Permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Pilkada kembali diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini, para pemohon--Muhamad Raziv Barokah, Heriyanto, dan Ramdansyah--meminta agar MK mengubah poin-poin di UU Pilkada supaya menghadirkan kotak kosong di setiap wilayah dalam perhelatan Pilkada Serentak 2024.
Berkas permohonan uji materi telah masuk ke MK, Kamis (5/9). Dalam argumentasi hukumnya, para pemohon menilai eksistensi konstitusionalitas surat suara kosong atau blank vote harus dilindungi karena mencerminkan kehendak rakyat di dalam pemilihan umum atau pilkada.
"Kami merasa bahwa penting untuk memberikan kotak kosong di seluruh daerah. Kenapa? Karena kalau proses kandidasinya benar, kotak kosong enggak laku, orang enggak akan enggak milih. Kalau prosesnya tidak benar, ya, kotak kosong akan laku atau laris," kata Raziv dalam sebuah seminar daring di Jakarta, Minggu (8/9)
Raziv mencontohkan Pilgub DKI Jakarta yang tidak diikuti Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Padahal, kedua tokoh itu punya elektabilitas yang tinggi di DKI. Situasi tersebut, kata dia, terjadi karena kandidat-kandidat dipilih sesuai kehendak elite-elite politik.
“Partai politik gagal menangkap kehendak rakyat tersebut untuk ditaruh pada surat suara dan dipertarungkan sehingga rakyat benar-benar memilih untuk orang-orang yang mereka kehendaki. Tetapi, tiba-tiba partai politik memilih orang-orang lain yang sama sekali tidak
terbayang oleh warga Jakarta,” ujar Raziv.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yance Arizona mengapresiasi langkah Raziv dan kawan-kawan. Menurut dia, itu merupakan bentuk perlawanan terhadap manipulasi pencalonan kepala daerah oleh elite-elite politik yang terjadi di sejumlah pilkada.
“Saya pikir perlu kita pertimbangkan untuk melembagakan kotak kosong sebagai alternatif pilihan warga di dalam pIlkada. Namun, hal ini membutuhkan aturan yang lebih teknis lainnya,” ujar Yance kepada Alinea.id, Selasa (10/9).
Hal teknis yang dimaksud Yance semisal ketika kotak kosong justru memenangi pilkada. Menurut dia, pemerintah dan KPU perlu mengatur agar calon yang kalah tak maju lagi di pilkada ulang.
"Sayangnya, UU Pilkada hari ini masih memberikan kesempatan kepada calon yang kalah melawan kotak kosong untuk bisa mencalonkan diri lagi dalam pilkada berikutnya," jelas Yance.
Keberadaaan kotak kosong, lanjut Yance, juga potensial meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengawal proses pilkada. Eksistensi kotak kosong juga memungkinkan lembaga-lembaga pemantau yang terdaftar di Bawaslu menjadi penggugat dalam sengketa hasil pilkada di MK.
"Misalnya, bila ada kecurangan yang dilakukan pasangan calon lain. Singkat kata, mengadakan kotak kosong untuk pilkada memiliki banyak aspek positif untuk menyalurkan aspirasi publik melalui pilkada,” ujar Yance.
Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta sepakat kotak kosong perlu dilembagakan di pemilu. Jika direalisasikan, ia menyebut eksistensi kotak kosong sebagai kemajuan dalam demokrasi elektoral.
"Kemajuan ini memperkuat hak warga negara untuk afirmasi dalam bersuara. Bukan justru dianggap tidak bertanggung jawab ketika golput karena tidak ada calon yang dia suka. Dengan surat suara yang kotak kosong itu, diharapkan akan memberikan ruang bagi setiap orang memilih,” kata Kaka kepada Alinea.id, Selasa (10/9).
Secara teknis, menurut Kaka, menghadirkan kotak kosong di bilik suara atau menambahkan "kandidat" kotak kosong di surat suara tak akan sulit. Publik hanya perlu disosialisasikan sehingga terbiasa menghadapi skema kotak kosong di pemilu.
“Tetapi tentu saja (MK bisa menolak permohonan uji materi) karena waktu (pemilu-pemilu sebelumnya), ini kan belum pernah dilakukan. Jadi, memang itu pilihan saja. Ini pilihan yang lebih baik,” ujarnya.