ini membuka ruang terjadinya sentralisasi dan menjadi alat politik bagi pihak-pihak tertentu untuk memenangkan satu-dua pihak," jelas dia. 

Umum mengusulkan, SE Mendagri tersebut dicabut atau direvisi. Jika SE tersebut tetap berlaku, maka pengawasan terhadap sepak terjang para penjabat di 271 daerah perlu diperketat. 

"Perlu juga dirumuskan bagaimana kemudian mekanisme dan prosedur yang clear dan transparan untuk memberhentikan penjabat kepala daerah yang terbukti menjadi alat politik kekuatan pihak tertentu karena dia kemudian berpotensi membuat proses demokrasi menjadi cacat," ujar Umam.

Infografik Alinea.id/Firgie Saputra

Senada, Direktur Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati, mengatakan tidak semestinya kewenangan penjabat diperkuat. Pasalnya, sifat penjabat tidak sama dengan kepala daerah definitif.

“Jika kewenangannya ditambah, maka bisa saja ada potensi penyalahgunaan wewenang. Apalagi, jika tidak ada indikatornya dalam memutasi ASN. Dan, ini sudah masuk tahun politik. Jangan sampai mutasi pegawai dilakukan hanya karena like atau dislike,” ujar dia kepada Alinea.id, Senin (26/9). 

Lebih lanjut, dia mengatakan, kewenangan penjabat dalam memutasi ASN juga perlu diperjelas. Pasalnya, jika dikaitkan dengan pemilu atau pilkada, ada aturan yang menyatakan kepala daerah tidak boleh melakukan mutasi ASN enam bulan sebelum penetapan pasangan calon.

“Hal ini untuk mencegah adanya konflik kepentingan yang berpotensi menguntungkan salah satu peserta pemilu. Hal ini juga perlu diatur untuk penjabat,” ujar Khoirunnisa. 

img
Akbar Ridwan
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan